Gigih, ideologis dan politis. Ketiga hal itulah yang menurut penulis dapat merefleksikan karakter tokoh pejuang perempuan yang satu ini: Supeni. Wanita kelahiran Tuban, 17 Agustus 1917 ini mengabdikan seluruh hidupnya demi perjuangan politik dan ideologi yang diyakininya. Kiprah sebagai aktivis pelajar, aktivis perempuan, pejabat negara, politisi hingga pimpinan partai telah ia lakoni. Berikut uraian singkat riwayat hidupnya.
Berawal dari Muda
Jiwa aktivisme yang bersemayam dalam diri Supeni mulai menggeliat ketika ia menginjak usia remaja. Pada masa itu, perjuangan menentang penguasa kolonial melalui jalur politik kian masif. Kaum muda progresif banyak mendirikan organisasi pergerakan dengan berbagai tendensi. Salah satunya adalah Indonesia Muda (IM).
Supeni, yang menghabiskan masa remajanya di kota Blitar, juga menjadi anggota IM Cabang Blitar. Ia kemudian dipercaya menjadi wakil ketua Indonesia Muda Cabang Blitar. Dalam rapat-rapat umum yang diselenggarakan IM, Supeni sering tampil sebagai pembicara. Dengan ‘ketajaman’ lidahnya, ia mengecam penindasan pemerintah kolonial terhadap bangsa Indonesia.
Ketika itu ia masih bersekolah di HIK atau sekolah menengah bagi calon guru milik pemerintah Hindia Belanda. Keterlibatannya dalam organisasi pergerakan membuat pimpinan sekolah meradang. Supeni pun dikeluarkan dari HIK. Turut pula dikeluarkan dari sekolah tersebut, Sukarni, seorang aktivis IM lainnya yang kelak menjadi salah satu tokoh pemuda progresif pada tahun 1945.
Memasuki era pendudukan Jepang, Supeni pun hijrah ke Madiun. Namun, ia tidak mundur dari ‘jagad’ aktivisme. Ketika Jepang menghimpun para wanita Indonesia dalam organisasi wanita Fujinkai, Supeni pun turut serta. Namun, ia tidak ter-kooptasi oleh pemerintah fasis Jepang dan hanya menjadikan organisasi tersebut sebagai alat ‘pematangan’ bagi kaum wanita Madiun untuk menyongsong kemerdekaan.
Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, organisasi wanita Fujinkai bermetamorfosa menjadi Persatuan Wanita Madiun. Supeni diberi amanat untuk menjadi sekretaris dalam organisasi tersebut.
Di era revolusi kemerdekaan, Supeni banyak melibatkan diri dalam organisasi pergerakan wanita yang sepenuhnya menyokong perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Di bulan Juni 1946, Supeni terpilih sebagai Ketua Kongres Wanita Indonesia (Kowani) cabang Madiun. Dalam periode selanjutnya, Supeni terpilih sebagai Ketua Umum Kowani Pusat. Di masa kepemimpinannya inilah, Konferensi Antar Wanita Indonesia berhasil digelar di Yogyakarta bulan September 1949.
Bergelut dalam dunia organisasi bukan berarti Supeni tak terjun ke lapangan tempat berkecamuknya pertempuran pada masa revolusi. Ia dan kawan-kawannya terjun langsung ke arena pertempuran sebagai tim evakuasi korban dan keluarga korban. Supeni juga terlibat dalam pengumpulan logistik (pangan) bagi keperluan para pejuang. Padahal pada saat yang sama ia telah berkeluarga.
“Kegiatan organisasi wanita pada masa perang itu sama bahayanya dengan tentara yang ada di garis depan,” ujar Supeni ketika mengisahkan pengalamannya pada masa revolusi.
Setelah pengakuan kedaulatan, Supeni tetap berkiprah dalam organisasi wanita. Di tahun 1950, ia menjadi salah satu pengurus Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari) Pusat. Supeni pun ‘melebarkan sayap’ ke dunia politik dengan menjadi anggota Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan Bung Karno pada tahun 1927. Ia kemudian dipercaya sebagai salah satu pengurus dalam dewan partai yang lekat dengan ideologi Marhaenisme ajaran Bung Karno tersebut. Pilihan politik Supeni tersebut tidaklah ‘ujug-ujug’. Ia memang telah aktif di organisasi IM yang berhaluan nasionalis kerakyatan ketika remaja.
The Irian Lady
Pada masa demokrasi liberal, Supeni ditugaskan oleh partai membantu kabinet Perdana Menteri (PM) Ali Sastroamidjojo yang juga berasal dari PNI dalam persiapan pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) pertama dalam sejarah Republik di tahun 1955. Selain itu, Supeni juga diajukan oleh partainya sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Konstituante. Ia pun terpilih menjadi anggota kedua lembaga itu dalam pemilu tersebut.
Sifat kepemimpinan yang telah melekat sejak remaja membuat Supeni kembali dipercaya menduduki posisi strategis dalam lembaga DPR. Ia dipilih menjadi ketua Seksi Hubungan Luar Negeri. Haluan anti neo-kolonialisme dan imperialisme (Nekolim) sebagaimana yang ‘dianut’ Bung Karno diperlihatkannya saat ia mengusulkan sebuah resolusi DPR yang berisi dukungan kepada pemerintah Mesir untuk menasionalisasi Terusan Suez di tahun 1956. Ketika itu pemerintahan Mesir dibawah pimpinan Gamal Abdul Nasser yang berhaluan nasionalis-progresif dengan berani menasionalisasi Terusan Suez. Tindakan ini mengakibatkan Mesir diagresi oleh negara-negara imperialis seperti Inggris, Perancis dan Israel. Usulan Supeni itu diterima oleh DPR secara aklamasi.
Watak anti Nekolimnya juga terlihat ketika ia memperjuangkan kembalinya Irian Barat ke pangkuan Indonesia dengan gigih di forum Konferensi Asia-Afrika (KAA) tahun 1955. Kegigihannya tersebut membuat ia dijuluki ‘The Irian Lady’ oleh para tamu negara.
Di awal dekade 1960-an, kiprah Supeni dalam bidang hubungan internasional semakin bertambah tatkala ia diangkat sebagai Duta Besar (Dubes) Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia (RI) untuk Amerika Serikat (AS). Tetapi jabatan ini tak lama diembannya. Di tahun 1961, ia kembali dipercaya untuk memegang dua posisi sekaligus, yakni sebagai Dubes Keliling RI serta Pembantu Menteri Luar Negeri dan Hubungan Ekonomi Luar Negeri Urusan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Ketika memiliki akses ke forum PBB inilah Supeni kembali memperjuangkan kembalinya Irian Barat ke dalam wilayah kedaulatan RI. Ia berjuang bersama Menteri Luar Negeri kala itu, Soebandrio. Selain pembebasan Irian Barat, sebagai Dubes Keliling Supeni juga turut mempersiapkan pergelaran Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Non-Blok di Beograd tahun 1961. Seperti yang kita ketahui, KTT Non-Blok merupakan wadah perjuangan negara-negara independen dan baru merdeka yang berupaya melepaskan diri dari pengaruh kekuatan hegemonik Blok Barat dan Timur.
Supeni juga telah diberi amanat untuk membantu persiapan penyelenggaraan KAA ke-2 di Aljazair pada tahun 1965. Tetapi, disaat hampir bersamaan, kemelut politik pasca meletusnya Gerakan Satu Oktober (Gestok) 1965 membuat haluan politik luar negeri Indonesia berangsur berubah. Bung Karno, PKI beserta kekuatan progresif anti Nekolim pun terdesak.
Ditengah kondisi genting tersebut, loyalitas Supeni terhadap panutan politik dan ideologisnya, Bung Karno, tidaklah goyah. Ia setia mendampingi Bung Karno bersama kawan-kawan Bung Karno lainnya seperti dr.Leimena yang kebetulan luput dari aksi ‘sapu bersih’ kelompok militer pendukung Orde Baru/Soeharto.
Pada era Orde Baru, Supeni tetap berjuang dalam partainya, PNI. Ketika Kongres PNI tahun 1970, ia terpilih menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Partai. Namun Supeni tidak lagi menjadi ‘person’ penting dalam tubuh partai. Ia dipinggirkan oleh kekuatan mainstream PNI yang pro Orde Baru karena dianggap dekat dengan PNI ASU (Ali-Surahman) yang Soekarnois dan kiri. Penyingkiran Supeni itu makin menjadi pada saat PNI telah berfusi ke dalam PDI (Partai Demokrasi Indonesia) tahun 1973, serta berlanjut sepanjang era Orde Baru.
Berhembusnya ‘angin’ reformasi tahun 1998 membuka peluang baru bagi segenap kekuatan Marhaenis-Soekarnois, termasuk Supeni, untuk bangkit dan mengekspresikan keyakinan politiknya. Supeni dan kawan-kawan pun mendeklarasikan kembali PNI yang berazaskan Marhaenisme ajaran Bung Karno ditahun 1998. Partai yang kemudian dikenal sebagai PNI Supeni itu lolos verifikasi untuk menjadi peserta Pemilu 1999.
PNI Supeni tidak berhasil meraih kesuksesan dalam Pemilu 1999. Partai ini kalah pamor dibandingkan PDI Perjuangan, partai yang dipimpin Megawati, salah satu putri Bung Karno. Tetapi hal itu tak membuat Supeni goyah akan pilihan politik yang telah ditempuhnya. Baginya, partai politik adalah instrumen perjuangan ideologis . Dan ia hanya ingin berjuang dalam PNI yang dipimpinnya,karena partai itulah yang ia rasa sesuai dengan ritme perjuangannya dalam mewujudkan cita-cita Bung Karno.
Di era reformasi ini pulalah, terbit dua buah karya intelektualnya yang berupa buku berjudul Politik Ketahanan Nasional Indonesia (1999) dan Napak Tilas Bapak-Bapak Pejuang Menuju Indonesia Merdeka Adil dan Makmur (2001).Kedua buku tersebut merefleksikan pemikiran-pemikiran Supeni yang menjangkau berbagai bidang, seperti politik, ekonomi, pertahanan serta sejarah. Terbitnya kedua buku itu serta pendeklarasian kembali PNI menunjukkan kegigigihannya sebagai seorang Marhaenis tidak raib meskipun usianya telah demikian lanjut.
Perjuangan wanita Marhaenis ini harus berhenti di tahun 2004, ketika ia menginjak usia 87 tahun. Usia lanjut yang disertai beragam penyakit membuat wanita gigih ini harus beristirahat dalam alam keabadian. Semoga semangat dan idealismenya menginspirasi seluruh kaum muda Marhaenis, terutama para ‘Sarinah’, untuk terus berjuang dalam ‘kawah candradimuka’ revolusi nasional yang belum usai.
HISKI DARMAYANA
Penulis adalah kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Sumedang
- Fascinated
- Happy
- Sad
- Angry
- Bored
- Afraid