Bung Hatta Dan Politik Perekonomian

Kebijakan kenaikan harga BBM jangan dipolitisasi. Begitulah “curhat” Presiden SBY di layar kaca. Pendek kata, bagi SBY dan juga banyak ekonom neoliberal, kebijakan ekonomi harus terpisah dari persoalan politik. Ya, inilah cara pandang yang dominan sekarang ini.

Tetapi, jika mengutak-atik kembali fikiran-fikiran pendiri bangsa, kita tidak pernah menemukan adanya pemisahan ekonomi dan politik. Hatta, seorang pejuang yang sangat faham akan ilmu ekonomi, menganggap ekonomi dan politik tidak dapat dipisahkan.

Pada tahun 1932, dalam sebuah tulisannya di Daulat Rakjat, Politik dan Ekonomi, Bung Hatta menguraikan singkat hubungan politik dan ekonomi. “Politik dan ekonomi harus sejalan, sama mendorong ke muka,” kata Hatta menyimpulkan garis pandangan partai yang didirikannya, Pendidikan Nasional Indonesia (PNI).

Menurut Hatta, politik harus berusaha menuntut hak rakyat, untuk meluaskan medan pergerakannya dan untuk memperoleh kemerdekaan rakyat. Sedangkan ekonomi harus memperbaiki dan menyelamatkan penghidupan rakyat, yakni melepaskan rakyat dari kongkongan ekonomi asing atau penindasan majikan. Pendek kata, soal politik adalah pemerdekaan rakyat dari sebuah kekuasaan menindas, sedangkan soal ekonomi adalah pemerdekaan penghidupan rakyat.

Bung Hatta berusaha meringkasnya sebagai berikut: “politik tanpa ekonomi tidak akan mencapai tujuan sempurna, sedangkan ekonomi tanpa haluan politik akan tidak jelas arahnya dan tidak selamat.” Artinya, sebuah kebijakan ekonomi mesti dituntun oleh sebuah haluan politik.

Hatta meletakkan politik sebagai “perambah jalan untuk kemajuan ekonomi”. Sebuah penindasan atau eksploitasi pasti diselubungi oleh politik. Kolonialisme, misalnya, itu diselubungi dengan koloniale politiek.

Di negara jajahan, misalnya, bagaimana membangkitkan ekonomi mereka? Jikalau rakyat tidak insaf dengan kekuatannya, tetap bodoh, dan tetap dikelabui oleh sebuah politik kolonial. Untuk membangkitkan rakyat, maka mesti dibangun sebuah gerakan politik yang tugasnya menyadarkan dan membangkitkan rakyat.

“Nyatalah pula, bahwa dalam hal demikian itu politik harus tampil berjalan dahulu, merambah jalan dan membangunkan rasa manusia di dalam hatinya rakyat,” kata Bung Hatta.

Bung Hatta mengulang lagi pendapatnya ini pada tahun 1964. Pada saat menyampaikan pidato pengantar di sidang paripurna ilmiah dan diskusi Kongres III Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI), di Aula UI Jakarta, Hatta kembali menegaskan pentingnya politik perekonomian.

Ekonomi terbentuk oleh sebuah bangunan sosial masyarakat. Karena itu, kata Bung Hatta, ekonomi tidak bisa dipisahkan dengan masalah politik, etik, organisasi yuridis dan sosial dan terutama dengan ideologi negara.

Masalah ekonomi yang kita hadapi sehari-hari, kata Bung Hatta, tidak semata-mata terletak di bidang ekonomi teoritika, melainkan sebagian besar terletak pada politik-perekonomian. Coraknya ditentukan oleh ideologi, politik negara dan faham kemasyarakatan.

Dalam politik perekonomian—lagi-lagi Bung Hatta menegaskan ulang pandangannya di tahun 1930-an, politik harus terletak di muka, sebagai perambah jalan untuk kegiatan atau perjuangan di lapangan ekonomi.

Politik perekonomian bagi sebuah negara bermakna tindakan apa yang harus dijalankan dalam jangka pendek dan jangka panjang untuk memperbesar kemakmuran rakyat. Atau, pendek kata, rumusan sederhananya begini: bagaimana mengerahkan alat-alat dan potensi-potensi ekonomi untuk mendatangkan kemakmuran yang sebesar-besarnya bagi rakyat?

Menurut Hatta, politik perekonomian memberi petunjuk tentang kemungkinan-kemungkinan yang ada, sekarang dan di masa datang. Oleh karena itu, sebuah politik harus dilengkapi ideologi atau pandangan hidup untuk mencapai tujuan.

Karena itu, di mata Hatta, pendidikan ekonomi di Universitas tidaklah semata-mata mendidik agar orang memiliki pengetahuan yang diperlukan, tetapi juga harus ada pendidikan karakter. Inilah pentingnya politik dan ideologi dalam pendidikan. Supaya setiap orang punya keberpihakan yang jelas.

Inilah yang absen di dalam realitas “keindonesiaan” sekarang. Ekonomi hendak dijauhkan dari politik dan ideologi negara. Lihat saja bagaimana kebijakan ekonomi pemerintah menabrak ideologi pancasila dan konstitusi (UUD 1945). Lihat pula sarjana-sarjana ekonom kita yang, ketika memangku sebuah jabatan eksekutif di pemerintahan, hampir tidak punya keberpihakan politik kepada kepentingan bangsa dan rakyat.

KUSNO, Anggota Partai Rakyat Demokratik (PRD)

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid