Abad Ketidakpuasan: Apa yang Memicu Pasang Aksi Protes di Berbagai Belahan Dunia?

Dunia kita belakangan ini makin sering diguncang oleh gelombang aksi protes. Dari pemberontakan “Musim Semi Arab” (Arab Spring) hingga pemberontakan sosial di Chile, dunia menyaksikan lonjakan protes berskala besar. Di tengah dunia yang terpolarisasi, pandemi covid-19 hanya meletupkan perasaan marah dan ketidakpuasan.

Sebuah riset terbaru dari Isabel Ortis dkk  membuktikan hal ini. Riset ini menganalisis 2809 aksi protes besar sepanjang 2006-2020, di 101 negara (termasuk Indonesia, red) yang mewakili 93 persen populasi dunia. 

Dimulai pada 2006, ada peningkatan yang konsisten aksi protes setiap tahunnya hingga 2020. Ketika krisis keuangan mulai terasa dampaknya pada 2006-2008, aksi protes melonjak, dan semakin meningkat sejak 2010 seiring dengan penerapan kebijakan penghematan (austerity) di berbagai tempat.

Perasaan kecewa menyeruak di atas menyempitnya pekerjaan yang layak, perlindungan sosial dan layanan publik yang tak memadai, perpajakan yang tak adil, defisit demokrasi, dan berkurangnya transparansi dalam pengambilan kebijakan publik.

Hal ini memicu gelombang protes baru dan lebih politis pada 2016, seringkali menjadi “protes omnibus” (protes yang membawa serta banyak sekali masalah/isu) terhadap kemandekan (status-quo) ekonomi dan politik. Jajak pendapat di berbagai belahan dunia menunjukkan, ada peningkatan ketidakpuasan terhadap demokrasi dan berkurangnya kepercayaan terhadap pemerintah. 

Lambat laun, aksi protes bukan lagi bidangnya para aktivis dan serikat buruh, tetapi juga menjadi saluran bagi kelas menengah, perempuan, kaum muda, pensiunan, masyarakat adat, dan kelompok minoritas (suku, agama, dan ras). Mereka ini tidak menyebut dirinya aktivis; mereka melakukan protes karena merasa haknya dirampas oleh penguasa dan partai politik.

Kebijakan neoliberal selama beberapa dekade terakhir telah melebarkan ketimpangan dan memukul kesejahteraan kelas bawah maupun menengah. Neoliberalisme juga memupuk perasaan ketidakadilan, kekecewaan terhadap demokrasi yang tak berfungsi, dan frustasi terhadap kegagalan pembangunan ekonomi dan sosial.

Sementara media massa arus utama (mainstream) menggambarkan aksi protes itu layaknya kerusuhan sporadis dan tidak terorganisir, riset justru menemukan bahwa aksi protes itu sangat terencana dan tuntutannya terartikulasikan dengan jelas.

Penyebab utama ledakan aksi protes itu beragam. Pertama, terkait kegagalan sistem representasi politik ( 1503 aksi protes), yang mencakup isu defisit demokrasi, korupsi, penegakan hukum, isu kedaulatan/kebangsaan, oligarki, pengawasan warga negara (privasi), dan anti-komunisme/sosialisme.

Kedua, keadilan ekonomi dan anti-penghematan (1848 aksi protes), yang mencakup isu upah dan kondisi kerja, reformasi layanan publik, privatisasi, ketidakadilan pajak, ketimpangan, standar hidup yang jatuh, agraria, reformasi pensiun, perumahan, dan krisis pangan.

Ketiga, menyangkut hak-hak sipil (ada 1360 aksi protes) dengan isu rasisme/etnisitas, kemerdekaan berpendapat, kesetaraan gender, LGBT, imigran, kemerdekaan beragama, kebebasan individu, dan lain-lain.

Keempat, protes terkait keadilan global (ada 897 aksi protes) dengan isu lingkungan/perubahan iklim, anti-imperialisme, anti perdagangan bebas, anti G-20, dan tuntutan akan tata dunia yang lebih adil.

Bukan cuma jumlah/intensitas protes yang meningkat, jumlah mobilisasinya juga membesar. Dari 3000-an aksi protes itu, ada 52 aksi protes yang berhasil memobilisasi 1 juta atau lebih massa aksi.

Aksi protes sepanjang 2006-2020 merupakan salah satu aksi protes terbesar dalam sejarah dunia. Yang terbesar adalah pemogokan petani India, yang memprotes rencana liberalisasi pertanian dan tenaga kerja, itu melibatkan 250 juta orang. 

Akan tetapi, dekade kedua abad ke-21 juga menyaksikan pasang gerakan sayap kanan, yang menyeret warga yang marah/tidak puas ke dalam politik radikal kanan yang kontra-revolusi, bersamaan dengan serangan pemimpin otoriter terhadap prinsip-prinsip demokrasi.

Termasuk dalam kategori ini adalah pergerakan kelompok Qanon (kelompok kanan garis keras penganut teori konspirasi) di tahun 2020 di AS dan dunia, kelompok islamofobia, anti-imigran, dan kelompok anti partai buruh di Brazil pada 2013 dan 2015 (kelompok yang menggoyang pemerintahan Dilma Rousseff).

Meskipun mengumbar retorika anti-elit, politik kelompok sayap kanan ini tidak berusaha untuk mendorong perubahan struktural, melainkan berusaha mengalihkan api kemarahan massa rakyat terhadap kelompok minoritas, menyangkal hak imigran, kulit hitam, LGBT, dan muslim. Mereka (imigran, kulit hitam, LGBT, dan muslim) dianggap sebagai ancaman terhadap pekerjaan kaum pribumi, keamanan, dan nilai-nilai kaum mayoritas.

Seruan sayap kanan lainnya adalah kebebasan pribadi (untuk bebas membawa senjata, tidak memakai masker, dan menolak karantina/pembatasan sosial) dan mempromosikan nilai-nilai tradisional.

Kalau mau melawan otorianisme kanan radikal, rakyat harus memerangi penyebaran kabar bohong (hoax) dan membongkar kontradiksi dalam argumentasi politik sayap kanan. 

Terlepas dari hal di atas, mayoritas aksi protes itu mendesakkan tuntutan progresif untuk demokrasi sejati, pemenuhan hak-hak sipil, dan keadilan ekonomi maupun global. Protes damai merupakan landasan penting bagi demokrasi yang dinamis. Melihat sejarah, aksi protes telah sarana untuk memperjuangkan pemenuhan hak-hak dasar, baik di tingkat nasional maupun internasional.

Ada juga riset yang menyebutkan bahwa ketika ketidakstabilan politik secara global sedang meningkat, sebetulnya ada solusi. Pemerintah perlu mendengar suara dari demonstran dan menindaklanjutinya. Tuntutan rakyat lewat aksi protes di berbagai belahan dunia sebetulnya memiliki banyak kesamaan. Tuntutan mereka tak lebih dari pemenuhan HAM yang lebih baik dan konsistensi mewujudkan tujuan pembangunan PBB yang sudah disepakati secara internasional.

WALDEN BELLO, ajun profesor di State University of New York at Binghamton dan pendiri lembaga progresif Focus on the Global South

ISABEL ORTIZ, Direktur Global Social Justice Program di Joseph Stiglitz’s Initiative for Policy Dialogue New York dan mantan Direktur Perlindungan Sosial di Organisasi Perburuhan Dunia (ILO).

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid