Paul Breitner, Sang Revolusioner di Lapangan Hijau

Tahun 1974, saat Jerman menyingkirkan Belanda di final Piala Dunia, ada nama yang patut dikenang: Paul Breitner.

Di laga penentuan itu, Breitner, bersama dengan Franz Beckenbauer dan  Berti Vogts, menjadi palang yang tanggung di lini belakang Jerman. Dia juga menyumbang gol bagi kemenangan Jerman.

Dunia sepak bola Jerman memang tidak bisa melupakan nama Paul Breitner. Bersama timnas Jerman Barat, Breitner mempersembahkan satu gelar juara piala dunia (1974), runner-up piala dunia (1982), dan Piala Eropa (1972).

Bersama Bayern Munich, dia mempersembahkan lima gelar juara Bundesliga dan satu gelar juara Piala Champion Eropa (musim 1973-74). Kemudian, di Real Madrid, dia membawa raksasa Spanyol itu menjuarai La Liga sebanyak dua kali.

Namun, siapa sangka, di balik prestasinya yang menjulang di lapangan hijau, Paul Breitner juga dikenal sebagai seorang revolusioner. Majalah New York Times menjulukinya, the newest hero of German counter-culture.

Breitner lahir di Kolbermoor, Bavaria, pada 1951. Sejak kanak-kanak, ia jatuh cinta pada sepak bola. Pada usia 6 tahun, dia bermain di klub SV Kolbermoor. Kemudian, pada 1961, dia pindah ke klub ESV Freilassing.

Ayahnya, seorang petugas administrasi, menempa karakter Breitner sebagai seorang yang merdeka. Ia diajari untuk tidak mengerjakan hal yang tak disukainya. Jiwa merdeka inilah yang membentuk karakter politik Breitner.

Di usia muda, Breitner terpilih untuk memperkuat Timnas Jerman usia di bawah 18 tahun (U-18). Tim ini diasuh oleh seorang legenda Bayern Munich, Udo Lattek. Di Timnas muda ini juga Breitner bertemu sahabat karibnya, Uli Hoeneß.

Di Jerman U-18, Breitner memulai karir sepak bolanya yang cemerlang. Di laga pertamanya menghadapi Yugoslavia, dia membawa Jerman unggul 4-1. Dia ikut menyumbang satu gol.

Pada tahun 1969, Udo Lattek ditunjuk sebagai pelatih Bayern Munich. Saat itu, dia membawa serta dua anak didiknya di timnas muda, Breitner dan Hoeneß.

Gerakan 1968

Kebetulan, di masa Breitner tumbuh sebagai remaja, di tahun 1960-an dan 1970-an, Eropa sedang mengalami pasang revolusi. 

Gerakan protes menyebar ke seantero Eropa, dari Paris, Roma, London, hingga di tanah Jerman. Ide-ide sosialisme dan anarkisme sedang menjalar sangat kuat di kalangan anak-anak muda. 

Di Jerman barat, gerakan mahasiswa membesar seiring dengan menguatnya otoritarianisme politik. Kanselir Jerman kala itu, Kurt Georg Kiesinger, adalah bekas anggota NAZI. Banyak bekas pejabat NAZI menduduki posisi penting di pemerintahan.

Kemudian, sejak 1956, Jerman juga memberlakukan wajib militer terhadap setiap anak muda laki-laki. Kebijakan ini banyak ditentang anak muda Jerman, termasuk Paul Brietner.

Tahun 1967, Benno Ohnesorg, seorang mahasiswa, ditembak mati oleh polisi saat demo menentang kunjungan diktator Shah Fahlevi. Setahun kemudian, Rudi Dutschke, tokoh penting gerakan mahasiswa kala itu, juga ditembak oleh seorang anti-komunis.

Dalam situasi politik itulah Paul Breitner tumbuh sebagai anak muda. Sebagai remaja tanggung, dia berkenalan dengan tokoh-tokoh marxis, dari Karl Marx, Lenin, hingga Mao Tse Tung.

