Puluhan aktivis gerakan mahasiswa dan pejuang HAM berkumpul di kampus Unair, tadi malam (27/7) untuk memperingati peristiwa ’27 Juli 1996’. Acara peringatan itu berlangsung di Tandon Heman Bimo kampus B Unair.
Menurut koordinator acara ini, Catur Wibowo, setelah 15 tahun peristiwa “27 Juli 1996” berlalu, peristiwa ini pun mulai menghilang dalam benak rakyat. “Kita menggelar peringatan ini untuk terus mengenang peristiwa tersebut,” katanya.
Sejumlah organisasi pun terlibat dalam peringatan ini, diantaranya: Ikatan Keluarga Orang Hilang (IKOHI) Jatim, Serikat Kedaulatan Mahasiswa untuk Rakyat (SKMR), Forum Advokasi Mahasiswa Universitas Airlangga (FAM Unair), Keluarga Besar Rakyat Demokratik (KBRD), dan Paguyuban Arek Suroboyo (PAS).
Acara ditandai dengan orasi-orasi politik, musikalisasi puisi, diskusi, dan aksi teatrikal. Dalam sebuah aksi tetrikal digambarkan tentang tidak adanya kejelasan mengenai penyelesaian kasus ini.
Ancaman RUU Intelijen
Salah satu tema yang paling banyak dibicarakan para aktivis saat acara peringatan tadi malam adalah ancaman RUU Intelijen.
Para aktivis menilai RUU itu sebagai upaya pengembalian “hak istimewa” militer. “RUU Intelijen sangat mengancam kehidupan demokrasi rakyat,” ujar Catur Budi, aktivis Forum Advokasi Mahasiswa Unair.
Pasalnya, menurut Catur Budi, RUU ini memberikan Badan Intelijen Negara (BIN) untuk melakukan penyadapan tanpa izin pengadilan dan menangkap seseorang atau badan hukum.
“Tentu saja, pemberian kewenangan menangkap kepada lembaga intelijen sama saja artinya dengan melegalikan kewenangan penculikan mengingat kerja intelijen yang rahasia dan tertutup,” katanya.
Ia juga mempersoalkan adanya ancaman saksi pidana dalam RUU itu terhadap orang atau lembaga yang membocorkan rahasia intelijen. “Artinya, dengan kategori rahasia informasi intelijen, maka akan jelas-jelas mengancam kebebasan pers kita dalam konteks kebebasan informasi,” tegasnya.
Hal lain yang dipersoalkan oleh aktivis FAM Unair ini adalah penempatan lembaga intelijen sebagai bagian dari pemerintah, bukan alat negara. Dengan demikian, lembaga intelijen akan sangat mudah diperalat sebagai alat kekuasaan, ketimbang menjadi alat untuk kepentingan bangsa dan negara.
Mereka juga menyoroti RUU Keamanan Nasional, yang dianggap memberikan kewenangan luar biasa kepada Presiden dalam hal penentuan ancaman keamanan nasional. “RUU Keamanan Nasional memberikan wewenang kepada TNI dan BIN untuk melakukan penangkapan, pemeriksaan, dan penyadapan untuk menangani serta mencegah sebuah ancaman nasional,” ujar para aktivis.