Transparansi APBD

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta 2013 sudah dicairkan. Sejak hari Kamis (28/2/2013), rincian APBD tersebut bisa diakses oleh rakyat banyak di website www.jakarta.go.id

Tak hanya itu, agar rakyat banyak makin tahu, APBD tersebut akan dicetak dalam bentuk poster dan ditempel di setiap RT. Dengan begitu, Jokowi berharap, rakyat Jakarta bisa terlibat langsung dalam mengawal penggunaan APBD tersebut.

Inisiatif transparansi ini membawa manfaat. Kita menjadi tahu bahwa anggaran pidato Gubernur DKI Jakarta mencapai Rp 500 juta. Setiap pembuatan satu naskah pidato Gubernur DKI Jakarta memakan biaya Rp 1,3 juta. Rakyat pun mempertanyakan anggaran pidato tersebut.

Namun, Jokowi mengaku tidak tahu menahu soal alokasi anggaran pidato tersebut. “Saya ndak tahu, saya enggak pernah pidato kok,” ujar Jokowi. Ia pun berjanji akan meninjau ulang alokasi anggaran tersebut. Rupanya, di era pemerintahan sebelumnya, Fauzi Bowo, anggaran pidato itu bahkan mencapai Rp 1,2 milyar.

Pengelolaan APBD secara tidak transparan memang rawan korupsi. Di APBD DKI Jakarta tahun 2012, misalnya, setiap kelurahan di DKI Jakarta menerima dana penguatan masing-masing Rp3 milyar per tahun. Anggaran itu dipergunakan untuk  kebersihan, keamanan, dan kesehatan rakyat di masing-masing kelurahan.

Pada kenyataannya, karena rakyat tidak tahu anggaran itu, mereka tetap membayar uang keamanan dan kebersihan. Karena tidak ada kontrol rakyat, penggunaan anggaran itu tidak tepat sasaran. Anggota DPRD DKI Jakarta   DKI Jakarta, Taufiqurrahman, menduga jumlah anggaran yang benar-benar termanfaatkan hanya 30 persen.

Dengan transparansi, kita menjadi tahu alokasi penggunaan APBD sebesar Rp49,9 triliun itu. Meski demikian, seperti diungkapkan banyak pihak, ada beberapa pos alokasi APBD yang tidak jelas dan cenderung pemborosan. Diantaranya: jamuan resmi Pemprov DKI sebesar Rp 5 miliar, dari sebelumnya di tahun 2012 Rp 3,2 miliar. Kemudian Telepon, Air, Listrik, Internet (TALI) rumah dinas sebesar Rp 1,2 miliar, sedangkan tahun 2012 sebesar Rp 653 juta. Anggaran upacara bendera tahun ini mencapai Rp 600 juta (sebelumnya Rp 400 juta). Kemudian penerimaan dan pelayanan tamu, yakni Rp 1,1 miliar, sementara tahun 2012 sebesar Rp 800 juta.

Namun, transparansi anggaran saja belum cukup. Ketika ada alokasi anggaran yang tidak efisien, rakyat hanya bisa menyampaikan masukan. Tetapi kebijakan tetap berada di tangan Gubernur DKI. Paling-paling yang dilakukan Gubernur juga hanya memangkas realisasi anggarannya.

Artinya, selain mendorong transparansi anggaran, kedepan juga harus didorong partisipasi rakyat dalam proses penyusunan APBD. Dengan begitu, rakyat bisa terlibat langsung dalam menentukan jumlah anggaran dan pengeluarannya, kemana anggaran itu hendak dipergunakan, proyek mana yang mau didahulukan, dan bagaimana pengontrolannya.

Partisipasi rakyat ini penting untuk memastikan penyusunan dan alokasi anggaran benar-benar sesuai dengan kebutuhan rakyat. Dengan begitu, tidak ada lagi pos anggaran yang tidak jelas dan boros. Tak hanya itu, model partisipasi ini juga akan mencegah praktek mafia anggaran dan praktek pilih kasih dalam menentukan prioritas anggaran.

Jika rakyat dilibatkan dalam penyusunan anggaran, maka mereka pun gampang dipanggil untuk mengawal langsung proes pemanfaatan anggaran itu. Dengan begitu, kebocoran anggaran pun bisa ditutupi. Efektifitas dan realisasi penggunaan anggaran pun benar-benar terjadi.

Kita berharap, apa yang sudah dimulai oleh Pemprov DKI Jakarta ini bisa jadi inspirasi bagi daerah-daerah lain. APBD adalah uang rakyat. Dan rakyat berhak tahu penggunaan uang mereka.

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid