Tidak ada kekuasaan yang ingin berakhir. Soal ini rakyat Indonesia adalah ahlinya. Kolonialisme Belanda menancapkan kekuasaan ratusan tahun. Hanya dengan perjuangan bersenjata kolonialisme terpaksa mau angkat kaki dari tanah air Indonesia yang ratusan tahun telah menjadi alat kemakmuran Negeri Belanda. Dengan diplomasi ala Sukarno, Hatta, Syahrir walau itu penting tidak mungkinlah Belanda mau menyerahkan kekuasaan. Karena rakyat telah bersenjata seperti yang ditunjukkan dalam perang mempertahankan Kemerdekaan di Surabaya, Belanda pun mencari jalan perundingan.
Keberanian rakyat untuk merdeka menunjukkan bahwa kekuasaan Belanda yang sudah bercokol ratusan tahun tidak juga memberikan kebahagiaan lahir batin. Karena itu ketika ada peluang, kekuasaan Belanda itu pun dirobohkan tanpa menghitung untung rugi. Karena sebagaimana juga dikatakan Bung Karno: Kemerdekaan adalah jembatan emas menuju keadilan dan kemakmuran. Betapa indahnya! Keindahan yang pasti akan melebihi keindahan yang selama ini telah didapat dari Hindia Belanda (kalau toh memang ada keindahan bersama Hindia Belanda).
Tapi jelas kata pertama yang menggerakkan rakyat itu bukan kemakmuran tapi keadilan. Ratusan tahun, rakyat diperlakukan tidak adil bahkan mungkin juga oleh raja-raja feodal sehingga selalu saja diharap kedatangan sang ratu adil yang akan menjadi hakim dan penunjuk jalan kemakmuran. Ratu adil yang diharap itu bahkan bisa datang dari rakyat biasa. Secara kultural dan psikologis, selama keadilan belum terwujud, amuk rakyat bisa sewaktu-waktu timbul. Perang Surabaya 10 November bisa disimpulkan sebagai meledaknya rakyat untuk memastikan kemenangan bagi sang adil dan Sukarno adalah ratu adilnya.
Ketika Orde Baru menumbangkan Orde Lama dengan disertai amuk rakyat dalam bentuk pengrusakkan Partai Komunis Indonesia, pengejaran dan pembunuhan orang-orang komunis, pada prinsipnya adalah juga mencari wujud keadilan dengan bimbingan ratu adil yang baru dalam sosok Jendral Soeharto. Apakah alasan menggerakkan rakyatnya dengan propaganda palsu dengan dukungan agen asing dan yang muncul adalah ratu adil palsu tidaklah penting di sini. Tapi yang jelas, keadilan untuk rakyat sesudah menyingkirkan kolonialisme itu belum terwujud. Rasa keadilan inilah yang menjadi api untuk menggerakkan bahwa Bung Karno memang harus ditumbangkan. Orde Baru sebagai ratu adil baru bila tak ingin segera berakhir haruslah bisa memberikan keadilan dan kemakmuran: sesuatu yang berbeda dengan Orde Lama, walau Bung Karno menolak penyebutan Orde Lama untuk periode kekuasaannya dengan menyatakan bahwa dirinya adalah Orde Asli.
Dalam kerangka memberikan keadilan dan kemakmuran pada rakyat inilah, Orde Baru berpaling atau lebih tepatnya bersandar pada Barat, Amerika Serikat dan sekutunya. Mereka memberikan modal pinjaman dan berinvestasi. Belanda dan teman-temannya pun pun datang lagi mengeksploitasi sumber daya alam Indonesia. Pembangunan ekonomi dimulai. Rakyat lupa pada bau amis darah saudara-saudaranya sendiri karena desa telah menjadi kota; yang lapar dikenyangkan; sawah-sawah diairi; anak-anak berangkat sekolah; kesenangan dan penghiburan mudah didapat; tak perlu baris antri ini antri itu sebagaimana jaman Orla. Tapi bulan madu rakyat dengan Orde Baru pun berakhir dan seakan tanpa alarm peringatan sebagaimana banyak politisi tidak menyangka bila Jendral Soeharto, ratu adil Orde Baru itu akan jatuh begitu cepat. Kemajuan ekonomi Indonesia yang baru kemarin dipuja-puji dunia internasional tiba-tiba mengalami kebangkrutan. Jendral Soeharto yang baru sebulan dilantik MPR menjadi Presiden bulan berikutnya pun sudah diminta MPR untuk mengundurkan diri.
Apa yang menggerakkan rakyat untuk turut serta memaksa Jendral Soeharto mundur dan menolak keberlanjutan kekuasaan Orde Baru adalah jelas juga karena belum terwujudnya keadilan dan kemakmuran. Di bawah Orde Baru, keadilan dan kemakmuran hadir dengan wajah diskriminasi. Karena itu demokrasi menjadi tuntutan pokok. Dengan jatuhnya Orde Baru, alasan kemakmuran Orde Baru pun terbuka: kemakmuran itu didapat dari menggadaikan tanah air, utang dan investasi asing yang tidak sedikit meninggalkan kerusakan lingkungan alam karena eksploitasi yang tidak bertanggung jawab.
Sekarang adalah Orde Reformasi yang sudah berlangsung hampir dua dekade. Untuk keberlanjutan kekuasaan Orde Reformasi, secara prinsip dia harus bisa melebihi Orde Baru dalam memberikan keadilan dan kemakmuran. Dia harus berbeda dengan Orde Baru. Bila tak sanggup memberikan keadilan dan kemakmuran melebihi yang telah diberikan Orde Baru, pada dasarnya, Orde Reformasi sudah gagal dan berakhir.
Apakah Presiden Joko Widodo dengan wakilnya Jusuf Kalla adalah pemerintahan yang menandai berakhirnya Orde Reformasi dan memulai Orde sendiri sebagaimana disampaikan Presiden Joko Widodo bahwa langkah pertama seringkali yang tersulit tapi juga yang terpenting. Tahun pertama meletakkan pondasi?
Tentu tak ada kekuasaan yang ingin segera berakhir.
AJ Susmana, Wakil Ketua Umum Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik (KPP-PRD)
- Fascinated
- Happy
- Sad
- Angry
- Bored
- Afraid