“Di usia 16 tahun, kematian Che Guevara sangat berdampak besar padaku. Itu tahap penting dari pendewasaanku,” kata Breitner, seperti dikutip Shirsho Dasgupta di These Footbal Times.

Sebagai anak muda yang terpapar ide-ide kiri, Breitner selalu berusaha mempertanyakan segala yang berusaha mengangkangi kemerdekannya. 

Suatu hari, di tahun 1970, dia mempertanyakan kewajiban untuk mematuhi pelatih dan manejer. Ia heran, tak satu pun pemain yang berani bilang “mengapa” dan “tidak”.

“Itu mengejutkan bagi Klub, orang-orang, dan pers,” kenang Breitner.

Di tahun itu juga, ketika sudah bergabung dengan Bayern Munich, Breitner mendapat panggilan untuk melapor di dinas militer. Namun, dia memilih mengabaikannya.

Walhasil, polisi pun dikirim untuk menjemput Breitner di apartemennya. Namun, saat polisi datang, dia memilih bersembunyi di gudang batubara dekat apartemennya. Ia keluar dari persembunyian setelah Polisi mengancam akan memasang poster “Wanted” bergambar dirinya di seluruh kota. Ia dijatuhi hukuman membersihkan toilet militer selama setahun.

Masih di tahun-tahun yang sama, Breitner muncul dengan foto sedang duduk membaca koran partai komunis Tiongkok, Peking Review, dengan poster Mao di belakangnya. Dia juga pernah berfoto di depan poster Che Guevara dan Mao Tse Tung.

Tentu saja, di negeri yang didominasi oleh sentimen anti-komunis, foto-foto itu akan terbaca sebagai semacam provokasi. Media-media Jerman pun membesar-besarkannya. Walhasil, manajemen Bayern Munich sempat merasa risih dengan foto-foto Breitner itu.

Pernah suatu kali, dia mendapat pertanyaan provokatif dari wartawan. “Siapa yang paling anda kagumi?” tanya reporter. “Mao”, jawab Breitner. Lalu, reporter bertanya lagi, “buku apa yang anda baca?” Breitner menjawab lagi: Marx. Terakhir, si wartawan bertanya, “apa keinginan terbesar anda?” Dia menjawab: “kekalahan Amerika di Vietnam.”

Breitner menjawab blak-blakan. Sampai-sampai majalah liberal terbesar di Jerman, Die Zeit, pernah menulis: “dia tak banyak menyembunyikan kecenderungan politiknya di masa-masa awal.”

Namun, dia menegaskan, sekalipun ajaran Mao sangat mempengaruhinya, dia lebih suka memperkaya pengetahuannya dengan banyak bacaan dan beragam perspektif.

Yang menarik, meski bermain cukup lama dengan Bayern Munich, Breitner menyebut klub terbesar di Jerman itu sebagai klubnya “aristokrat kaya”.

Namun, sikap politik yang kiri itu dipertanyakan manakala Breitner memilih hijrah ke klub yang identik dengan diktator fasis Franco di Spanyol, Real Madrid.

Tahun 1980-an, ketika namanya makin mendunia, Breitner tidak sanggup menampik godaan untuk menjadi bintang iklan produk-produk korporasi besar. 

Tahun 1982, dia rela menerima tawaran iklan perusahaan kosmetik Jerman, Pitralon, sebesar 150.000 DM. Syaratnya: dia mencukur brewoknya yang lebat. Padahal, rambut gondrong dan brewok merupakan salah simbol “counter-culture” dari generasi protes 1968. 

Setahun kemudian, Breitner mengumumkan dirinya undur diri dari lapangan hijau. Sejak itu, dia menghabiskan hari-harinya sebagai komentator dan kolumnis di media-media Jerman. 

RAYMOND SAMUEL

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid