Inilah 6 Catatan Akhir Tahun Gerakan Buruh Indonesia

Sejumlah serikat buruh yang berhimpun di bawah aliansi Gerakan Buruh Indonesia (GBI) memberikan catatan kritis terkait isu ketenagakerjaan di sepanjang tahun 2015.

Berikut ini adalah catatan kritis GBI:

Soal Pengupahan

GBI menganggap Peraturan Presiden (PP) nomor 78 tahun 2015 tentang pengupahan sangat berpihak kepada kepentingan pengusaha. Betapa tidak, kebijakan tersebut telah mendegradasi dan membatasi kenaikan upah buruh.

Padahal, dalam catatan GBI, upah buruh Indonesia saat ini, yang berada di kisaran 3-3,2 juta, masih tertinggal jauh dari negara tetangga yang sudah berkisar 4 juta. Di Jawa Tengah, upah buruh masih di kisaran 1,3 juta.

Jaminan Pensiun

GBI menilai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Pensiun juga sangat berpihak kepada pengusaha.

Dalam PP tersebut, iurannya hanya 3 persen. Sangat jauh di bawah Singapura (33 persen), Malaysia (23 persen), dan Vietnam (25 persen). Sudah begitu, manfaat uang yang didapatkan buruh kecil sekali, yakni hanya 15-40 persen dari gaji yang diterima.

Hal tersebut, bagi GBI, tidak sesuai dengan prinsip dasar jaminan pensiun yang seharusnya memastikan pekerja dan keluarganya tetap mendapat penghasilan layak meski tidak bekerja lagi.

Karena jaminan pensiun dan JHT kecil, dengan manfaat yang kecil pula, BPJS dianggap tidak bisa menjadi instrumen ekonomi yang kuat. Asetnya hanya 203 triliun saja. Bandingkan dengan Malaysia yang 2000 triliun atau Jepang yang belasan ribu triliun.

Jaminan Kesehatan

GBI juga menganggap pemerintahan Jokowi belum membuat perubahan signifikan terkait pelaksanaan jaminan kesehatan nasional. Dalam hal ini, program Kartu Indonesia Sehat (KIS).

Masalahnya, masih banyak orang miskin yang tidak masuk dalam kategori penerima bantuan iuran (PBI) dari negara. Program BPJS, khususnya soal kualitas pelayan dan hak lainnya, dianggap masih bermasalah oleh buruh.

Sekakang ini, baru 155 juta orang yang terdaftar sebagai peserta BPJS. Masih ada 100-an juta rakyat Indonesia yang belum ter-cover program jaminan kesehatan. Padahal, jika seluruh rakyat ditanggung secara gratis, hanya butuh Rp 60 triliun.

Masalah Outsourcing, Guru Honorer, PRT dan Buruh Migran

GBI menilai, pemerintahan Jokowi-JK belum serius dalam memperhatikan nasib buruh outsourcing. Ini terlihat pada nasib buruh outsourcing BUMN yang masih terkatung-katung.

Terkait nasib guru honorer, GBI menganggap hanya memberikan angin surga. Buktinya, nasib guru honorer belum jelas hingga sekarang.

Nasib Pembantu Rumah Tangga (PRT) dan buruh migran juga belum mendapat perhatian serius. Terbukti, misalnya, RUU PRT belum disahkanMasalah buruh migrant dan PRT juga tidak mendapat perhatian serius pemerintahan Jokowi. Juga revisi UU Perlindungan buruh migran belum menjadi prioritas.

Refreshifnya Aparat Keamanan, Union Busting dan Lemahnya Proteksi Buruh Perempuan

Kebijakan pemerintahan Jokowi-JK terkait pengupahan, jaminan pensiun, dan outsourcing telah memicu aksi protes dan mogok nasional. Ironisnya, bukannya mendapat respon positif, protes buruh itu justru mendapat perlakuan refreshif dari aparat keamanan.

Tidak hanya itu, buruh yang ikut aksi protes justru di-PHK oleh perusahaan-perusahaan di Bekasi, Marunda, dan daerah lainnya. Kondisi buruh perempuan, khususnya di sektor tekstil dan garmen, masih memprihatinkan. Mereka digaji di bawah UMP dan dipersulit untuk mendapat cuti haid dan hamil.

Keberpihakan pada Investor dan TPP

GBI menganggap paket kebijakan Jokowi untuk menggaet semakin banyak investor hanya menjadi legalisasi bagi pengabaian hak-hak rakyat. Tidak hanya itu, hal tersebut membuat pemerintahan Jokowi tunduk pada perjanjian perdagangan bebas, baik Free Trade Agreement (FTA) maupun Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).

Sudah begitu, sepulangnya dari AS baru-baru ini, Jokowi berkomitmen membawa Indonesia masih ke dalam perjanjian Trans Pasific Partnership (TPP).

Bagi GBI, perjanjian perdagangan bebas, seperti MEA, RCEP, dan TPP, mengharuskan negara memberikan perlindungan maksimal terhadap investasi dan membuka akses untuk investor asing di seluruh sektor ekonomi hingga 100 persen.

Jaminan maksimal untuk melindungi investasi itu berdampak pada larangan kepada pemerintah untuk membuat aturan yang bertentangan dengan kepentingan investor. Termasuk peraturan yang terkait dengan perlindungan upah buruh. Kalau ada peraturan yang dianggap merugikan investor, maka negara dapat diguat oleh investor dan dituntut ganti rugi senilai milyaran dollar AS melalui mekanisme Investor-State Dispute Settlement (ISDS).

Hal itu membuat kedaulatan negara untuk membuat peraturan yang melindungi kepentingan rakyatnya hilang dan berada di bawah kendali kapitalisme.

Berikut ini beberapa tuntutan dari GBI:

Pertama, pembentukan Pansus Upah untuk mencabut PP nomor 78 tahun 2015 karena telah membatasi upah dan menghilangkan hak berunding kaum buruh dalam penetapan upah minimum.

Kedua, penggratisan program Jaminan kesehatan oleh BPJS untuk seluruh rakyat Indonesia.

Ketiga, naikkan iuran jaminan pensiun dan manfaat program jaminan pensiun seperti yang diterima oleh PNS, yakni 70 persen dari gaji ketika memasuki usia pensiun.

Keempat, hapuskan sistim kerja outsourcing dan angkat seluruh pekerja outsourcing, khususnya outsourcing BUMN, sesuai dengan rekomendasi Panja DPR tahun 2014 lalu.

Kelima, pengangkatan semua guru dan tenaga honorer menjadi PNS sesuai kesepatan DPR dan Kemenpan RI.

Keenam, revisi UU perlindungan TKI/buruh migran dan sahkan RUU Pembantu Rumah Tangga.

Ketujuh, hentikan represifitas aparat keamanan terhadap setiap aksi-aksi buruh. Dan pidanakan pengusaha yang memberangus kebebasan berserikat.

Kedelapan, lindungi para pekerja JICT atas kesewenang-wenangan RJ LINO

Kesembilan, pendidikan gratis bagi seluruh rakyat Indonesia.

Mahesa Danu

*) Diolah dari siaran pers GBI tanggal 23 Desember 2015

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid