Tak sebagaimana yang disangka oleh banyak orang tentang seorang yang dikategorikan sebagai wali, Sunan Kalijaga ternyata tak pernah menunaikan Ibadah Haji. Dalam catatan Suluk Seh Malaya, yang tampak terpengaruhi oleh teks yang lebih purba, Serat Dewa Ruci, Kalijaga dilarang oleh “Dewa Ruci”-nya untuk pergi ke Mekkah yang justru akan dapat membuat bangsanya menjadi kafir.
Ekspresi Islam-Jawa saya kira menemukan bentuk-bentuk awalnya pada kisah Kalijaga itu. Mekah, Ka’bah, dan Haji, yang bagi Islam mainstream dimaknai secara literal, dalam vokabulari Islam-Jawa dapat bermakna tak hanya seperti itu. Islam-Jawa, oleh karena itu, dapat dimaknai sebagai Islam—baik teoritis maupun praksis—yang berbiak dengan cita rasa orang Jawa.
Mitos bahwa Jawa sudah selesai dengan masalah ketuhanan memang bukanlah isapan jempol belaka. Sebelum Islam datang, orang-orang Jawa di masa silam sudah akrab dengan Tuhan yang Esa. Dan tanpa pun Islam, dengan misi kenabian Nabi Muhammad, meyodorkan konsep dan praksis akhlak yang baik, orang-orang Jawa di masa silam juga sudah selesai dengan problem itu yang lebih dikenal dengan istilah “budi pekerti.”
Cukup menarik ketika menautkan Islam-Jawa itu dengan dinamika pilpres 2024. Di antara kandidat capres yang ada, tampaknya hanya Prabowo Subianto yang seolah napak tilas Sunan Kalijaga yang tak terang-terangan pergi ke Arab untuk menunaikan Ibadah Haji ataupun Umrah. Namun, meskipun tampak tak ke Arab untuk memberikan sentuhan spiritualitas dalam sebuah kontestasi politik, ternyata Prabowo—setelah mewacanakan pemindahan makam Pangeran Dipanegara—terekam melakukan ziarah ke makam para raja Mataram di Imogiri. Bagi sebagian kalangan, apa yang dilakukan Prabowo di Imogiri itu adalah juga sebentuk “haji”.
Berziarah ke tempat-tempat yang dianggap sarat dengan nilai sejarah dan tuah budaya memang lazim dilakukan oleh para calon pejabat publik. Pada tahun 2018 misalnya, Ganjar Pranowo, yang saat itu mencalonkan diri sebagai gubernur Jateng, dan Muhaimin Iskandar yang datang malam-malam di tengah derasnya hujan, sama-sama berziarah ke makam sang pujangga bohemian Jawa, Ronggawarsita, di Palar, Trucuk, Klaten.
Tradisi-tradisi semacam itulah yang terangkum dalam istilah Islam-Jawa yang memiliki nuansa yang jelas berbeda dengan Islam mainstream. Kepercayaan bahwa Pajimatan Imogiri adalah serupa Mekkah, budi pekerti yang lebih berkaitan dengan hati yang sudah tercerahkan (budi), dan Ronggawarsita yang percaya pada—dalam catatan Wirid Hidayat Jati—peristiwa tumimbal lahir, nyata tak ada dalam ekpresi-ekspresi Islam mainstream.
Cukup menarik untuk kemudian menakar kekuatan Islam-Jawa dalam sebuah konstestasi politik di mana, sepertinya, Islam mainstream seolah lebih meyakinkan untuk mengambil hati yang pada dasarnya goyah atau berbolak-balik.
Meskipun kandidat lainnya seperti Ganjar, Anies dan pasangannya, Cak Imin, nyata-nyata bergaya berislam secara mainstream, namun saya kira tetap saja mereka tak dapat lepas dari kerangka Islam-Jawa. Tur ziarah wali yang jelas-jelas singgah pula ke makam Kadilangu di hari dan pasaran tertentu, seumpamanya, adalah jelas-jelas bukanlah sebentuk ekspresi Islam mainstream yang memandang bahwa semua hari adalah hari baik, tak peduli Pon, Wage, Kliwon. Dengan demikian, jelaslah bahwa Islam-Jawa, dan tentu pula Islam-Islam bercorak lokal lainnya, masih menjadi pilihan para calon pejabat publik. Satu hikmah pula yang patut dipetik dari “bediding politik” yang baru saja dilewati adalah memudarnya “islamisme,” atau setidaknya tak lakunya lagi aspirasi khilafah atau daulah islamiyyah dalam percaturan politik 2024, seandainya para kandidat, baik capres maupun cawapres, tetap dengan skema seperti yang mengemuka saat ini.
Penulis : Heru Harjo Hutomo
Gambar : Sunan Pakubuwono X mengunjungi Kampung Luar Batang tahun 1920-an.
- Fascinated
- Happy
- Sad
- Angry
- Bored
- Afraid