4 Inkonsistensi Jokowi dalam Reshuffle Kabinet

Perombakan atau reshuffle kabinet jilid II, yang diumumkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Rabu (27/7/2016) lalu, ternyata jauh dari harapan rakyat.

Menteri yang diusulkan diganti ternyata tidak diganti. Sementara menteri yang masih disukai, yang kinerjanya dianggap memuaskan, justru diganti. Penunjukan Menteri juga bukan karena kompetensi, tetapi karena kepentingan membayar utang dukungan politik.

Nah, disamping hal di atas, reshuffle kabinet jilid II ini juga menunjukkan inkonsistensi pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla terhadap janji-janji politik mereka. Apa saja bentuk inkonsistensi tersebut?

Satu, Menteri tidak boleh rangkap jabatan

Dulu, Presiden Jokowi pernah menegaskan bahwa Menteri di kabinetnya tidak boleh rangkap jabatan. Termasuk tidak boleh menjabat kepengurusan di partai politik tertentu.

“Tidak boleh rangkap-rangkap jabatan. Kerja di satu tempat saja belum tentu benar,” kata Jokowi seperti dikutip liputan6.com (21/10/2014).

Faktanya, pada reshuffle jilid II kemarin, Jokowi menunjuk Wiranto sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam). Padahal, mantan petinggi militer era Orde Baru itu masih menjabat sebagai Ketua Umum partai Hati Nurani Rakyat (Hanura).

Dua, koalisi tanpa syarat

Pada saat debat Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden, Jokowi pernah menegaskan bahwa pihaknya akan membangun koalisi tanpa syarat. Ini untuk mencegah bagi-bagi kekuasaan.

“Itulah mengapa, kami sejak awal menyatakan kerjasama koalisi tanpa syarat. Ini yang selalu kami kedepankan untuk membawa perubahan,” kata Jokowi seperti dikutip kabar24.com (6/7/2014).

Tidak hanya Jokowi, Yusuf Kalla (JK) juga berulangkali menegaskan hal tersebut. Kata JK, keikhlasan partai koalisi dalam mendukung capres-cawapres Jokowi-JK akan menjadi benteng dalam menghindari praktik bagi-bagi kekuasaan.

“Keihklasan (parpol koalisi) itu akan membentengi kami (dari politik transaksional). Kami akan bebas dari itu,” kata JK di kesempatan yang sama.

Tetapi yang terjadi di reshuffle jilid II, praktek bagi-bagi kekuasaan sangat telanjang terlihat. Hampir semua partai yang mendukung pemerintah. Jatah PDIP tidak terganggu-gugat. Jatah PKB dan Nasdem juga tidak berkurang, hanya ganti orang. Sedang jatah Hanura berkurang, tetapi Ketua Umumnya diangkat jadi Menko Polhukam. Dua partai yang baru menyeberang dari koalisi oposisi (KMP), PAN dan Golkar, juga mendapat tempat di Kabinet.

Tiga, perlawanan terhadap neoliberalisme

Saat deklarasi Calon Presiden dari PDI Perjuangan di Rumah Si Pitung, Jokowi bicara perlawanan terhadap neoliberalisme. Menurut Jokowi, dia memilih rumah Pitung sebagai tempat deklarasi karena mewakili simbol perlawanan.

Menurut Jokowi, perlawanan yang dimaksud adalah perlawanan terhadap kemiskinan, ketidakadilan, dan kebodohan.  “Perlawanan terhadap neoliberalisme,” kata Jokowi seperti dikutip Tempo.co (24/3/2014).

Ironisnya, dalam reshuffle jilid II ini, Jokowi justru menunjuk Sri Mulyani (SMI) sebagai Menteri Keuangan. Padahal, Menteri era SBY ini dianggap sangat neoliberal.

Seperti ditulis ekonom Drajad Wibowo di Kolom kompas.com (28/7/2016), SMI adalah pendukung Konsensus Washington, yang di dalamnya terselip agenda neoliberalisme seperti liberalisasi pasar, deregulasi, liberalisasi investasi, privatisasi, disiplin fiskal dan lain sebagainya.

Empat, berjanji menyelesaikan pelanggaran HAM di masa lalu

Saat kampanye Pilpres 2014, Jokowi berjanji untuk mengusut dan menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Termasuk pelanggaran HAM yang terjadi antara 1996 hingga 1998 ( tragedi Trisakti, tragedi Semanggi I dan II, dan penculikan aktivis tahun 1998).

Dan setelah menjabat Presiden, Jokowi kembali menegaskan janjinya itu. Bahkan memberikan batasan waktu untuk menuntaskan persoalan itu, yakni tahun 2016.

“Semuanya dituntaskan tahun ini,” kata Jokowi seperti dikutip kompas.com (8/1/2016).

Namun, faktanya, Presiden justru menunjuk seorang petinggi militer Era Orde Baru, yang memegang kendali pengerahan militer waktu itu, yakni Wiranto. Dan seperti ditegaskan oleh Komnas HAM, Wiranto harus turut bertanggung-jawab atas pelanggaran HAM di masa itu, seperti kasus Peristiwa penyerangan 27 Juli Tragedi Trisakti, Mei 1998, Semanggi I & II, penculikan dan penghilangan aktivis pro-demokrasi 1997/1998. Wiranto juga adalah pencetus ide Pam Swakarsa untuk memukul gerakan mahasiswa dan pro-demokrasi. []

—Berdikarionline.com

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid