Paket Ekonomi Cita Rasa Neoliberal

Setiap kebijakan ekonomi adalah soal politik. Di dalamnya dituntut keberpihakan. Dia mau melayani siapa: kapital atau manusia? pebisnis atau rakyat? kepentingan nasional atau kepentingan kapitalisme global?

Begitulah seharusnya kita melihat Paket Kebijakan Ekonomi Jilid 1 (selanjutnya disingkat: PKE) yang baru saja diumumkan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Sekalipun dibungkus dengan retorika manis, tetapi kita perlu menginterogasi kepentingan siapakah yang paling dilayani oleh paket kebijakan ekonomi tersebut?

Saya kira, kunci utama PKE Jilid I adalah deregulasi. Deregulasi itu, kata jubir pemerintah, untuk memangkas berbagai aturan yang menghambat pembangunan ekonomi. Harapannya, kalau aturan sudah dibereskan, aktivitas ekonomi pun akan lancar. Dan ekonomi nasional bisa keluar dari cekikan krisis. Amien!

Hingga saat ini, kata Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Sofyan Djalil, ada sekitar 2.700 aturan yang menghambat kelancaran aktivitas ekonomi. Untuk jilid 1 ini, ada 134 aturan penghambat ekonomi akan dideregulasi. Target deregulasi ini adalah memangkas aturan yang tumpang tindih, berbelit-belit (birokratis), dan tidak perlu (irrelevant regulation).

Benarkah begitu?

Deregulasi adalah salah satu bentuk nyata neoliberalisme. Menurut Leo Panitch, seorang profesor Ilmu Politik di York University, tujuan deregulasi adalah menghilangkan semua aturan hukum/birokrasi yang merintangi kebebasan kapital. Ini sejalan dengan agenda neoliberalisme yang bertujuan: satu, perdagangan bebas barang dan jasa; dua, sirkulasi bebas kapital; dan tiga, kemerdekaan dalam berinvestasi (Susan George, 1999).

Sekarang tengoklah agenda deregulasi ala Jokowi itu. Saya menangkap ada tiga agenda besar di balik agenda deregulasi tersebut. Pertama, mendorong perdagangan bebas barang dan jasa dengan menghilangkan segala bentuk rintangan terhadap arus bebas barang dan jasa. Ini dilakukan dengan memangkas semua aturan yang menghambat arus bebas barang (perizinan, pemeriksaan barang, pengawasan, dan lain-lain), menghilangkan bea impor, dan menghilangkan standarisasi produk.

Kedua, menjamin kenyamanan dan keberlangsungan investasi. Dalam konteks ini, deregulasi ditujukan untuk: menyederhanakan proses perizinan, menjamin ketersediaan lahan untuk investor, penghapusan bea impor bahan baku/penunjang, penurunan pajak, jaminan infrastruktur (jalan dan pengangkutan), dan kepastian soal penentuan upah.

Salah satu yang direvisi adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77/2014 tentang Usaha Pertambangan Minerba. Dalam beleid baru nanti, pemerintah akan memberi kelonggaran waktu, yakni paling cepat 10 tahun dan paling lambat 2 tahun, bagi proses pengajuan perpanjangan IUP, IUPK, KK, dan PKP2PB. Aturan ini sangat menguntungkan raksasa tambang, seperti Freeport, Newmont, dan PT. Vale Indonesia.

Ambil contoh Freeport. Kontrak karya perusahaan tambang asal Paman Sam ini akan berakhir tahun 2021. Jika merujuk ke beleid lama, Freeport baru bisa mengajukan perpanjangan tahun 2019. Tahun itu sangat riskan karena ada pemilu sehingga tidak menjamin keberlangsungan kontrak Freeport. Dengan beleid baru, Freeport bisa mengajukan perpanjangan sekarang.

Sebelumnya, melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 159/PMK.010/2015 tentang pemberian fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan), pemerintah telah telah memberi fasilitas tax holiday atau pengurangan/penghapusan pajak untuk industri pionir.

Kebijakan tax holiday ini sangat janggal. Di satu sisi kita mengalami defisit anggaran. Artinya, perlu menggenjot pajak untuk menaikkan penerimaan negara. Tetapi di sisi lain, pemerintahan Jokowi justru memangkas pajak untuk pelaku bisnis.

Ketiga, meminimalkan peran atau campur tangan negara dalam urusan ekonomi. Kehadiran negara, dalam hal ini melalui regulasinya, dianggap menghambat kebebasan kapital. Padahal, campur tangan negara dibutuhkan untuk melindungi kepentingan publik dan mengamankan kepentingan nasional. Padahal, dalam dokumen Nawacita, Jokowi menjanjikan kehadiran negara untuk melindungi kepentingan bangsa.

Sekarang, dengan mengacu pada tiga catatan di atas, tibalah kita pada pertanyaan mendasar di permulaan artikel ini: kepentingan siapakah yang dilayani dalam PKE jilid I ini? Jawabannya sudah jelas: pemilik kapital atau pebisnis.

Dan memang sudah terlihat, jauh sebelum PKE Jilid I ini diumumkan, Jokowi beberapa kali bertemu pengusaha dan meminta masukan mereka. Dia dan pemerintahannya juga gencar merayu investor untuk mau menanamkan modalnya di Indonesia.

Tidak diragukan lagi, PKE Jilid 1 akan semakin memperdalam penerapan agenda neoliberal di Indonesia. Lebih intensif ketimbang rezim sebelumnya. Jika di periode sebelumnya agenda neoliberal masih terhalang banyak regulasi. Sekarang, semua regulasi yang mengganggu investasi akan dihilangkan.

Saya tidak anti investasi asing. Bagaimanapun, investasi asing diperlukan untuk mengerjakan lapangan usaha yang belum sanggup dikerjakan oleh modal nasional dan usaha rakyat. Namun, saya kira, kita juga harus sadar bahwa logika investasi adalah logika kapital, yakni menumpuk laba sebesar-besarnya.

Karena logika investasi adalah logika kapital, tentu saja mereka menghendaki situasi yang mendukung bisnis mereka, seperti ketersediaan bahan baku murah, upah murah, jaminan keamanan, ketersediaan lahan, dukungan infrastruktur, dan kelonggaran dalam memasukkan atau mengeluarkan barang.

Dan, jika menuruti logika itu, kepentingan publik dan nasional bisa dirugikan. Sebagai misal, buruh kita akan dibayar dengan upah murah, maraknya perampasan lahan dan sumber daya (konflik agraria), kerusakan ekologis, hilangnya potensi penerimaan negara, dan lain sebagainya. Karena itu, bagaimanapun, kehadiran investasi asing tetap perlu diregulasi.

Apalagi, pengalaman liberalisasi investasi di era rezim sebelumnya sudah mewariskan banyak masalah: satu, makin dominannya penguasaan asing terhadap sumber daya dan sektor ekonomi strategis; dua, pemodal asing memegang “tampuk produksi” dalam sektor-sektor ekonomi atau usaha ekonomi tertentu yang kontradiktif dengan kepentingan ekonomi nasional. Semisal, penguasaan asing di sektor energi yang berkontradiksi dengan politik energi nasional; tiga, keuntungan dari aktivitas ekonomi mengalir keluar negeri; empat, meningkatnya konflik perebutan sumber daya antara kapital versus rakyat, seperti kasus konflik agraria yang marak terjadi di seantero Indonesia; dan lima, melahirkan sistim politik yang korup, semisal melalui pemberian ijin konsesi yang bermasalah dan melanggar aturan.

Ingat juga, kapital tidak punya nasionalitas. Sebagai misal, ketika AS dan Eropa diguncang resesi, kapital dari sana berlomba-lomba mencari negara baru. Salah satunya: Indonesia. Akibatnya, negeri ini kebanjiran aliran modal masuk (capital inflow). Namun, ketika Bank Sentral Amerika, The Fed, menaikkan suku bunga, dalam sekejap terjadi pelarian kapital keluar (capital flight atau capital outflow). Dan, alhamdulillah, kita tidak mendapat untung apa-apa dari situasi semacam itu.

Begitu juga dalam investasi. Sekarang ini, investor gampang sekali merelokasi pabrik dan memindahkan modalnya dari suatu negara ke negara lain. Terutama ketika ada negara baru yang menjanjikan iklim investasi yang lebih menggiurkan.

Karena itu, kita perlu melirik kembali kebijakan kontrol kapital. Untuk urusan ini, Ekuador bisa jadi inspirasi. Di tahun 2009, pemerintah Ekuador di bawah Presiden Rafael Correa menerapkan pajak terhadap setiap kapital yang mau meninggalkan negerinya (Tax on capital outflows). Tindakan ini bukan hanya berhasil membendung capital flight, tetapi juga menambah pundi-pundi negara. Tidak hanya itu, Correa juga memaksa Bank Sentral memulangkan seluruh asetnya yang disimpan di luar negeri.

Selain itu, jika melihat semangat PKE Jilid I ini, jelas sekali bahwa Jokowi sangat percaya pada mitos “trickle down effect”. Dia yakin, kalau investor menyemut di negeri ini, dibiarkan dengan bebas mengembang-biakkan keuntungannya, akan meneteskan kesejahteraan kepada rakyat.

Tetapi itu terbukti hanya mitos. Ada baiknya mendengar Paus Fransiskus. Orang suci kelahiran Argentina itu bilang, “janji bahwa ketika gelas penuh, lalu menetes, dan menguntungkan si miskin. Tetapi yang terjadi ketika gelas itu penuh, secara ajaib makin membesar, tidak pernah menetes untuk si miskin.”

Padahal, persoalan ekonomi kita sudah jelas. Pertama, negara ini masih mewarisi model ekonomi kolonial, yakni ketergantungan pada ekspor bahan mentah. Akibatnya, ketika harga komoditas primer dunia anjlok, penerimaan negara juga turut jeblok. Inilah yang memicu defisit neraca perdagangan, transaksi berjalan, neraca pembayaran, dan defisit anggaran.

Kedua, agenda neoliberal yang sudah berjalan hampir dua dekade terakhir ini membawa kerusakan parah pada ekonomi nasional: industri nasional kita hancur porak-poranda; sektor pertanian kita juga merosot tajam; pengangguran bertambah besar beriringan dengan membengkaknya sektor informal; kualitas sumber daya manusia kita merosot akibat privatisasi layanan publik; perampasan lahan dan sumber daya yang disertai kekerasan; ketergantungan terhadap impor, termasuk pangan; dan masih banyak lagi.

Sebetulnya, banyak diantara kita, terutama saya, menghendaki agar paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan Jokowi bisa keluar dari jalur lama: neoliberal. Sayang, keinginan itu seperti terperangkap dalam peribahasa lama: bagai pungguk merindukan bulan.

Rudi Hartono, Pemimpin Redaksi Berdikari Online dan Wakil Sekretaris Jenderal Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik (KPP-PRD)

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid