KontraS: Indonesia Lakukan Eksekusi Mati Ilegal

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menganggap eksekusi mati yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap terpidana narkoba penuh kejanggalan, kesalahan prosedur dan pelanggaran hukum.

Melalui siaran pers yang dirilis di kontras.org, KontraS membeberkan empat kejanggalan di balik eksekusi mati tersebut.

Pertama, pemerintah melakukan eksekusi ditengah banyaknya kejanggalan kasus para terpidana mati yang masuk dalam 14 daftar nama yang akan dieksekusi. Kejanggalan itu kemudian terkonfirmasi dengan keputusan menunda eksekusi 10 terpidana mati.

“Meskipun pada dasarnya keputusan ini tepat, karena kami yakin memang terdapat banyak kejanggalan sejak awal, tetapi ini menunjukkan bahkan Pemerintah sendiri mengakui adanya kejanggalan kasus-kasus  tersebut,” tulis siaran pers tersebut.

Kedua, terdapat pelanggaran proses yang begitu nyata. Pemerintah melanggar setidaknya satu Undang-Undang dan satu putsan Mahkamah Konstitusi (MK). Pemerintah tetap melakukan eksekusi terpidana mati yang jelas-jelas dilindungi dalam Pasal 13 UU Grasi. Tiga terpidana mati, yaitu Sack Osmane, Humprey Jefferson, dan Freddi Budiman, sedang dalam proses permohonan grasi pada saat dieksekusi. Keputusan ini tidak mengindahkan Paasal 13 UU Grasi yang melarang eksekusi dilakukan dalam hal terpidana amti sedang mengajukan grasi dan Putusan MK No. 107/PUU-XIII/2015.

“Kami tekankan bahwa pernyataan Jaksa Agung yang menyatakan ada tenggat waktu dalam mengajukan grasi berdasarkan Pasal 7 ayat (2) UU grasi tidaklah mendasar. Sebab, berdasarkan putusan MK diatas, Pasal 7 ayat (2) UU Grasi telah dihapuskan,” tulis KontraS.

Ketiga, pemerintah sengaja menutupi segala informasi menganai eksekusi mati, baik kepada keluarga maupun advokat. Akibatnya, hak para terpidana mati dipertaruhkan. Tidak ada daftar terpidana mati yang pasti sampai dengan hari eksekusi, sehingga para terpidana mati tidak siap dalam melakukan upaya hukum yang masih tersedia.

Selain itu, pemerintah melanggar ketentuan UU tentang notifikasi. Harusnya, eksekusi dilakukan 3×24 jam setelah notifikasi. Para terpidana mati mendapat notifikasi pada tanggal 26 Juli malam. Jadi, seharusnya seharusnya eksekusi dilakukan pada tanggal 29 Juli malam. Pada kenyataannya, eksekusi dilakukan pada tanggal 29 Juli dini hari.

Keempat, dalam rencana anggaran, eksksekusi dilakukan untuk 14 terpidana mati. Membengkaknya anggaran terpidana mati yang mencapai 7 Milyar rupiah dipastikan terbuang karena adanya penundaan eksekusi mati.

“Hal ini mengkonfirmasi kecurigaan kami bahwa anggaran eksekusi mati memang rawan pelanggaran dan penyelewangan diakibatkan kesengajaan-kesengajaan kesalahan prosedur seperti eksekusi gelombang ke-3 ini.”

Karena itu, KontraS meminta Presiden dan Jaksa Agung untuk bertanggungjawab atas tindakan melanggar UU Grasi dan Putusan MK No. 107/PUU-XIII/2015.

KontraS juga meminta Presiden untuk membentuk tim independen guna melakukan peninjauan dan penelitian terhadap seluruh kasus-kasus terpidana mati. Sebab, banyak peradilan sesat yang tidak sesuai dengan prinsip fair trial.

Selain itu, Kontras juga mendesak Presiden untuk melakukan moratorium eksekusi mati.

Mahesa Danu

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid