10 Tokoh Yang Mempengaruhi Pemikiran Sukarno

Kalian yang pernah mendengar pidato-pidato Sukarno, atau membacai tulisan-tulisannya, pasti sering menjumpai nama-nama tokoh yang bertebaran.

Ya, Sukarno memang pemikir berat. Buah pemikirannya mewujud dalam bentuk pidato, tulisan-tulisan, pamplet, hingga pledoi.

Menariknya, sekalipun sering menegaskan soal perlunya memijak di bumi sendiri, Sukarno tak alergi dengan beragam pemikiran dari luar. Dari pemikir eropa, India, hingga Tiongkok.

Menariknya lagi, Sukarno tak serta-merta mengunyah beragam pemikiran itu. Dia hanya ambil saripatinya, lalu dipilah-pilah mana yang relevan dalam konteks masyarakat Indonesia.

Nah, dari nama-nama tokoh yang bertebaran itu, 10 tokoh berikut yang cukup berpengaruh.

Karl Marx

Dalam usia belasan tahun, saat memondok di rumah HOS Tjokroaminoto di Surabaya, Sukarno sudah berkenalan dengan Karl Marx. 

“Pada waktu muda-mudi yang lain menemukan kasihnya satu sama lain, aku mendekam dengan Das Capital. Aku menyelam lebih dalam dan lebih dalam lagi,” kenang Bung Karno dalam otobiografinya yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.

Di rumah Tjokro, Sukarno muda kerap bertemu dengan orang-orang marxis, seperti Sneevliet dan Semaun. Di sekolahnya, dia bertemu juga dengan tokoh-tokoh sosial-demokrat, yang sedikit banyak mempelajari marxisme.

“Bahanku juga dari marxisme, yang aku dapat dari Semaun, yang aku dapat dari pemimpin-pemimpin Belanda seperti Hartogh dan Sneevliet,” kata Sukarno dalam kumpulan pidato Revolusi Belum Selesai.

Pikiran Marx menghunjam kuat dalam kerangka berpikir Sukarno. Baginya, marxisme merupakan senjata teoritik paling ampuh dan paling canggih untuk membaca berbagai persoalan ekonomi-politik.

“Teori Marxisme adalah satu-satunya teori yang saya anggap kompeten buat memecahkan soal-soal sejarah, soal-soal politik, soal-soal kemasyarakatan,” tulis Sukarno di koran Pemandangan, 1941.

Pieter Jelles Troelstra

Pieter Jelles Troelstra adalah seorang tokoh sosialis dan gerakan buruh di Belanda. Di tahun 1894, ia mendirikan Partai Pekerja Sosial Demokrat (SDAP). Troelstra dikenal sebagai salah seorang pejuang hak pilih universal di Belanda. Di tahun 1918, karena terinspirasi oleh revolusi Rusia, Troelstra juga melancarkan revolusi yang gagal.

Sukarno banyak melahap pidato dan buku-buku karya Troelstra, seperti Gedenkschriften (memoir yang terdiri dari empat volume) dan De Sociaal-Democratie na de oorlog (1921). Ia juga membaca terbitan-terbitan SDAP.

Dalam pidato Indonesia Menggugat, Sukarno banyak mengutip pemikiran Troelstra. Misalnya, anjuran Troelstra agar kaum buruh tidak membatasi perjuangannya di dalam parlemen saja, tetapi juga aksi-aksi langsung dari serikat pekerja.

Saat memberi amanat di hadapan Panca Tunggal seluruh Indonesia, di Istana Negara, September 1966, Sukarno lagi-lagi mengutip Troelstra, bahwa bila ingin menumbangkan kapitalisme, untuk mencapai sosialisme, kita harus mengadakan massa aksi; menggerakkan kaum buruh untuk menentang dan berjuang sehebat-hebatnya.

Dari Troelstra juga Sukarno belajar tentang imperialisme. Bagi Troelstra, imperialisme berasal dari kapital besar, yang sebagian besar dikuasai oleh bank-bank, yang mencari jalan keluar ke dunia ketiga guna mendapatkan pasar baru bagi penanaman modal dan tenaga kerja murah.

HOS Tjokroaminoto

Sekitar tahun 1915, Sukarno melanjutkan pendidikannya di Hoogere Burgerschool (HBS) di Surabaya. Saat bersekolah itu, dia indekos di rumah HOS Tjokroaminoto.

Saat itu, sebagai Ketua Sarekat Islam (SI), Tjokro tentu akrab dengan semua aktivis pergerakan kala itu. Rumahnya kerap dikunjungi aktivis-aktivis gerakan saat itu.

Di rumah Tjokro, Sukarno mulai belajar politik. Kepada Tjrokro, tamu-tamunya, maupun buku-buku di perpustakaan rumah Tjokro. “Aku menghirup lebih banyak lagi persoalan politik di rumah pak Tjokro, dapur daripada nasionalisme,” kata Sukarno.

Sukarno menyebut Tjokro sebagai sang guru. “Secara sadar atau tidak sadar ia menggemblengku. Aku duduk dekat kakinya dan diberikannya kepadaku buku-bukunya,” kata Sukarno.

Pada masanya, Tjokro dikenal sebagai singa podium. Kemampuan pidatonya bisa memukau pendengarnya. Sering terjadi, Tjokro mengajak Sukarno menghadiri rapat-rapat umum. Dari situ Sukarno terpukau, lalu belajar otodidak teknik pidato di kamar kostnya.

Tan Malaka

Sukarno dan Tan Malaka memang terpaut dekat. Mereka hanya selisih 4 tahun.

Nama Tan Malaka menjulang tinggi di sepanjang 1919-1922. Sementara, dalam rentang masa yang sama, Sukarno masih berhimpun di Jong Java. Ketika Sukarno mulai membangun gerakan politiknya, Tan Malaka sudah dibuang keluar Hindia-Belanda. 

Namun, siapa sangka, Tan Malaka di pembuangan masih memercikkan pengaruh pada Sukarno. Ya, lewat karya besar Tan Malaka: Massa Actie (1926). Diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi: Aksi Massa.

Dalam karyanya itu, Tan Malaka menekan esensi “massa actie” dalam mendorong revolusi. Menurutnya, hanya aksi massa dari orang-orang yang sadar, teroganisir, dan terpimpin, yang bisa mencapai kemenangan revolusi. Di sini, Tan Malaka membedakan “Massa Aksi” dengan Tukang Putch (anarkis) dan petualang (advonturir).

Sukarno sendiri mulai mengadopsi istilah “massa aksi” di dalam tulisan-tulisannya di tahun 1929. Sukarno kerap membedakan “massa actie” dengan “massale actie”. Massa aksi mengacu pada aksi orang-orang yang sadar, terorganisir, dan punya tujuan yang jelas. Sedangkan aksi massal merujuk pada aksi yang melibatkan banyak orang, tetapi tidak terorganisir dan tidak punya orientasi yang jelas.

Pada September 1945, Sukarno sempat bertatap muka dengan Tan Malaka di rumah dr. Soeharto, dokter pribadi Sukarno. Ini merupakan tatap muka langsung pertama di antara keduanya.

Dalam pertemuan itu, Sukarno sempat bertanya tentang buku “Aksi Massa”-nya Tan Malaka.

Karl Kautsky

Karl Kautsky adalah salah seorang sosialis dari Jerman. Dia memimpin gerakan sosialis Internasionale Kedua (Sosialisme Internasional) dan tokoh terkemuka Partai Sosial-Demokrat (SPD) Jerman.

Kautsky cukup mempengaruhi Sukarno, terutama saat menyusun pidato Indonesia Menggugat. Di pledoi yang mengguncangkan itu, Sukarno mengutip buku karya Kautsky,  Sozialismus und Kolonialpolitik, ketika membeda soal imperialisme modern. 

Menurut Kautsky, berbeda dengan imperialisme tua yang cenderung merampok barang dan kekayaan alam dari negeri jajahan untuk dibawa ke negeri asal, imperialisme modern justru menggunakan pendekatan politik yang lebih halus, seperti memasukkan kapital, membangun pabrik, dan pendekatan budaya.

Buku Kautsky lainnya yang dikunyah Sukarno adalah Der Weg zur Macht, yang memberinya pemahaman tentang pentingnya teori dalam memajukan kesadaran kelas pekerja. Di buku itu juga, kata Sukarno, ia belajar pentingnya pengalaman praksis dalam membentuk kesadaran klas pekerja, seperti memenangkan perjuangan sosial-ekonomi, mengikuti pemilihan parlemen, dan lain-lain.

Mahatma Gandhi

Mahatma Gandhi, bapak pejuang kemerdekaan India, juga sangat mempengaruhi Sukarno. 

Gagasan nasionalisme Gandhi, yang mencampurkan nasionalisme dan kemanusiaan, sangat memukau Sukarno muda. Sampai-sampai Sukarno kerap mengutip ucapannya: nasionalismeku adalah perikemanusiaan. 

Di tulisan-tulisannya, Sukarno kerap menulis tentang perjuangan Gandhi, termasuk strategi perjuangannya yang terkenal: swadesi dan satyagraha. Menurutnya, strategi perjuangan Gandhi itu cukup efektif menghantam imperialisme Inggris, yang memang sangat membutuhkan rakyat India sebagai pasar bagi produksi tekstilnya.

Namun, Sukarno menegaskan, strategi Gandhi itu kurang relevan di Indonesia. Di Indonesia, yang dihadapi adalah imperialisme Belanda yang terbelakang, yang kepentingannya hanya menanamkan modal di sektor perkebunan. Dengan begitu, strategi pemboikotan tidaklah efektif untuk memukul perusahaan-perusahaan Belanda itu. Selain itu, Indonesia tidak punya industrialis yang diharapkan memproduksi kebutuhan bangsa sendiri.

Henriette Roland Holst

Henriette Roland Holst adalah penyair dan sekaligus anggota Partai Komunis Belanda. Awalnya, ia bergabung dengan Partai Buruh Sosial-Demokrat (SDAP). Oleh Herman Gorter, seorang penyair dan aktivis sosialis, Henriette disarankan membaca Das Capital karya Karl Marx. Ia membaca tuntas tiga volume karya Marx tersebut.

Sejak itu, ia makin condong ke marxisme. Tahun 1900, Ia bertemu dengan sosialis Jerman, Rosa Luxemburg. Keduanya bersahabat hingga akhir hayatnya. Di SDAP, ada dua faksi yang bertarung, yakni sayap kanan (reformis) dan sayap kiri. Henriette memilih sayap kiri.

Ia bersimpati dengan revolusi Rusia 1917. Ia sering berdiskusi dengan Lenin, Trotsky, dan tokoh-tokoh Bolshevik lainnya. Ia sempat mengungungi Soviet di tahun 1921. Selain menghadiri kongres perempuan di Moskow, ia sempat bertemu dengan penulis kenamaan Rusia, Maxim Gorky.

Henriette sangat dikenal pejuang pergerakan di Indonesia, baik kaum sosialis, komunis, maupun nasionalis. Pasalnya, Henriette adalah salah satu pendukung setia perjuangan kemerdekaan rakyat Indonesia. Ia juga pengeritik pedas praktek kolonialisme Belanda di Indonesia.

Tulisan-tulisan Heriette banyak dikutip pejuang Indonesia, termasuk Sukarno. Dalam pidato pembelaannya, Indonesia Menggugat, Sukarno beberapa kali mengutip Henriette, terutama buku yang berjudul Kapitaal en Arbeid in Nederland.

Di buku Sarinah, yang merupakan kumpulan kuliah Sukarno di kursus perempuan di Jogjakarta, tahun 1947, Sukarno juga banyak mengutip pendapat Henriette.

Jean Jaures

Jean Jaures adalah sosialis Perancis yang berpikiran radikal. Dia juga adalah pendiri koran l’Humanité, yang kelak menjadi koran Partai Komunis Perancis. Ia beberapa kali terpilih sebagai anggota parlemen Perancis. Namun, tahun 1914, ia tewas dibunuh di sebuah warung kopi di Paris oleh seorang ekstrim kanan.

Ketika usia masih belasan tahun, di Surabaya, Sukarno sudah berkenalan dengan pemikiran Jean Jaures. Ia menyebut Jean Jaures sebagai ahli pidato terbesar dalam sejarah Perancis. Lalu, ketika mulai menulis di koran Fikiran Ra’jat dan Suluh Indonesia Muda, Sukarno banyak mengutip pidato maupun karya-karya Jaures.

Kritik Jean Jaures terhadap model demokrasi parlementer Perancis sangat mempengaruhi Sukarno. Tidak bisa dimungkiri, kritik-kritik Jaures menjadi titik tolak bagi Sukarno untuk mengembangkan pemikirannya mengenai demokrasi alternatif, yakni sosio-demokrasi.

Ernest Renan/Otto Bauer

Ernest Renan adalah filsuf dan penulis kenamaan Perancis. Karya-karya sejarah dan pemikiran politiknya banyak bersentuhan dengan soal nasionalisme dan identitas nasional.

Pemikirannya tentang asal usul bangsa sangat mempengaruhi banyak pemikir nasionalis. Tidak terkecuali Sukarno. Ketika bicara bangsa (nation), Sukarno banyak mengutip Renan. Termasuk ketika Bung Karno menyampaikan pidatonya di hadapan BPUPKI, 1 Juni 1945. Kelak, pidato itu dikenang sebagai tonggak lahirnya Pancasila.

Tokoh lain yang mempengaruhi teori kebangsaan Sukarno adalah Otto Bauer. Ia adalah aktivis sosial-demokrat di Austria. Karyanya yang berjudul Social Democracy and the Nationalities Question banyak mempengaruhi pemikiran  Sukarno soal bangsa.

Bagi Renan, bangsa terbentuk karena adanya kehendak untuk hidup bersama (Le desir d’etre ensemble). Sedangkan bagi Otto Bauer, bangsa terbangun karena adanya persamaan watak atau karakater karena akumulasi persatuan pengalaman dan kesamaan nasib (een karakter-gemeenschap dat geboren is uit een gemenschap vanlotgevallen).

Vladimir Ilyich Lenin

Lenin adalah tokoh terkemuka marxis Rusia dan sekaligus tokoh terkemuka dalam revolusi Rusia 1917. 

Lenin cukup mengenal Indonesia. Sebelum menulis karyanya Imperialisme, Tahap Tertinggi Kapitalisme, Lenin membacai karya Multatuli yang terkenal, Max Havelaar. Kabarnya, Lenin cukup terpengaruhi oleh novel yang mengambil setting sosial di Hindia-Belanda itu..

Kemudian, pada 1913, Lenin menulis risalah berjudul Kebangkitan Asia, yang menyinggung kebangkitan gerakan rakyat di Hindia Belanda, khususnya Sarekat Islam (SI) dan Indische Partij (IP). “Perserikatan Nasional dari penduduk asli telah dibentuk di Jawa. Ia telah memiliki keanggotaan sebesar 80.000 orang dan menggelar rapat-rapat akbar. Tidak ada yang bisa menghentikan pertumbuhan gerakan demokratik,” tulis Lenin.

Sukarno mengaku mengenal Lenin sejak muda. Bersamaan dengan ia mengenal Marx dan Engels. “Aku berhadapan dengan Marx, Engels, dan Lenin dari Rusia…,” kata Sukarno.

Kemudian, dalam tulisan-tulisannya, entah tentang gerakan buruh, partai pelopor, maupun tentang imperialisme, Sukarno kerap mengutip Lenin.

Dalam pidatonya yang monumental, 1 Juni 1945, Sukarno juga mengutip Lenin. “Adakah Lenin ketika dia mendirikan negara Sovyet Rusia Merdeka, telah mempunyai Djnepprprostoff, Dam (bendungan) maha besar di sungai Dnieper? Apa ia telah mempunya radio-station, yan menyundul ke angkasa? Apa ia telah mempunyai kereta-kereta api cukup, untuk meliputi seluruh negara Rusia? Apakah tiap-tiap orang Rusia pada waktu Lenin mendirikan Sovyet Rusia Merdeka telah dapat membaca dan menulis? Tidak, tuan-tuan yang terhormat! Di seberang jembatan emas yang diadakan oleh Lenin itulah, Lenin baru mengadakan radio-station, baru mengadakan sekolahan, baru mengadakan Greche, baru mengadakan Djnepprprostoff!”

Di buku Sarinah, Sukarno juga banyak merujuk pendapat Lenin mengenai peranan gerakan perempuan dalam Revolusi Rusia. “Jikalau tidak dengan mereka (perempuan), maka kemenangan tidak mungkin kita capai..,” kata Sukarno mengutip Lenin.

//

Sebetulnya, di luar tokoh yang disebutkan di atas, ada banyak tokoh lain yang kerap dikutip Sukarno. Sebut saja Sun Yat Sen, Kemal Attaturk, Rudolf Hilferding (ekonom Austria), Sarojini Naidu (pejuang India), dan lain-lain.

MAHESA DANU

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid