Resensi Buku: Kisah Ibu Revolusioner

Novel Ibunda ditulis oleh Maxim Gorki pada tahun 1906 ketika nama dan reputasi sastra Gorki sudah dikenal di negerinya maupun di manca negara. Sebagaian besar naskah novel ini diselesaikan di Amerika Serikat, ketika Gorki sedang berkampanye mengumpulkan dana bagi perjuangan revolusioner di negerinya. Novel Ibunda dianggap oleh para kritikus sebagai novel yang revolusioner, dan pada tahun 1946 saja telah diterjemahkan dalam 28 bahasa dan difilmkan dalam beberapa versi. Novel Ibunda merupakan salah satu novel yang paling populer di Amerika Serikat.

Gambaran suram kehidupan rakyat Rusia yang miskin dan dipenuhi ketakutan di bawah kekuasaan Tsar menjadi latar belakang dari kisah dalam novel ini. Baru pada kalimat pembuka pembaca seakan langsung dihadirkan pada ruang dan waktu tersebut:  “Setiap hari, suling pabrik menjerit-jerit. Bunyinya yang menggigil itu menembus udara kotor, lembab yang berada di atas perkampungan buruh.” Orang-orang yang dibangunkan suara pluit itu merengutkan wajah, dipaksa bergegas dan berlari-lari dari rumah mereka masing-masing. Berbondong-bondong seperti ikan- ikan menuju pabrik tempat mereka bergantung hidup.

Judul buku       : Ibunda Pengarang         : Maxim gorki Penerjemah      : Pramoedya Ananta Toer Penerbit           : Kalyanamitra Tahun terbit     : Desember 2000 Tempat terbit   : Jakarta Tebal buku      : 513 hal
Judul buku       : Ibunda
Pengarang         : Maxim gorki
Penerjemah      : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit           : Kalyanamitra
Tahun terbit     : Desember 2000
Tempat terbit   : Jakarta
Tebal buku      : 513 hal

Hidup di perkampungan buruh yang kumuh itu, seorang perempuan setengah  tua, dengan wajah berkerut masam dan jalannya hampir membungkuk ke bawah. Pelagia Nilvona, namanya. Ia adalah istri dari seorang montir bernama Vlassov yang gampang naik darah, hidup tertekan, dan senantiasa melawan atasannya di pabrik. Hobi suaminya itu adalah meneguk vodka sampai mabuk, jatuh tertidur, dan marah-marah. Pelagia sering sekali menjadi sasaran kemarahan suaminya. Vlassov  kerap melontarkan kata-kata kasar yang tidak lazim bahkan sampai melemparkan barang-barang pada Pelagia.

Pasangan ini memiliki seorang anak laki-laki yang bernama Pavel. Ia muda, bersemangat, pemberani dan sangat membenci ayahnya. Hidup miskin di tengah peluit pabrik dan dibayang-bayangi ketakutan menjadi keseharian Pelagia dalam membesarkan anak tunggalnya itu.

Di suatu pagi, suling pabrik kembali menjerit-jerit. Penyakit datang menyapa Vlassov, hingga ajal menjemputnya. Ia terbujur di peti mati dengan mulut ternganga dan alis terangkat, wajah berkerut menampakkan seorang yang tak bersenang hati. Ia dikuburkan oleh istri dan anaknya, anjingnya, serta segerombolan pengemis dari kampung itu. Pelagia tampak menangis tersedu perlahan. Sedangkan Pavel tidak menangis sama sekali.

Keadaan berubah ketika suaminya meninggal. Pavel melajutkan pekejaan ayahnya di pabrik sebagai buruh. Selain ke pabrik, ia sering pergi bertemu temannya. Ia mulai terlibat gerakan politik. Seringkali ia pulang ke rumah membawa buku-buku tebal yang sama sekali tidak di mengerti ibunda. Mula-mula Pelagia resah dengan kebiasaan Pavel, namun bakti anaknya sungguh membuat perempuan setengah tua itu bahagia.

Pavel semakin sering pulang larut malam dan membawa buku-buku tebal yang menjadi kebiasaannya. Ibunda hanya memperhatikan, tidak berani bertanya dan memang pun ibunda tidak paham buku apa yang dibawa oleh anaknya itu. Bahkan Pelagia sudah hampir lupa bagaimana cara membaca, akibat suaminya dulu sering menghantam kepalanya dengan pukulan.

Selain buku, Pavel sering membawa kawan ke rumahnya. Mereka berdiskusi di ruang tamu, sedangkan ibunda tak mengerti sama sekali apa yang sedang mereka bicarakan. Dari balik dapur ibunda mendengarkan diskusi mereka. Kadang ibunda merasa khwatir dengan jalannya diskusi yang panas. Ingin rasanya ia mendamaikan suasana diskusi, namun ibunda tak berani mengaganggu anak-anak muda itu.

Anaknya semakin sering diskusi, yang mengakibatkan ibunda memahami sedikit demi sedikit masalah yang mereka bicarakan. Ibunda merasa anak-anak muda itu sedang merencanakan sebuah gerakan untuk membebaskan kaum buruh di pabrik dari penindasan, serta menjawab kegelisahan kaum buruh atas kesengsaraan manusia yang miskin.

Ketika mengetahui ini, Pelagia Nilvona semakin resah dan khwatir. Ia sering mendengarkan bisikan orang tentang penangkapan para aktivis. Ibunda mulai merasa bahwa anaknya itu sudah terlibat dalam gerakan politik. Ibunda mendengar bahwa rumahnya mulai diperhatikan polisi dan mata-mata pemerintah akibat aktivitas yang dilakukan oleh anaknya.

Malam itu hujan lebat, ibunda merasa ia harus bicara pada Pavel tentang segala aktivitas yang selama ini mereka lakukan di rumahnya. Pavel menjawab ibunda dengan wajah serius dan sorot mata yang memancarkan kobaran api yang menyala-nyala. Sekarang ibunda memahami tugas anaknya itu.

Pavel sudah mulai mencium glagat polisi yang akan menggeledah rumahnya. Cepat-cepat ia singkirkan buku dan kertas-kertas berisi rencana yang ia susun bersama teman-temanya. Tanpa bertanya ibunda membantu anaknya itu menyingkirkan barang-barang miliknya. Polisi datang malam hari ke rumah Pelagia, dan tidak menemukan apapun malam itu. Namun, gerak-gerik polisi cukup membuat ibunda gemetar dan ketakutan.

Ibunda mulai membangun cinta kasih kepada semua anak-anak muda yang berjuang meretas jalan kebenaran dan akal untuk menerangi dunia dengan sorga baru. Cinta kasih ibunda menyinari perasaan-perasaan tersulit anak-anak ketika menghadapi represi kekuasaan Tsar. Ibunda mulai mendengarkan mereka bicara, ia sediakan makanan dan minuman, ia buatkan kaus kaki, sambil resapi pengertian “majikan dan tuan tanah yang mengisap darah orang kecil” dalam spirit relegiusnya.

Kegetiran hidup mulai berganti dengan rasa bangga pada anaknya. Semangat yang berubah-ubah dengan rasa takut. Pelagia yang semula hidup dalam pelampiasan  amarah suaminya kini berangsur-angsur berubah menjadi perempuan kuat dan pemberani.

Satu Mei menjadi momentum bagi Pavel dan kawan-kawannya dalam memimpin kaum buruh aksi turun ke jalan. Pavel tak pernah gentar, bahkan ketika hadapi ancaman pedang dan penjara. Ia memimpin kawan-kawannya dan kaum buruh untuk melawan kekuatan modal, pejabat tinggi pabrik, polisi dan siapa saja yang menjadi perpanjangan tangan atas kesewenang-wenangan terhadap kaumnya. Sejak saat itu Pavel menjadi pimpinan buruh dan teladan bagi siapa saja yang menuntut keadilan. Pavel ditangkap bersama Andrei, temannya pada aksi itu. Barisan demostrasi mulai bubar, berhamburan entah kemana.

Pelagia Nilvona mengingat perkataan anaknya malam itu di hadapan kawan-kawannya ketika mereka berdikusi, “kita harus bergerak, namun kita terlebih dahulu membuat mereka pintar, para buruh itu”. Sambil duduk terdiam sendiri, ibunda mengingat aksi buruh tadi dan anaknya ditangkap bersama Andrei teman Pavel yang juga mulai dikasihinya. Ibunda merasa mereka tidak bersalah, anaknya yang muda rela mengesampingkan kemerdekaan diri demi kemerdekaan orang banyak.

Sejak saat itu ibunda mulai terlibat membagi-bagi selebaran yang berisi ajakan perjuangan. Ibunda bersama teman Pavel yang tersisa mulai memperluas gerakan politik. Ia turun ke kancah revolusi dengan peranannya sebagai pendistribusi pamplet kekalangan buruh dan tani. Selama Pavel di penjara hingga pengadilan memutuskan mereka dibuang ke pelosok Siberia, ibunda tetap meneruskan perjuangan anaknya. Ibunda berjalan ke pelosok-pelosok negeri, ke daerah perkampungan yang terpencil, mengajak kaum tertindas bergerak bersama. Selebaran itu menjadi corong perjuangan mereka, karena pesan dalam selebaran itu adalah lokomotif perubahan. Dia menerobos kekolotan, perbudakan, kekejaman dan semua hal yang menjijikkan.

Pidato Pavel yang terakhir di pengadilan menjadi kajian bagi orang banyak. Pidato itu penuh pesan yang menggugah, ajakan melawan, bergerak, dan  menyadarkan setiap  orang yang mendengarkannya. Nikolai, seorang teman Pavel yang lain, bersama ibunda berencana menerbitkan selebaran berisi pidato Pavel. Malam hari mereka mencetak pidato tersebut secara rahasia. Esok harinya, pagi-pagi sekali, ibunda meminta agar ia ditugasi  menyebarkan pidato anaknya itu. Perasaan ibunda sangat senang dan bahagia, ia merasa begitu terhormat menjalankan tugas yang diberikan kepadanya. Dalam perjalan di sebuah stasiun , ibunda memegang kuat koper yang berisikan pidato pavel, Ibunda merasa dia sudah dimata-matai oleh seseorang dari kejauhan dia berdiri. Namun dengan keyakinan teguh dia beranikan untuk tetap meneruskan perjalannya.

Kereta berhenti, Pelagia naik bersama kopernya yang berat, ia ambil tempat duduk dan memasukkan tangannya kedalam jaket yang tebal. Ia menarik nafas yang penuh ketakutan dan tubuh menggigil. Suasana semakin mencekam, ibunda merasa akan terjadi sesuatu yang mengerikan pada dirinya. Tiba-tiba seseorang menghampirinya dan menuduh ibunda sebagai pencuri. Ibunda merasa tuduhan dihadapan banyak orang itu begitu hina. Ia berontak dan melawan tuduhan itu.

Pada bagian akhir dari novel ini, sang pengarang menggambarkan sosok Ibunda dengan totalitas perjuangan yang mengharukan. Jelas sekali keberanian dan ketegaran seorang ibu, untuk menegakkan harkatnya, harkat anaknya, dan kaumnya yang ditindas. Dalam situasi terdesak, ibunda kibar-kibarkan selebaran ke udara dan menghamburkannya sehingga orang-orang mengetahui apa sebenarnya yang ia bawa. Orang-orang memungut dan mulai membaca. Polisi militer yang melihat itu menyuruh orang-orang bubar dan mendekat ke arah Pelagia untuk menangkapnya.

“Bubar!” Teriak polisi militer. Orang-orang tidak bergeming, seolah kebenaran pada diri ibunda meminta mereka bertahan.

“Kemiskinan, kelaparan, dan penyakit, itulah yang diperoleh rakyat dari jerih payahnya!” Teriak ibunda membalas.

“Sumbat mulutnya!” teriak seorang agen.

“Dan jangan lupa, ketakutan! Kita takut terhadap segala-galanya! Hidup kita akhirnya tak lain daripada suatu malam panjang yang gelap gulita!” Lagi-lagi ibunda membalas.

Seseorang memukul dadanya, dan ibunda runtuh ke bangku.

“Bergabunglah menjatu satu, rakyat, ke dalam satu kekuatan yang perkasa!” masih sempat ibunda berteriak.

Bertubi-tubi pukulan didaratkan ke sekujur tubuhnya, dan , ibunda berteriak untuk penghabisan sebelum tangan polisi militer mencekik lehernya “bahkan samudera darah pun takkan mampu tenggelamkan kebenaran”.

Novel ini menceritakan proses perubahan seorang perempuan, atau tepatnya seorang ibu, dari suasana mental yang penuh ketakutan dan keterjajahan menjadi sosok yang kuat, pemberani, dan bahkan menginspirasi perjuangan banyak orang. Proses perubahan tersebut seakan begitu alamiah dan jauh dari kesan mengada-ada, karena selalu disertai pemenuhan syarat-syarat bagi perubahan dimaksud. Syarat-syarat itu adalah dorongan cinta kepada anak-anaknya dan kebencian atas penindasan.

Minaria Christyn Natalia, Ketua Umum Aksi Perempuan Indonesia (API) Kartini

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid