Hugo Chavez Dan Warisannya Untuk Dunia

Delapan belas tahun yang lalu, bangsa-bangsa di seluruh dunia dipaksa meniti satu-satunya jalan: neoliberalisme. Slogan terkenal Margareth Thatcher,  “There is No Alternative”, menjadi horor bagi setiap bangsa yang mencoba keluar dari rangkulan kekaisaran Amerika Serikat.

Namun, kekuasaan kekaisaran AS bukan tanpa gugatan. 1 Januari 1994, petani dan masyarakat adat di Chiapas, Meksiko, mengangkat senjata. Mereka menamai diri Tentara Pembebasan Nasional Zapatista (EZLN). Lalu, tak disangka-sangka, rakyat juga memberontak di Seattle, Amerika Serikat, pada tahun 1999.

Pada tahun 1998, di Venezuela, peristiwa besar juga terjadi. Seorang mantan tentara pengagum Simon Bolivar, pejuang pembebasan Amerika latin, terpilih sebagai Presiden dengan suara 56,2 persen. Chavez berkuasa dengan mewarisi kehancuran negerinya setelah beberapa dekade kebijakan neoliberalisme.

Tetapi Chavez tidak merasa kecil. Berbekal dukungan mayoritas rakyat di belakangnya, ia yakin akan menciptakan sejarah baru. Ia menggagas sebuah revolusi untuk mengubah struktur ekonomi, politik, dan sosial-budaya di Venezuela. Ia menamai proyek revolusinya: Revolusi Bolivarian.

Untuk membumikan ide-idenya, hal pertama yang dilakukan Chavez adalah merombak struktur negara lama. Tetapi, uniknya, ia berupaya menempuh jalan konstitusional untuk melakukan perubahan itu, yakni referendum konstitusi. Akhirnya, pada Desember 1999, Venezuela menyelenggarakan referendum konstitusi. Hasilnya:  71,78% rakyat Venezuela menyetujui penyusunan konstitusi baru.

Seiring dengan itu, dibentuklah Majelis Konstituante untuk menyusun konstitusi baru. Pemilihan untuk Majelis Konstituante pun digelar. Hasilnya: 95 persen anggota Majelis Konstituante adalah pendukung Revolusi Bolivarian. Majelis Konstituante inilah yang menelurkan Konstitusi Bolivarian (1999).

Konstitusi baru ini menciptakan ruang legal bagi Chavez untuk menyelenggarakan pembangunan yang berbasiskan solidaritas, partisipasi rakyat, dan pengembangan manusia. Konstitusi ini juga meletakkan dasar bagi Chavez untuk mengakhiri Punto Fijo (puntofijismo), sistem politik yang berbasiskan pada oligarki dua partai– Accion Democratica (AD) dan COPEI.

Berikutnya, Chavez mulai merancang proyek pembangunan nasional: Rencana Simon Bolivar, sebuah proyek pembangunan untuk menjalankan cita-cita revolusi Bolivarian dan ide-ide sosialisme. Pada tahap awal rencana ini, pemerintahan Chavez meluncurkan sejumlah misi sosial. Program ini diciptakan untuk menjawab persoalan rakyat yang paling mendasar: pendidikan, pangan, perumahan, kesehatan, dan lain-lain.

Muncullah berbagai misi sosial: “Misi Barrio Adentro”, klinik kesehatan gratis; misi Robinson”, pemberantasan buta huruf; “Mission Ribas, pendidikan gratis dari SD hingga SMU; “Mission Sucre”, pendidikan gratis untuk Perguruan Tinggi; “Mission Mercal”, program pangan untuk rakyat; Mission Zamora, proyek reforma agraria dan mengakhiri ketimpangan tanah; Agro Venezuela, program pengembangan pertanian; Niño Jesus, untuk membantu ibu hamil dan proses kelahiran; mission milagro, untuk operasi mata; mission vivienda, program perumahan untuk rakyat; Venezuela En Amor Mayor, jaminan sosial bagi lanjut usia.

Ini sangat menarik. Maklum, di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia, pemerintah berkuasa berlomba-lomba untuk mencabut subsidi sosial dan memprivatisasi layanan publiknya. Akibatnya, seperti yang kita alami di Indonesia, rakyat menjerit-jerit karena meroketnya harga pangan, mahalnya biaya kesehatan, pendidikan makin terjangkau, dan lain-lain. Chavez tak percaya bahwa pasar—dengan tangan tak terlihatnya—bisa menjamin pemenuhan hak dasar rakyat. Sebaliknya, Chavez meyakini, rakyat bisa membangun dirinya bila diberikan kekuasaan, pengetahuan, tanah, kredit, teknologi, dan organisasi.

Namun, semua program itu perlu dana yang besar. Dan itu tidak mungkin bila Venezuela tidak berdaulat secara ekonomi dan tidak mengontrol sumber daya alamnya. Untuk itu, Chavez melakukan konsolidasi dan memastikan penguasaan negara atas aset-aset strategis, seperti minyak dan gas, pabrik baja hingga ke perbankan. Selain itu, ia juga memperkenalkan kontrol pekerja dan self-management untuk membangkitkan partisipasi pekerja dalam lapangan ekonomi.

Sejak Venezuela mengontrol penuh PDVSA—perusahaan minyak negara, ekonomi Venezuela tumbuh pesat. Hingga 2012 lalu, PDVSA telah menyetor 295 milyar USD untuk kas negaranya. Sejak Chavez berkuasa, 204 perusahaan di sektor hidrokarbon sudah dinasionalisasi.

Ini membuat ekonomi Venezuela tumbuh pesat.  Sejak kuartal pertama 2003 hingga kuartal kedua 2008, pertumbuhan ekonomi Venezuela secara total telah bertumbuh 94,7% atau dengan rata-rata pertumbuhan per tahun 13,5% (lihat data-data yang disajikan Center for Economic and Policy Reform yang berbasis di Washington DC, Februari 2009, dalam “The Chávez Administration at 10 Years: The Economy and Social Indicators”).

Berbeda dengan pertumbuhan ekonomi di negara lain, termasuk di Indonesia, pertumbuhan ekonomi Venezuela justru mengarah pemerataan dan redistribusi kekayaan nasional. Kemiskinan telah berkurang 70,8% (1996) menjadi 21% (2010). Sedangkan kemiskinan ekstrem berkurang dari 40% (1996) ke tingkat yang sangat rendah dari 7,3% (2010). Pengangguran turun dari 20% menjadi di bawah 7%. Tidak kurang dari 20 perguruan tinggi baru dibangun dalam 10 tahun terakhir. Jumlah guru meningkat dari 65.000 menjadi 350.000 orang. Buta huruf berhasil diberantas. Dalam 6 tahun, 19.840 tunawisma mengikuti program khusus dan praktis tidak ada lagi anak-anak yang hidup di jalanan.

Chavez menolak neoliberalisme. Ia juga menampik bahwa kapitalisme punya wajah lain yang bisa manusiawi. Baginya, neoliberalisme adalah jalan menuju ke neraka. “Kami sedang bergerak pelan tapi pasti menuju sebuah ekonomi alternatif di luar kapitalisme yang merendahkan manusia,” ujar Chavez.

Namun, lebih dari itu, keberhasilan Chavez menasionalisasi perusahaan strategis dan mengontrol kekayaan SDA-nya dipuji oleh negara-negara lain yang juga sedang berjuang keluar dari eksploitasi kolonial. Tak sedikit gerakan progressif dunia yang menjadikan Chavez sebagai inspirasi dalam perjuangan merebut kembali kontrol terhadap SDA dan aset ekonomi yang menguasai hajat hidup rakyat.

