Tentang Kurikulum Baru (2013)

Dalam satu bulan ini, dari 29 November hingga 29 Desember 2012, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyelenggarakan uji-publik terhadap kurikulum baru: kurikulum 2013. Uji publik ini diselenggarakan di sejumlah kota besar, seperti Jakarta, Yogyakarta, Medan, Makassar, dan Denpasar.

Nantinya, kalau tidak ada lagi masalah, kurikulum baru ini akan resmi diterapkan pada bulan Juli 2013 mendatang. Namun, seperti kita ketahui, berbagai pro-kontra telah menyambut lahirnya kurikulum baru. Yang paling banyak diprotes adalah soal pengurangan mata pelajaran dan penambahan jam belajar.

Menurut Wakil Kemendikbud bidang Kebudayaan, Wiendu Nuryanti, tekanan pokok dalam kurikulum baru ini adalah model pembelajaran tematik dan penguatan pada pembangunan karakter. Pendidikan tematik dan karakter ini akan banyak difokuskan pada pendidikan dasar (SD).

Pada akhirnya, untuk pendidikan SD, ada pemadatan mata pelajaran. Misalkan, untuk jenjang pendidikan SD, mata pelajaran IPA dan IPS akan teringtegrasi dengan mata pelajaran lain berdasarkan tematik-nya. Misalkan, pengetahuan soal air pada IPA akan diintegralkan dengan tema pembahasan air pada mata pelajaran PPKN, Bahasa Indonesia, ataupun agama.

Bagi kami, pro-kontra pengintegrasian kurikulum itu belum menjawab persoalan pokok sistem pendidikan. Bagi kami, ada dua tugas utama dari lembaga pendidikan. Pertama, memproduksi pengetahuan yang berguna bagi rakyat dan pengembangan bangsa kedepan. Kedua, melahirkan manusia Indonesia yang berkarakter (demokratis, anti-kolonial, menjunjung tinggi kemanusiaan, solidaritas, kerjasama, dan lain-lain), yang memahami realitas sosial di sekitarnya, dan siap berpartisipasi untuk membangun masyarakat dan bangsanya.

Selama ini kurikulum hanya mengabdikan anak didik pada kebutuhan pasar tenaga kerja dan reproduksi sistem kapitalisme. Lihat saja komentar Budiono: “Dalam pelajaran IPA, seseorang akan dilatih hard skill. Tapi untuk bersaing di dunia usaha, seseorang juga harus memiliki pengetahuan sosial dengan dasar pendidikan IPS atau soft skill. Keduanya saling melengkapi.” Artinya, bagi Budiono, IPA dan IPS itu diperlukan agar siswa siap bersaing di dunia pasar tenaga kerja.

Kami setuju bahwa kurikulum baru harus mengutamakan pendidikan karakter. Hanya saja, bagi kami, pendidikan karakter tidak bisa dijawab sesederhana dengan pendidikan agama dan PPKN (kewarganegaraan). Jika metodenya pendidikannya belum berubah, maka kurikulum baru akan gagal menciptakan karakter manusia Indonesia yang diharapkan.

Bagi kami, ada empat pilar pendidikan yang perlu untuk pembangunan karakter: belajar untuk mencipta (berkarya), belajar untuk hidup berdampingan dan berpartisipasi, belajar mengenal nilai-nilai, dan belajar untuk merefleksikan diri di tengah realitas sosial.

Pertama, belajar untuk mencipta atau berkarya bermakna bagaimana kurikulum pendidikan harus memancing daya kreatifitas anak-anak. Selama ini, sistem pendidikan yang berbasiskan pada kebutuhan pasar tenaga kerja, dengan menggunakan disiplin militeristik, justru memasung kreativitas dan kebebasan anak-anak untuk mengembangkan diri sesuai keinginannya.

Kedua, belajar untuk hidup berdampingan dan berpartisipasi. Artinya, kurikulum baru harus menciptakan sebuah lingkungan pendidikan yang inklusif, yang menempatkan anak didik sebagai bagian dari masyarakat/komunitas. Kurikulum pendidikan lama kebanyakan justru mengatomisasi anak-anak melalui sistem kompetisi dan model pendidikan klas yang terpisah dari lingkungan. Kurikulum baru harus melahirkan anak didik yang tahu bagaimana berhubungan dengan orang lain dan bagaimana berpartisipasi di tengah-tengah masyarakat.

Ketiga, belajar nilai-nilai, seperti kemanusiaan, sejarah nasional, demokrasi, solidaritas, dan nilai-nilai progressif yang hidup di tengah bangsanya. Kurikulum pendidikan yang kapitalistik hanya mengajarkan anak-anak nilai-nilai destruktif, seperti individualisme, persaingan, dan konsumerisme.  Belum lagi, perkembangan teknologi informasi, khususnya internet, turut menularkan budaya-budaya negatif ke anak didik, seperti kekerasan, pornografi, dan lain-lain. Anak-anak harus diperkenalkan dengan nilai-nilai luhur bangsa dan masyarakat. Dengan begitu, mereka akan mengetahui identitas dan sejarah bangsanya.

Keempat, belajar merefleksikan diri di tengah realitas sosial. Sastrawan terkemuka Indonesia, WS Rendra, pernah bilang, “apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan.” Maksudnya, proses menjadi intelektual (pemikir) tidak boleh terpisah dengan kebutuhan rakyat. Seorang intelektual haruslah menyerahkan dirinya untuk mengabdi kepada kemanusiaan.

Di samping itu, perlu perombakan pada metode pengajaran. Metode pengajaran yang mologog, yang menempatkan guru sebagi sumber kebenaran dan murid hanyalah seperti gelas yang siap menampung pengetahuan, sudah seharusnya ditinggalkan. Metode pendidikan konvensional, yang memaksakan anak didik untuk sekedar menjadi penghafal nama, tempat, tanggal, dan tahun, juga harus ditanggalkan. Sebaliknya, metode pendidikan pedagogis, seperti yang dianjurkan ahli pendidikan Amerika Latin, Paulo Freire, perlu diadaftasi oleh guru-guru di Indonesia.

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid