Tanah Untuk Petani, Bukan Pemodal!

Dalam sebuah sambutannya di tahun 1960 Bung karno pernah berkata: “Tanah tidak boleh dijadikan sebagai alat eksploitasi. Tanah harus menjadi milik para petani! tanah harus menjadi milik mereka yang benar-benar menggarapnya, bukan mereka, yang hanya ongkang-ongkang, memaksa orang lain bekerja.”

Perkataan Bung Karno itulah yang kelak menjadi dasar dari pembuatan UU pokok agraria (UUPA) tahun 1960. Tetapi, sayang sekali, pemerintahan SBY justru melakukan hal yang bertolak belakang: mengijinkan tanah dikuasai segelintir pemilik modal, dan tentu saja dengan menggusur jutaan keluarga marhaen di atasnya.

Bukankah fakta-fakta telah berbicara banyak, bahwa pemerintahan SBY telah melegalisasi berbagai bentuk perampasan tanah itu melalui lusinan peraturan: UU nomor 25 tahun 2007 tentang penanaman modal dan Perpres nomor 36 tahun 2005 tentang pengadaan tanah untuk pembangunan. Terakhir, jika tidak ada aral yang melintang, SBY pun akan mengesahkan RUU pengadaan tanah.

Akibat dari politik yang melegalkan perampasan tanah sudah bisa dibayangkan: konflik agraria terus meningkat, banyak petani kehilangan tanah, jumlah petani gurem meningkat, dan kemiskinan semakin meluas di wilayah pedesaan.

Bagi para pembaca setia Berdikari Online, anda tentu tidak asing lagi dengan berbagai laporan kami tentang perjuangan petani di kepulauan Meranti (Riau), Tanjung Medang (Sumatera Selatan), petani plasma di Lampung Barat (Lampung), petani Telaga Raya (Sulawesi Tenggara), hutan sekaroh (NTB), perjuangan petani Lambu dan Parado (Bima, NTB), dan masih banyak lagi.

Di semua daerah yang disebutkan di atas, rakyat berjuang mati-matian mempertahankan tanah dan kehidupan mereka dari kerakusan pemilik modal, yang dibelakangnya berdiri aparatus pemerintah setempat dan kepolisian. Para pengusa lokal di Indonesia (gubernur dan bupati), terutama setelah diperkenankannya otonomi daerah, telah berfungsi layaknya para bangsawan (bupati/adipati) yang merampas tanah dari rakyat untuk diserahkan kepada pengusa kolonial.

Padahal, kepemilikan tanah di tangan segelintir orang bukan hanya menciptakan anakronisme, tetapi ia juga menciptakan ketidakadilan. Jika sebagian besar petani kehilangan aksesnya terhadap tanah, maka kaum tani tidak akan punya daya beli atau tidak tercipta nilai-surplus di pedesaan. Dan, karena petani kita rendah sekali daya belinya dan tidak ada penciptaan nilai-surplus di pedesaan, maka industrialisasi tidak lebih dari fraseologi yang tidak berisi.

Kepemilikan terhadap tanah harus didemokratiskan. Tanah tidak boleh dikuasai oleh segelintir pemilik modal, baik asing maupun swasta nasional. Sebaliknya, negara harus menjamin kepemilikan tanah bagi petani, memberikan dukungan modal dan teknologi, dan juga jaminan pasar.

Selain itu, untuk menyiapkan dasar bagi industrialisasi, maka sudah saatnya pemerintah memprioritaskan pembangunan industri olahan untuk hasil produksi pertanian dan perkebunan. Harus ditekankan bahwa kebiasaan mengekspor bahan mentah hanya bermakna memindahkan nilai tambah kepada pihak asing, sementara pembangunan industri olahan justru memastikan penciptaan nilai tambah tetap terjadi di dalam negeri.

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid