Absennya Kebudayaan

Di tengah kegalauan bangsa menghadapi kemerosotan ekonomi,  kebudayaan justru tidak tampak maksimal sumbangannya. Kebudayaan seperti berdiri di kejauhan atau di ruang tunggu menanti panggilan untuk menyajikan penghiburan bagi mereka yang berjibaku menyelesaikan problem ekonomi.

Dalam pandangan ini, kebudayaan justru menjadi beban ekonomi dan berlaku tidak ekonomis. Untuk itu kebudayaan dalam fungsi escapisme untuk mengatasi stress ekonomi justru semakin menonjol. Ketika perusahaan publik pun melaporkan penurunan pendapatan bersihnya. Adhi Karya turun 34,5 persen, Agung Podomoro Land 65 persen, Astra International 15,64 persen, Bank Danamon 21,47 persen, Holcim bahkan merosot sebesar 89,78 persen…Dan puncaknya, harga-harga saham merosot. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun di bawah level 5.000. Konon yang naik adalah penjualan narkoba (naik 28 persen), miras (naik 63 persen), bisnis prostitusi (naik 200 persen) dan batu akik (konon bisa naik 300 persen) (Herdi Sahrasad, Kemandirian dan Utang, Kompas edisi 15 Juni 2015).

Tanpa kehadiran kebudayaan yang maksimal dalam arti aktif bergerak secara moral menguatkan landasan-landasan ekonomi yang dibangun, bisakah gagasan-gagasan dan solusi-solusi ekonomi yang selalu ditawarkan itu menemukan keberhasilan?

Diakui bahwa kebudayaan bagi Republik Indonesia adalah bagian penting yang tidak bisa ditinggalkan dalam menyelesaikan problem nasional termasuk di sini adalah soal-soal ekonomi. Setidaknya itulah yang digariskan dalam Tri Sakti yang dianggap sebagai jalan keluar: kebudayaan tidak ditinggalkan sebab untuk membangun perekonomian yang tangguh itu di samping perlu kedaulatan politik juga kebudayaan yang berkepribadian. Sejak lama potensi kebudayaan dalam artian menyelesaikan masalah secara bersama yaitu gotong-royong terbukti sakti. Persatuan alias gotong royong tentu saja tak sekadar seruan politik sebagaimana selalu kita dengar akhir-akhir ini tetapi juga gotong-royong keilmuan alias filsafat. Tanpa ini, seruan persatuan politik tanpa dasar filsafat hanyalah akan menghasilkan perpecahan di sisi lainnya dan bisa juga sekadar politik pencitraan belaka.

Absennya kebudayaan dalam mengatasi soal-soal kebangsaan sehingga hanya bertumpu pada solusi-solusi ekonomi dan deklarasi-deklarasi politik jelas merugikan kemajuan berbangsa dan bernegara. Pandangan yang menyingkirkan kebudayaan atau menganggap bahwa kebudayaan adalah hal yang sepele dan seringkali luput dari pembahasan dan jatuh pada dunia penghiburan jelas berakar jauh dalam kepentingan langgengnya kolonialisme. Begitulah kolonialisme Belanda memberikan penghiburan bagi kuli-kuli perkebunan tebu dan tembakau dalam pesta pasca panen yang membangkrutkan secara ekonomi dan martabat sehingga para kuli tak pernah lepas dari jeratan utang dan kembali membungkuk-bungkuk menandatangi kontrak kerja dan utang baru.

Soal tidak menganggap penting kebudayaan itu juga tercermin dalam perjanjian Konferensi Meja Bundar 1949 yang disetujui para delegasi pemerintah Republik Indonesia. Ki Hajar Dewantara menulis dalam Mimbar Indonesia: “…bagi para perunding Indonesia, kebudayaan dipandang sebagai perangkap tersembunyi yang digunakan oleh Belanda untuk meraih keuntungan pada aras politik. Dari pengalaman masa lalu mereka tahu bahwa Belanda tak bisa dipercaya, karena Belanda selalu menggunakan ‘usaha-usaha kebudayaan’ untuk memperkuat dan memelihara kebijakan kolonialnya yang kapitalistis dan imperialistis. Akan tetapi perhatian para perunding Indonesia yang terlalu terpusat pada politik telah membuat perundingan-perundingan tentang kebudayaan berakhir dengan kekecewaan dan muncul rasa ‘terpojokkan’….jika bangsa Indonesia tidak peduli, mungkin akan tetap merdeka secara politis, tetapi secara kultural akan dijajah kembali oleh Belanda. Hal ini akan mengancam kemerdekaan politik rakyat Indonesia.” (baca juga Jennifer Lindsay & Maya HT Liem (penyunting) Ahli Waris Budaya Dunia, Pustaka Larasan, Jakarta, 2011; 280-281)

Dengan begitu jelas krisis nasional akhir-akhir ini yang jelas mewujud dalam krisis ekonomi berakar jauh juga dalam kebudayaan dan bagaimana cara kita meletakkan kebudayaan dalam mengatasi kelesuan ekonomi. Tentu sudah tidak jamannya lagi menyelesaikan proyek infrastruktur sebagaimana Daendels menyelesaikan Jalan Raya Pos dari Anyer sampai Panarukan. Bukan hanya soal pembebasan lahan yang merugikan rakyat dan disertai dengan kekerasan tetapi juga soal bagaimana gagasan ekonomi dan solusinya itu dicintai rakyat dengan sepenuh hati karena bukan milik Daendels belaka!

AJ Susmana, Wakil Ketua Umum Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik (KPP PRD)

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid