APBN 2012: Rakyat Dipaksa Membayar Krisis

Presiden SBY sudah membacakan rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2012 pada 16 Agustus lalu. Jika kita lihat postur APBN 2012 itu, maka sebagian besar komponennya diperuntukkan untuk membiayai kaum kaya dan asing. Itulah kesimpulan kami.

Anggaran itu sama sekali tidak peduli dengan nasib rakyat, pengusaha nasional, dan kepentingan nasional. Anggaran senilai 1400 Triliun itu lebih banyak diperuntukkan untuk membiayai birokrasi yang tidak produktif dan pembayaran utang.

Pada APBN 2012 ini, alokasi untuk belanja rutin meningkat menjadi 80,43%, atau naik dari 78,49% di APBNP 2011. Sedangkan anggaran untuk belanja modal hanya 17,62% dan belanja sosial hanya 6,67%. Anggaran untuk membiayai birokrasi korup dan tidak efisien juga naik menjadi 22,61% di RAPBN 2012 atau mencapai Rp215,7 triliun.

Anggaran subdisi justru turun drastis. Pada APBN 2012, anggaran subsidi direncanakan hanya Rp 208,9 triliun, atau turun sebesar Rp 28,3 triliun dari APBN-P 2011 yang sebesar Rp 237,2 triliun. Jika kita lihat, anggaran subsidi yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak, jauh lebih rendah dibanding untuk membayar pegawai-pegawai tidak produktif itu.

Anggaran subsidi senilai Rp 208 triliun itu akan diperuntukkan untuk subsidi BBM Rp 123,6 triliun; subsidi listrik Rp 45 triliun; dan subsidi non-energi Rp 40,3 triliun. Untuk subsidi pangan, pemerintah hanya menyiapkan Rp41,9 triliun. Sebuah angka yang sangat nihil.

Apa yang perlu kita catat dari APBN 2012 itu?

APBN 2012 tidak bisa menjadi “tongkat ajaib” untuk mengatasi persoalan negeri ini: kemiskinan, pengangguran, kehancuran industri nasional, dan lain sebagainya. Corak penyusunan APBN masih sangat neoliberal. Penyusunnya pun, sekalipun bersembunyi di balik meja, adalah penganut neoliberal tulen.

Pertama, APBN 2012 sangat minim sekali untuk pembangunan. Bagaimana kita bisa berharap ada pembangunan ekonomi nasional, jika anggaran untuk infrastruktur masih kurang dari 17%. Rejim orde baru saja, yang sering kita kutuki sebagai penjahat dan anti-rakyat, punya anggaran pembangunan  yang konsisten sebesar 40-45%. Itu tertinggi di Asia Tenggara pada jamannya.

Kedua, APBN 2012 sama sekali “tidak awas” terhadap kemungkinan terburuk dari krisis kapitalisme global. Di banyak negara lain, seperti Tiongkok dan Amerika Latin, prioritas pemerintahannya justru pada investasi sektor produktif dan infrastruktur. Mereka tidak mau terseret oleh krisis kapitalisme global.

Sebagai missal, SBY hanya merancang anggaran pangan hanya Rp41 triliun, sedangkan dunia sedang berhadapan dengan gejolak harga pangan. Ini sama saja dengan membiarkan sektor pertanian mati. Belum lagi, SBY juga masih sangat konsisten untuk mengimpor pangan dari luar negeri.

Ketiga, APBN 2012 memperlihatkan bahwa SBY sangat konsisten untuk memerangi subsidi untuk rakyat. Ini adalah cara berfikir kaum neoliberal. Bagi mereka, subsidi adalah sebuah pemborosan dan membebani anggaran. Mereka tidak tahu bahwa ada ratusan juta rakyat yang perlu ditolong dengan subsidi.

Dengan memotong subsidi, khususnya untuk BBM, listrik, dan pangan, maka pemerintah telah memaksa rakyat “membayar lebih mahal” kebutuhan-kebutuhan hidupnya yang bersifat dasar. Rakyat akan merasakan kenaikan harga berkali-kali lipat: dimulai dari kenaikan BBM dan listrik, lalu memicu kenaikan harga barang pokok lebih tinggi lagi.

Sebetulnya, menurut kami, rakyat membayar dua pajak sekaligus: pajak langsung dan tidak langsung.  Pajak langsung adalah pajak yang dibayarkan langsung seperti pajak bumi bangunan, retribusi, dan pajak penghasilan. Sedangkan pajak tidak langsung adalah dikeluarkannya uang dari kantong rakyat karena, misalnya, kenaikan harga akibat penghapusan subsidi atau privatisasi.

Lebih jauh lagi, menurut kami, APBN 2012 juga telah memaksa rakyat miskin Indonesia untuk membayar mahal krisis kapitalisme global. Sebuah cara yang sama diterapkan oleh pemerintah-pemerintah di Eropa saat ini melalui program penghematan.

Hal ini juga menjelaskan bahwa APBN 2012 tidak mengenal “redistribusi ekonomi”. Pendapatan negara, sebagian besar dari pajak dan ekspor, justru didistribusikan kepada kaum kaya (birokrat) dan kepada asing melalui pembayaran utang.

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid