Hujan gerimis baru saja mengguyur Jakarta. Di bawah tenda-tenda sederhana, di depan gedung DPR, ratusan petani masih bertahan. Mereka pantang mundur sebelum pemerintah memenuhi tuntutan mereka.
Diantara ratusan petani itu, sejumlah perempuan tampak tak mau kalah semangat. Seorang dari mereka, Laila, 37 tahun, mengambil megaphone dan berorasi membakar semangat para petani. “Kita harus menuntut hak kita. Tanah itu adalah milik kita dan generasi masa depan. Jangan biarkan tanah dikuasai pemilik modal,” katanya.
Laila, yang bekerja sebagai ibu rumah tangga, rela meninggalkan suami dan anak-anaknya demi berjuang di Jakarta. Baginya, seperti dipelajarinya dari Kartini, perempuan harus meninggalkan dapur untuk mempertahan tanah dari kuasa modal.
Sejak di Jakarta, Laila belajar banyak hal. Ia tahu bahwa bukan cuma petani di desanya yang terancam oleh kekuasaan pemilik modal. “Di sini, saya bertemu dengan petani dari Riau dan Jambi. Saya juga bertemu dengan kaum buruh yang menuntut haknya. Saya makin sadar, bukan cuma kami yang diabaikan pemerintah, tetapi hampir seluruh rakyat Indonesia,” tegasnya.
Laila pun merasa bangsanya, termasuk kaum perempuan, masih terjajah. Dulu, ketika jaman kolonial, penjajahnya adalah Belanda dan kekuatan militernya. Sedangkan sekarang, kata dia, penjajahan muncul dengan kehadiran pemilik modal yang merampas hak-hak rakyat banyak.
Di kampung halaman Ibu Laila, di desa Mekar Jaya, Sarolangun, Jambi, para petani sedang berjuang mempertahankan tanah dari kerakusan PT. Agronusa Alam Sejahtera. Dengan bermodal SK Menhut nomor 464 tahun 2009, perusahaan sawit itu mencaplok lahan milik rakyat seluas 3.482 Ha.
Nasib serupa juga dialami oleh ibu Endang, 28 tahun, petani dari desa Kunangan Jaya II, Batanghari, Jambi. Ia merasa sangat prihatin dengan kehidupan kaum tani di Indonesia. “Katanya kita negara merdeka, tapi rakyat terusir dari lahan mereka sendiri. Kami merasa belum merdeka,” ujarnya.
Baginya, petani Indonesia belum merdeka. Kemerdekaan di mata kaum tani, bagi ibu Endang, sangat sederhana: kaum tani punya kedaulatan untuk mengusai tanah dan mengolahnya demi menopang ekonomi keluarga dan negara. “Kami berproduksi bukan sekedar untuk perut kami. Tapi kami juga berproduksi untuk kebutuhan pangan nasional, untuk kepentingan bangsa dan negara,” terangnya.
Perasaan haru juga dirasakan ibu Mariati Situmorang. Ibu berusia 42 tahun ini rela meninggalkan suami dan anak-anaknya demi berpartisipasi dalam perjuangan petani di depan gedung DPR. “Kami bukan cuma memperjuangkan tanah. Ini juga soal memperjuangkan keadilan,” katanya.
Hati ibu Mariati kadang sedih ketika ditelpon suami dan anak-anaknya. Terlebih, menjelang Hari Raya Natal, keluarganya hendak berkumpul. Tetapi ibu Mariati rela tidak merasakan kemeriahan natal dan tahun baru demi perjuangan.
Ibu dua anak ini pun mengajak perempuan Indonesia membakar kembali semangat Kartini. “Kartini adalah contoh perempuan pejuang Indonesia. Kita harus mengambil semangatnya untuk membebaskan kaum kita dari berbagai bentuk penindasan dan penghinaan,” katanya.
Di tengah-tengah aksi jahit mulut petani Pulau Padang, seorang perempuan juga terbaring dengan semangat baja. Ia adalah Purwati, 45 tahun, perempuan petani dari Pulau Padang. Ia rela ikut aksi jahit mulut meskipun harus berhadapan dengan serangan maag kronis. Ia memilih tegar dan tetap kuat, asalkan pulau kelahirannya, Pulau Padang, selamat dari kerakusan korporasi PT. RAPP. Benar-benar seorang perempuan tangguh!
Ibu Laila, Endang, Purwanti dan Mariati adalah contoh yang dapat mewakili kondisi mayoritas perempuan Indonesia saat ini. Khususnya kaum perempuan dari kalangan bawah, yang berkontradiksi langsung dengan neoliberalisme dan imperialisme. Mari kobarkan lagi semangat Kongres Perempuan Indonesia, 22 Desember 1928, untuk mengusir imperialisme!
Ulfa Ilyas
- Fascinated
- Happy
- Sad
- Angry
- Bored
- Afraid