Chavez juga tak percaya dengan demokrasi prosedural. Sebaliknya, ia mendorong demokrasi partisipatoris. Chavez pun mendorong pembentukan “Dewan Komunal”. Menurut konstitusi, Dewan Komunal adalah sarana dari rakyat terorganisir untuk mengambil-alih dan menjalankan langsung kebijakan administrasi dan proyek pembangunan. Dewan Komunal merespon aspirasi dan kebutuhan langsung dari komunitas.

Pada tahun 2006, sudah berdiri 4000 dewan komunal di seluruh Venezuela. Angka ini meningkat menjadi 19,500 pada tahun 2007 dan sekitar 30 000 pada tahun 2011. Banyak rakyat yang sudah mendapat keuntungan langsung dari model demokrasi partisipatif ini.

Waktu menang pemilu tahun 1998, Chavez seperti gelombang kecil di tengah lautan neoliberal. Namun, justru karena itu, kesuksesannya telah memicu kenaikan kaum progressif di kawasan Amerika Latin: pada tahun 2000, Ricardo Lagos menang di Chili; pada 2002, Luis Inacio Lula da Silva di Brasil; pada 2003, Nestor Kirchner di Argentina; pada 2005, Tabare Vazquez di Uruguay; pada 2006, Michelle Bachelet di Chile, Evo Morales di Bolivia, Rafael Correa di Ekuador, Daniel Ortega di Nikaragua dan Cristina Fernandez di Argentina; pada 2008, Fernando Lugo di Paraguay; pada tahun 2009, Mauricio Funes di El Salvador, Pepe Mujica di Uruguay; pada 2010, Dilma Roussef di Brazil; pada tahun 2011, Ollanta Humala di Peru.

Efek Chavez menular ke Amerika Latin. Pada tahun 2004, untuk mengkonsolidasikan alternatif terhadap neoliberalisme di Amerika Latin, Chavez memprakarsai berdirinya Aliansi Bolivarian Untuk Rakyat Amerika latin (ALBA).

Pada tahun 2006, Chavez berhasil memainkan peran penting dalam mengkonsolidasikan gerakan sosial dan pemerintahan kiri Amerika latin untuk menolak Free Trade Arean of America (FTAA)—perdagangan bebas yang dipaksakan oleh AS. Pada tahun 2009, Chavez mensponsori pembentukan Bank Selatan, sebagai alternatif terhadap IMF dan Bank Dunia.

Langkah Chavez memang tidak menyenangkan bagi AS. Bukan hanya karena pada tahun 2006, di sidang Majelis Umum PBB di New York, AS, Chavez menyebut Presiden Bush sebagai “setan”, tetapi karena politik Chavez yang sangat anti-imperialis. Lebih jauh lagi, Venezuela merangkul saudara-saudaranya, bangsa Amerika Latin dan Karibia, untuk menjauh dari rangkulan AS.

Puncaknya, Chavez menjadi inisiator penting terbentuknya Komunitas Negara Amerika Latin dan Karibia (CELAC), yang menghimpun 33 negara Amerika Latin dan Karibia. Hanya AS dan Kanada yang tidak dimasukkan dalam forum ini. Inilah pukulan telak bagi AS.

Di Timur Tengah, Chavez juga pahlawan. Venezuela merupakan salah satu negara Amerika Latin yang mendukung kemerdekaan penuh bagi Palestina. Pada tahun 2009, Venezuela merupakan negara pertama yang mengusir dubes Israel dan memutuskan hubungan diplomatik sebagai respon terhadap serbuan Israel ke Jalur Gaza. Pemimpin Hizbullah, Sayyid Hassan Nassrallah, meminta negara-negara Arab untuk belajar pada Venezuela.

Berkat Chavez dan Revolusi Bolivariannya, rakyat di berbagai belahan dunia menjadi sadar, bahwa “Another World Is Possible”. Dan, kebangkitan rakyat tertindas di berbagai belahan dunia, sedikit-banyaknya, terpengaruh oleh Chavez dan Revolusi Bolivarian.

Raymond Samuel

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid