Nazaruddin, seorang politisi dari partai Demokrat, mendadak terkenal dan menjadi buah-bibir di berbagai media massa. Tuduhan korupsi yang dialamatkan kepadanya bukan saja merusak reputasi partainya, tetapi secara luas semakin memperburuk citra lembaga negara yang dijabatnya: Dewan Perwakilan Rakyat.
Citra DPR memang sudah terlanjur ambruk. Beberapa saat sebelum kasus Nazaruddin, DPR sudah menjadi produsen isu-isu negatif: pembangunan gedung baru, kasus film porno, lembaga negara tanpa email resmi, kasus uang pulsa, dan lain-lain. Begitu buruknya citra yang melekat di DPR, sehingga semua partai politik di DPR pun tak satupun yang lepas dari gambaran negatif.
Buruknya citra politisi atau partai politik, sekalipun banyak fakta yang menunjukkan begitu, tidak bisa juga dilepaskan dari agenda politik kaum neoliberal. Salah satu agenda politik kaum neoliberal adalah melakukan proses depolitasi. Agenda tersebut dijalankan, sekalipun bukan satu-satunya, dengan menggunakan media massa dan LSM/NGO.
Selain itu, hampir semua partai politik di Indonesia saat ini berakar dari tradisi politik tradisional-kanan. Sebagian besar partai-partai tersebut, sekalipun ada individu yang baik dan bersih, dibesarkan oleh politik klientalisme, korupsi, dan uang. Begitu mereka diberi kesempatan berkuasa, maka insting politiknya adalah memperkaya diri, membangun klik kekuasaan, memperlebar jaringan bisnis, dan lain-lain.
Begitulah, dari pemilu ke pemilu, rakyat tidak pernah melihat perubahan. Mereka hanya melihat harapan, tetapi tidak pernah bertemu dengan kenyataan. Oleh karena itu, skeptisisme terhadap politik harus pula dipandang sebagai sebuah penolakan terhadap bentuk politik tradisional kanan.
Akibatnya, kita sekarang ini hidup di tengah sebuah gelombang naik skeptisisme terhadap partai politik dan politik itu sendiri. Dalam situasi yang seperti itu, lembaga-lembaga politik yang sudah kehilangan kredibilitas itu terus-menerus melahirkan ratusan hingga ribuan kebijakan yang menindas. Sementara rakyat, karena sudah terlanjur kehilangan alat politiknya, tidak bisa melakukan perlawanan yang sifatnya signifikan.
Lebih parah lagi, sebagian besar kebijakan menindas itu, meskipun diputuskan melalui DPR, tetapi digodok begitu lama oleh kelompok di luar partai politik—biasanya kelompok bisnis, konsultan politik, dan kaum prefosional. Ole karena itu, ada kecenderungan bahwa proyek depolitisasi berarti menyingkirkan para politisi—orang-orang yang berhubungan dengan konstituen—dalam proses perumusan dan pengambilan kebijakan.
Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa depolitisasi merupakan gaya berpolitik dari kelas dominan sekarang ini. Sebuah cara yang ditujukan untuk mempersingkat pengambilan kebijakan, tanpa melalui perdebatan para politisi dan tanpa melibatkan partisipasi rakyat.
Pada aspek lain, ketika para politisi sudah tidak lagi dipercaya atau sudah rusak secara moral, maka kelas dominan akan memasukkan “kaum professional” atau teknokrat sebagai pengganti politisi ini. Untuk diketahui, sebagian besar kaum professional ini adalah orang-orang cerdas tanpa moral kerakyatan sedikitpun; Mereka dididik rasionalisme pasar dan logika profit berpuluh-puluh tahun di negeri-negeri imperialis; mereka sangat anti terhadap nasionalisme dan populisme.
Para teknokrat atau professional ini, lebih buruk dari para politisi yang digantikannya, memutuskan kebijakan hanya dengan angka statistic, peta buta, dan pertimbangan-pertimbangan ekonomis. Ambil contoh: Sri Mulyani, seorang profesional yang menjadi ekonom, memilih menggelontorkan uang negara triliunan rupiah untuk menyelamatkan Bank Century, atas dasar pertimbangan menjaga stabilitas moneter, ketimbang menyelamatkan para pekerja yang terkena PHK akibat krisis ekonomi.
Untuk saat sekarang ini, rakyat memang sudah skeptis dgn kinerja para politisi, dan semakin hari jumlah rakyat yg skeptis itu terus/ semakin bertambah seiring dgn “kebijakan2” dari para politisi yg hanya mencari kesenangan2 pribadi/ kelompoknya & seiring “kebijakan2” dari para birokrat yg dukungan politisi koalisi yg semakin ‘menjerumuskan rakyat ke dalam jurang pemiskinan di negeri nya sendiri’…
Wait and see sajalah, jika tidak ada perubahan sikap yg signifikan dari para pembuat kebijakan tsb, maka angka statistik Golput di 2014 akan makin bertambah banyak sebagai bukti dari bentuk skeptisisme rakyat…