2 Tahun Jokowi-JK: 4 Evaluasi Kritis soal Politik

Tidak terasa, pemerintahan Jokowi-JK sudah 2 tahun di tampuk kekuasaan. Dalam rentang waktu itu, tentu sudah banyak hal yang dikerjakan oleh pemerintahan ini.

Namun, dari sekian banyak kerja dan pencapaiannya, sudahkah kita mendekat pada cita-cita Trisakti: berdaulat di bidang politik, berdikari di lapangan ekonomi dan berkepribadian secara budaya.

Berikut ini lima catatan kritis untuk situasi politik dalam 2 tahun pemerintahan Jokowi-JK:

Pertama, Negara belum hadir untuk melindungi seluruh warga negara

Dalam dokumen Nawacita, Jokowi-JK menjanjikan kehadiran negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara.

Faktanya, dalam dua tahun pemerintahan Jokowi-JK, negara dan perangkat-perangkatnya justru menjadi instrumen utama untuk melindungi kepentingan investasi. Sebaliknya, negara selalu absen ketika rakyat dibawah ancaman atau ketakutan.

Yang paling nyata, belum ada perhatian Jokowi terhadap persoalan konflik agraria. Jumlah konflik agraria di Indonesia masih tinggi. Berdasarkan catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) tahun 2015 (Jokowi sudah berkuasa), jumlah konflik agraria di Indonesia masih terbilang tinggi: 252 kasus. Konflik itu menyeret 108.714 keluarga. Tidak hanya itu, konflik ini menyebabkan 5 orang tewas, 39 orang tertembak, 124 orang dianiaya dan 278 orang ditangkap.

Begitu juga soal perlindungan TKI di luar negeri. Di era Jokowi, ada beberapa TKI yang dieksekusi mati. Salah satunya adalah kasus eksekusi mati TKI bernama Siti Zainab dan Karni binti Medi Tasim di Arab Saudi. Jokowi nyaris tidak melakukan apa-apa untuk melindungi nyawa kedua warga negara Indonesia itu.

Konsep “negara hadir” untuk melindungi rakyat memang tidak mungkin dalam negara neoliberal. Dan itulah yang terjadi dengan pemerintahan Indonesia saat ini. Yang terjadi justru sebaliknya: “negara hadir” untuk melindungi iklim investasi. Alat-alat negara, terutama pejabat setempat dan TNI/Polri, selalu hadir dalam konflik sosial antara rakyat versus korporasi. Dan dalam semua konflik sosial itu, alat-alat negara melindungi korporasi.

Kedua, ruang demokrasi semakin dipersempit

Di bawah Jokowi, ruang demokrasi terus menyempit, baik karena tekanan alat-alat negara maupun oleh kelompok “vigilante”.

Kebebasan berpendapat, yang merupakan roh dari demokrasi, justru terancam di era Jokowi. Pertama, makin banyak regulasi yang berusaha membungkam suara-suara kritis, seperti Surat Edaran Kapolri soal penanganan ujaran kebencian atau hate speech  dan draf rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang menghidupkan kembali pasal penghinaan kepala negara.

Tidak hanya itu, kebebasan menyampaikan pendapat lewat aksi demonstrasi juga dibatasi. Misalnya, peraturan Gubernur DKI Nomor 228 Tahun 2015 yang membatasi lokasi aksi unjuk rasa (antara lain: tidak boleh di depan Istana Negara). Pembatasan lokasi aksi demonstrasi juga diterapkan di Batam.

Tidak hanya lewat regulasi, pembatasan kebebasan berpendapat juga terjadi di lapangan. Catatan KontraS menyebut, sepanjang tahun 2015 ada 238 kasus pembatasan kebebasan berekspresi dan berpendapat. Sebanyak 89 kasus diantaranya dilakukan oleh Polisi, 49 oleh pejabat negara, 117 kasus oleh TNI dan 31 kasus oleh kelompok vigilante.

Pemerintahan Jokowi tidak lebih maju dari pendahulunya soal kebebasan berpikir. Baru-baru ini, DPR yang dikuasai partai pendukung pemerintah menyetujui usulan pemerintah untuk memasukkan pasal kejahatan ideologi terkait penyebaran Marxisme, Komunisme, dan Leninisme dalam pasal 219-221 Revisi Undang-undang (RUU) KUHP.

Selain itu, cara lain negara untuk membungkam suara kritis dan kebebasan berpendapat adalah kriminalisasi, terutama pejuang agraria dan aktivis buruh. Pada tahun 2015, ada 278 kasus kriminalisasi terhadap petani, masyarakat adat dan aktivis agraria. Kriminalisasi juga dialami oleh aktivis buruh dan pejuang HAM.

Kebebasan berkumpul dan berpendapat juga sulit dilakukan oleh orang-orang Papua. Beberapa kali aksi demonstrasi yang digelar oleh mahasiswa dan rakyat Papua dibubarkan paksa oleh polisi.  Menurut data yang dihimpun oleh LBH Jakarta bersama jaringannya, sejak April 2016 hingga 16 September 2016, telah terjadi penangkapan terhadap 2.282 orang Papua yang melakukan aksi damai. Sementara itu, sejak tahun 2012 sampai Juni 2016, LBH Jakarta mencatat jumlah penangkapan orang Papua secara keseluruhan mencapai 4.198 orang. Di Papua sendiri, penangkapan, penganiayaan hingga pembunuhan terus membuntuti kehidupan rakyat Papua.

Ketiga, politik negara mengabdi kepada investor

Di bawah Jokowi, politik regulasi masih mengabdi kepada kepentingan investor. Ini nampak sekali pada kebijakan pemerintah soal deregulasi. Esensi dari deregulasi ini adalah menghilangkan/merombak semua aturan yang menghambat investasi. Ada banyak aturan dirombak untuk diselaraskan dengan kepentingan investor. Masalahnya, tidak sedikit regulasi yang diperuntukkan untuk melindungi kepentingan publik turut dirombak.

Keempat, Jokowi tidak berkomitmen menyelesaikan pelanggaran HAM

Di masa kampanye, Jokowi koar-koar akan menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM. Hingga kini, belum satupun kasus pelanggaran HAM yang berhasil dituntaskan oleh Jokowi. Dan belum satupun pelanggar HAM dijebloskan ke penjara.

Faktanya, begitu berkuasa, Jokowi justru menampung seperti pelanggar HAM di kekuasaannya, seperti Wiranto (Menko Polhukam) dan Sutiyoso (mantan Kepala BIN).

Yang terhangat, Mayjen Hartomo, orang diduga terlibat pembunuh aktivis Papua Theys Hiyo Eluay, malah ditunjuk sebagai Kepala Badan Intelijen Strategis (Kabais). —berdikarionline.com

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid