Setelah satu abad lebih 3 tahun bangkit dari kesadaran keterbelakangan akibat kolonialisme; setelah enam puluh enam tahun merdeka; dan setelah-setelah yang lain dari berbagai peristiwa nasional yang menjadikan keberadaan Republik Indonesia ini, kita tetap merasa bahwa tujuan dari keberadaan Republik ini tak ada yang tercapai dengan menggembirakan.
Dalam soal kehidupan berbangsa, justru kita semakin fragmentatif: ketersinggungan antar warga negara akibat isu-isu berbau SARA terus mengemuka sementara Pemerintah tak bertindak tegas. Dalam soal menyejahterakan rakyat, kita lihat bagaimana kemiskinan terus menghantui dan rakyat tanpa pekerjaan terlunta-lunta menengadahkan tangan. Dalam soal pendidikan, walau digembar-gemborkan gratis untuk sekolah dasar tetap saja ada anak usia sekolah tak sekolah dan justru bergelandangan di jalanan.
Melihat fakta-fakta kemiskinan, kehidupan berbangsa yang tak toleran tapi mengedepankan kepentingan kelompok berbasiskan SARA bukan pada kepentingan nasional dan diketahui pula bagaimana kekayaan alam Indonesia yang seharusnya menjadi sumber berbagi kebahagiaan rakyat Indonesia sebagaimana amanat pasal 33 UUD 1945 justru dikuasai asing, imperialisme, sewajarnyalah bila disampaikan pertanyaan: apakah kita tidak butuh perubahan radikal?
Hampir setiap hari, kita dijejali dan dicekoki media dengan hantu-hantu radikalisme. Hantu-hantu radikalisme itu mewujud dalam tindakan-tindakan teror dan kekerasan seperti pengeboman dengan tidak menyertakan tuntutan yang jelas. Rakyat dipaksa menafsir sendiri kemauan para terorist sementara rakyat yang terus-menerus di belenggu kemiskinan juga menyaksikan dan merasakan bagaimana pemerintah menyia-nyiakan berbagai peluang untuk menyejahterakan rakyat. Pemerintah seakan tak bersegera bertindak cepat dalam hal ini bertindak revolusioner melakukan berbagai terobosan yang dapat bersegera menaikkan derajat dan martabat si miskin. Apa susahnya menaikkan derajat kesejahteraan dan martabat rakyat miskin di Indonesia dengan berbagai kekayaan alam yang dikandungnya ini?
Pertanyaan ini karena juga sudah diajukan bertahun-tahun semenjak kemerdekaan dan bagaimana rakyat miskin begitu terlibat dalam gerakan kemerdekaan karena janji-janji kehidupan yang lebih baik bila terlepas dari kolonialisme, membawa kita pada pertanyaan lebih mendalam: apakah sebenarnya akar kemiskinan dan penderitaan rakyat Indonesia yang sudah menahun ini yang seakan tak ada ujung akhirnya walau pemerintahan terus-menerus berganti? Kesadaran terhadap akar masalah ini akan membawa kita pada tuntunan yang mengarah pada perubahan radikal dalam arti perubahan yang sanggup menyentuh akar masalah bukan masalah kulitnya saja sebagaimana kita pahami bahwa radikal berasal dari bahasa latin yang berarti akar (radix = akar).
Di negara kepulauan Republik Indonesia, yang dikenal kaya raya sejak jaman baheula ini, bisa dikatakan bahwa korupsi yang merajalela ini hanyalah masalah kulit bukan akar masalah yang harus diatasi secara radikal. Penyebab utama dan yang menjadi akar masalah kemiskinan di nusantara adalah penjajahan dan penghisapan oleh kekuatan asing: imperialisme. Sering disampaikan: bagaimana VOC runtuh karena korupsi, tapi sebenarnya yang terjadi adalah kehendak pemerintah Kerajaan Belanda sendiri yang hendak mengangkangi kekayaan nusantara yang mereka sebut Hindia Belanda itu. Sekali lagi, sebabnya adalah Indonesia kaya raya dan berbagai kekuatan asing ngiler terhadap kekayaan negeri Indonesia dan karena itu penaklukan diperlukan. Dalam penaklukan, usaha pelemahan mentalitas dilakukan dengan berbagai cara: selalu saja adu domba diperlukan dan kita begitu mudah diadu-domba, termasuk juga pemalsuan sejarah dan korupsi dalam pengajaran sejarah dan tanpa sadar menjadi lemah sementara kekuatan asing terus mencengkeram bumi kekayaan kita dengan berbagai cara. Kita ingat dalam Operasi Hongi bagaimana cengkih yang menjadi mata kehidupan rakyat itu dihancurkan kolonialisme Belanda dengan berbagai cara dan rakyat yang menanam cengkih diperangi dengan kejam seakan menanam tanaman yang membawa kutukan padahal tujuan utamanya adalah memonopoli perdagangan rempah-rempah.
Belajar dari para pendahulu kita yang patriotik, mencintai negeri dan begitu ingin merdeka dari penjajahan dan penindasan bangsa asing, apakah kita saat ini tidak butuh perubahan radikal? Jawabannya tentu saja butuh: Perubahan radikal itu bisa dimulai dari mindset kita dalam membangun bangsa yaitu terlebih dahulu mendahulukan kepentingan nasional dan dalam mendahulukan kepentingan nasional ini terlebih dahulu juga mendahulukan warga negara yang tidak beruntung sebagaimana sebagian warga negara yang tidak beruntung itu dijamin dalam pasal 34 UUD 1945.
Lalu kenapa akhir-akhir ini radikalisme menemukan makna dan arti yang buruk berbarengan dengan berbagai tindakan teror: kekerasan dan pengemboman oleh kelompok tertentu? Padahal radikalisme mengajak kita untuk selalu melihat akar masalah walau tidak mesti harus disertai dengan tindakan kekerasan. Gandhi, pahlawan pembebasan nasional India misalnya, berjuang tanpa kekerasan walau yang dituntut terhadap kolonialis Inggris adalah problem yang sangat mendasar dan radikal.
Apakah para pelaku teror dan pengeboman yang tak bertanggung jawab akhir-akhir ini bisa dilekatkan dengan tindakan radikal sementara hampir selalu tak disertakan perubahan radikal yang dituntut dan diajukan di tengah keterpurukan bangsa ini?
Kesimpulannya justru: pengeboman terhadap rumah ibadah dan kekerasan terhadap minoritas justru mencerminkan kegagalan Pemerintah dalam pembangunan yang sedang dijalankan dan merupakan usaha menjauhkan rakyat dari kesadaran terhadap akar masalah yang seharusnya ditangani secara radikal.
AJ Susmana, Deputi Keuangan Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokatik (KPP-PRD)
- Fascinated
- Happy
- Sad
- Angry
- Bored
- Afraid