Elpiji Naik Lagi?

Belum keluar dari teror ledakan kompor gas, rakyat Indonesia kembali diperhadapkan dengan rencana baru pemerintah: menaikkan gas elpiji 3 kilogram. Pemerintah secara berlebihan telah melemparkan persoalan disparitas harga elpiji 3 kg dan 12 kg sebagai penyebab maraknya pengoplosan, dan hal itu dijadikan kambing hitam penyebab utama ledakan kompor gas di mana-mana.

Masalah pengoplosan bukanlah penyebab primer, melainkan persoalan sekunder dari kesalahan umum kebijakan pemerintah di sektor energi. Adalah sangat tidak masuk akal, bahwa sebuah Negara yang punya cadangan gas melimpah, telah memaksa rakyatnya membayar mahal harga gas elpijinya. Bukannya memberi efek jera kepada para pengoplos, pemerintah malah membunuh rakyat banyak.

Seharusnya, sebelum mengatasi secara tuntas persoalan penyebab ledakan gas, pemerintah jangan melangkah jauh-jauh. Karena, sampai sekarang ini, ledakan gas belum berhenti dan masih terus merenggut korban jiwa di berbagai daerah.

Apalagi, kenaikan rencana kenaikan ini kontras sekali dengan kehidupan rakyat secara umum, yang sudah sangat menderita akibat beban ekonomi. Menaikkan gas elpiji secara sepihak, dengan tidak memperhatikan kondisi kesulitan ekonomi yang dialami sebagian besar rakyat, adalah keputusan yang tidak popular, berlawanan secara langsung dengan kepentingan rakyat banyak; karenanya, anti pancasila dan UUD 1945.

Namun, jika ditelusuri lebih lanjut, kami melihat adanya kepentingan “terselubung” di balik rencana tersebut. Dengan tampil seolah-olah hendak menyelamatkan rakyat, pemerintah malah semakin mantap untuk menjadikan persoalan gas dan distribusinya sebagai hidangan paling lezat bagi para investor. Dengan potensi pangsa pasar sekitar 65 juta rumah tangga, maka Indonesia tentu menjadi pasar yang sangat menggiurkan bagi perusahaan gas asing, ataupun produsen tabung gas dan aksesorisnya.

Dengan cadangan gas mencapai 170 TSCF dan produksi per tahun mencapai 2,87 TSCF, dan diperkirakan akan bertahan hingga 59 tahun lagi, maka Indonesia tidak seharusnya ketakutan mengalami krisis energi dan bahan bakar dalam waktu dekat.

Kita perlu untuk memikirkan soal proyek pengelolaan gas di dalam negeri guna memenuhi kebutuhan energi yang terus meningkat. Untuk itu, sebagai langkah pertama yang sangat mendesak untuk dilakukan, adalah memprioritaskan produksi gas untuk kebutuhan domestik. Sekarang ini, karena bayang-bayang UU migas, kita dipaksa mengikuti  ketentukan pasok dalam negeri (domestic market obligation/DMO) sebesar 25%, yang mengakibatkan kebutuhan domestik selalu defisit. Pendek kata, Pemerintah harus berani untuk menghapuskan UU nomor 22 tahun 2001 tentang migas ini.

Setelah itu, kita mulai mengupayakan pembangunan infrastruktur pengelolaan gas-nya, mulai dari hulu sampai ke hilir. Menurut pengamat migas Qoyum Tjandranegara, kita hanya membutuhkan dana sebesar Rp 110 triliun untuk membangun infrastruktur gas itu, dan diperkirakan akan selesai dalam lima tahun.

Kalau gas bisa diproduksi dan dikelolah oleh Negara sendiri, maka kebuntuan soal kebutuhan energi nasional pun akan sedikit teratasi. Karena cadangan gas masih melimpah, maka harganya bisa dipatok lebih rendah sehingga bisa dijangkau seluruh rakyat. Disamping, tentu saja, kita tidak akan melupakan usaha-usaha untuk mencari energi alternatif non-fosil.

Kembali pada rencana keputusan pemerintah menaikkan elpiji 3 kg, kami menganggap rencana ini tidak punya alasan pembenaran sedikit pun. Seharusnya, kalau niatnya memang hendak memangkas disparitas, maka pemerintah semestinya menurunkan harga elpiji 12 kilogram. Selain menciptakan rasa aman kepada rakyat, hal ini juga akan sangat membantu dalam mengurangi beban ekonomi rakyat.

Selain itu, seperti yang dianjurkan oleh mantan Wapres Yusuf Kalla, bahwa pemerintah sebaiknya menggratiskan aksesoris tabung gas itu, seperti selang, rubber seal di dalam katup, katup, regulator dan kompor. Dalam hal apapun, sepanjang itu menyangkut kesejahteraan rakyat, maka pemerintah tidak boleh berlaku “pelit”.

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid