Lampu sorot terangi panggung mini yang dibalut alas tikar tenunan. Dua lelaki bule berada di atasnya, masing-masing duduk di kursi bundar dan membawa dua gitar akuistik. Perangkat soundsystem yang sudah disiapkan panitia terpampang di sekitar panggung, tapi tidak digunakan. “Kami terbiasa bermain unplugged,” kata Toni, salah satu musisi yang tampak memimpin temannya. Benar saja, suara gitar kedua musisi ini terdengar apik dalam ruang yang tak seberapa besar itu.
Malam itu, Senin (28/3), Ruang Jaker di bilangan Tebet Dalam kedatangan tamu musisi dari Jerman, Toni dan Falk. Keduanya tampil memukau dalam konser mini bertema Intermezzo: Folk Songs from All Around The World. Sesuai tema tersebut, Toni dan Falk membawakan lagu-lagu folk (lagu rakyat) dari berbagai negeri di dunia. Vokal tenor milik Toni dan Falk membahana kuat, kompak, dan merdu.
Acara yang berlangsung sekitar dua jam ini dibuka oleh grup musik Rasendriya, yang berisikan musisi muda Jaker, Rizal Abdulhadi (gitar & vokal), Bimo (biola), dan Icha (Celo). Rasenriya membawakan lagu-lagu folk ciptaan Rizal, dan sebuah lagu kaum partisan Italia berjudul Bella Ciao. Sementara Toni dan Falk membawakan dua belas lagu, dari Irlandia, Scotlandia, Venezuela, Kolombia, Cili, Kuba, dan lain-lain.
Sementara ruangan Jaker berleter L dipenuhi puluhan hadirin yang menikmati sajian musik sambil sesekali turut bertepuk mengikuti irama. Sebagai pembuka, Toni & Falk menyanyikan “Hard Time” sebuah lagu rakyat Scotlandia. Berturut-turut kemudian dikumandangkan Ride On, Red is the Rose, Men of Worth, dan Katie, yang semuanya merupakan lagu-lagu rakyat Irlandia dan Scotlandia.
Setelah jeda sejenak, mereka melanjutkan pertunjukan dengan lagu-lagu Latin, seperti Bajo del sol de Bogota, yang bercerita tentang anak-anak jalanan di kota Bogota, Kolombia, yang sering mencopet wisatawan kaya. Lagu ini menghimbau agar orang-orang kaya jangan marah pada kelakuan anak-anak tersebut, karena mereka merupakan bagian dari kreasi dunia, dan anggap saja tindakan tersebut sebagai bentuk ungkapan selamat datang. Selain itu juga lagu Meliendo Café, sebuah lagu rakyat Venezuela yang telah dialih-bahasakan dalam puluhan bahasa seluruh di dunia. Di Indonesia lagu ini dikenal dengan judul Kopi Dangdut yang dibawakan oleh Fahmi Sahab. Lagu latin lainnya adalah Prinzipe Azul, La Cigarra, Samba Lando, dan Son de la Loma.
Pertama setelah 10 tahun
Toni & Falk telah main musik bersama sejak tahun 1980-an ketika mereka masih berusia 17 tahun. “Awalnya hanya untuk bersenang-senang, tapi kami memperoleh sukses yang lumayan, jadi kami lanjutkan bermusik bersama sampai tahun 1993. Jadi kami sempat juga bermusik di bawah pemerintahan Jerman Timur.” Apakah bebas bermusik di sana saat itu? “Ya, kami bebas bermusik apa saja. Pernah sekali waktu konser kami dalam gereja diawasi agen intelejen pemerintah, tapi tidak masalah karena lagu-lagu yang kami bawakan tidak sangat politis.” jelas Falk.
Setelah itu, lama Toni dan Falk berpisah dan tidak pernah bermain bersama. Toni menjadi akuntan dan pindah ke Amsterdam, Belanda, setelah menikah dengan seorang gadis Irlandia, sementara Falk menetap di Berlin dan membuka sebuah toko musik. Mereka baru bertemu kembali dalam sebuah konser di Dubliner, Berlin, tahun 2002.
“Itu adalah konser kami terakhir, dan kami berpisah lagi. Sampai hampir sepuluh tahun, dan sekarang di Indonesia, di tempat ini, pertama kali kami adakan (konser) lagi.” Ujar Toni.
Memilih musik folk
Saat ditanya mengapa memilih musik folk, Toni menjawab bahwa musik folk merupakan hasil buatan tangan bukan komputer. Selain itu sebagian besar lagu folk adalah lagu lama yang telah dikenal dan dapat dinyanyikan oleh Rakyat banyak. “Musik folk membuat kami bisa diterima di manapun di seluruh dunia. Dan kami bisa berkeliling membawakan musik ini cukup bermodalkan gitar.”
Dalam pengalaman bermusik, Toni dan Falk telah berkeliling ke banyak negara, seperti Bulgaria, Hungaria, Luxemburg, beberapa negeri Eropa Timur lain, serta Inggris dan Belanda. Pernah juga suatu kesempatan mereka keliling ke Amerika Latin.
“Kami pernah ke Bulgaria, waktu itu masih 18 tahun. Kami tidak punya uang. Kami berjalan sejauh 6000 mil, sambil bermain di jalanan. Kami menemukan banyak orang baik di sepanjang perjalanan itu. Itu tidak mungkin ditemui ketika kami memilih jenis musik yang lain.” Falk menerangkan dengan bersemangat.
Selama bertahun-tahun bergelut dengan musik falk, sampai sekarang mereka mampu menyanyikan lebih dari 200 lagu folk dari seluruh dunia.
Pengaruh musisi Lekra
Sebagaimana musisi lain, keduanya juga dipengaruhi oleh banyak musisi dunia. Musisi Cili, Victor Jara, yang dibunuh oleh diktator Pinochet, adalah salah satu yang mempengaruhi Toni. Sementara Falk banyak dipengaruhi oleh musik rock, dan pernah juga menjadi penyanyi opera.
Dalam soal pengaruh ini, Toni mempunyai cerita lain yang baginya sangat mengesankan. “Awalnya saya belajar musik dari seorang Indonesia, Muhamad Soetijoso. Dia mengajari saya membaca nada, membuat aransemen, sampai bermain musik. Saya sangat kehilangan ketika ia meninggal beberapa tahun lalu.”
Mohamad Soetijoso, atau sering dipanggil Likso, merupakan salah satu musisi Lekra yang terkenal. Ia juga pimpinan kelompok paduan suara Gembira, dan aktif dalam berbagai kegiatan musik nasional dan daerah selama era Soekarno. Paska tragedi 1965 ia turut menjadi eksil yang menetap di Jerman.
“Oh, pantas mainnya bagus.” Celetuk seorang teman menutup obrolan kami. (Dominggus)