Sukarno dan ‘Pertempuran 10 November 1945’

Pada akhir Oktober 1945, sebuah pertempuran sengit pecah di Surabaya. Saat itu para pemuda dan rakyat Indonesia menggempur tentara Inggris habis-habisan.

Pertempuran mulai pecah tanggal 28 Oktober 1945. Pemicunya adalah kemarahan rakyat Surabaya terhadap perilaku tentara Inggris: ditugasi mengurus tawanan dan interniran, tetapi malah menangkapi pemuda Republik dan melucuti senjatanya.

Pasukan Inggris, yang berkekuatan 6000-an orang dan dilengkapi persenjataan modern, kewalahan menahan “amarah” para pemuda dan rakyat Surabaya. Pasukan Inggris pun meranggas.

Untuk menyelamatkan pasukannya yang nyaris musnah, komandan pasukan Inggris saat itu, Brigjend Aubertin Mallaby, meminta bantuan kepada Komandan tentara Inggris di Jawa, D.C Hawthorn, untuk turun tangan.

Menanggapi permintaan tolong bawahannya,  D.C Hawthorn, yang saat itu berkedudukan di Singapura, langsung meminta Sukarno selaku Presiden Republik Indonesia untuk turun tangan guna menghentikan pertempuran.

Singkat cerita, Sukarno menyetujui permintaan itu. Akhirnya, bersama Wapres Muhammad Hatta dan Menteri Penerangan Amir Syarifuddin, Soekarno datang ke Surabaya. Mereka menumpangi pesawat yang disediakan oleh tentara Inggris.

Di Surabaya, dengan sebuah jeep pinjaman Inggris, Sukarno berkeliling menyerukan gencatan senjata. Ini tindakan yang sangat berani: walaupun berstatus Presiden, tetapi wajah Sukarno belum tentu dikenal oleh keseluruhan pemuda dan rakyat di Surabaya. Apalagi, banyak diantara pemuda dan rakyat itu baru pertama kali memegang senapan.

“Ini Presiden Republik Indonesia, Sukarno, memerintahkan berhenti, supaya jangan dilanjutkan pertempuran itu,” kata Soekarno melalui corong pengeras suara.

Singkat cerita, Sukarno yang saat itu baru pertamakalinya ke Surabaya sebagai Presiden, berhasil menghentikan pertempuran. Perintahnya didengar oleh rakyat. Sesuatu yang agak sulit terjadi di negeri yang baru sekali merdeka: baru berusia sekitar dua bulan.

Namun, tindakan Sukarno menghentikan pertempuran heroik itu bukan tanpa kritik. Banyak yang menganggap Soekarno melakukan kesalahan fatal karena menghentikan pertempuran. Bagi mereka, tindakan Sukarno itu memupuskan kemenangan pemuda dan rakyat Surabaya yang sudah di depan mata.

“Kalau umpamanya 3 jam kemudian Bung Karno baru datang menghentikan pertempuran, Komandan korps Tentara Inggris itu sudah menaikkan bendera putih untuk menyelamatkan tentaranya yang masih hidup,” kata Sumarsono, salah seorang tokoh yang mengambil peran memimpin dalam pertempuran itu dalam memoarnya, Revolusi Agustus: Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah.

Saat itu Sumarsono menjabat ketua Pemuda Republik Indonesia (PRI), sebuah organisasi yang menghimpun hampir seluruh kekuatan pemuda di Surabaya. Organisasi ini punya peranan besar dalam perjuangan rakyat Surabaya antara September-November 1945.

Pada saat Sukarno berkeliling menghentikan pertempuran, Sumarsono sedang bertempur di daerah Wonokromo. “Saya sedang rame-ramenya bertempur, kemudian saya mendengar disuruh menghentikan pertempuran,” kenang Soemarsono.

Sumarsono tak terima perintah itu. Baginya, pasukan Inggris sudah terdesak; kemenangan sudah di depan mata. Ia pun masuk kota untuk menghalangi perintah gencatan senjata itu. Di jalan ia berpapasan dengan rombongan Sukarno. Termasuk Brigjend AWS Mallaby di dalamnya.

Sumarsono berdiri tengah jalan menghadang konvoi. Di depan Sukarno ia menumpahkan kemarahannya. “Ini kita dalam keadaan sudah unggul kok diberhentikan? Kalau kita kepepet diberhentikan, ya, bagus. Tapi ini kita sedang unggul,” kata Sumarsono kepada Sukarno.

Sukarno diam saja. Tapi tiba-tiba Amir Syarifuddin yang keluar dari mobil dan merangkul Sumarsono. “Ini sudah didiskusikan oleh kawan-kawan, oleh kami, sudah keputusannya begini,” bisik Amir ke telinga Sumarsono kala itu.

Sumarsono tidak mendebat. Ia hanya tertunduk mendengar bisikan Amir tersebut. Selain sebagai menteri Pertahanan, Amir Syarifuddin adalah bekas pimpinan Sumarsono di Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia). Namun, tidak jelas keputusan siapa yang dimaksud Amir: keputusan kolektif pemerintah kah? keputusan para pemuda revolusioner di Menteng 31 kah? atau keputusan PKI bawah tanah?

Singkat cerita, Sumarsono tunduk pada keputusan itu. Ia kemudian diboyong ke Jalan Mawar, tempat corong radio yang sehari-harinya digunakan oleh Bung Tomo berpidato, untuk menyerukan penghentian tembak-menembak.

Belakangan, melalui buku Revolusi Agustus: Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah, Sumarsono menyadari bahwa memenangkan pertempuran belum tentu memenangkan politik. Maksudnya, pemuda dan rakyat Surabaya bisa memenangi pertempuran, tetapi secara politik mereka kalah. Bukankah pertempuran hanya salah satu jalan dari perjuangan politik?

Sumarsono sendiri menyadari, dengan mematuhi seruan gencatan senjata dari Sukarno, bangsa Indonesia menang secara politik: Sukarno selaku Presiden dipatuhi oleh rakyatnya. Ini syarat mutlak berdirinya sebuah negara: pengakuan rakyatnya.

Ini sekaligus mematahkan tudingan Inggris, termasuk kolonialis Belanda di belakangnya, bahwa pemerintahan Republik Indonesia yang baru berdiri tidak bisa mengontrol keadaan.

Selain itu, dengan meminta bantuan Sukarno untuk mengendalikan amarah rakyat Indonesia, dengan sendirinya Inggris mengakui wibawa Sukarno selaku Presiden dengan rakyatnya. Maklum, sebelumnya Inggris menuding Sukarno sebagai kolaborator Jepang dan berencana menangkapnya.

Gencatan senjata itu tidak berlangsung lama. Tanggal 30 Oktober 1945, saat Kontak Biro sedang berupaya menghentikan tembak-menembak di gedung Internatio, Brigjend AWS Mallaby tewas di tengah kontak saja. Bisa diduga, kematian Mallaby itu menjadi dalih bagi Inggris untuk menggempur rakyat Surabaya dan menuntut “menyerah tanpa syarat”.

Inggris membuat ultimatum: rakyat Indonesia harus menyerahkan senjata dengan mengangkat tangan. Batas ultimatum itu adalah jam 06.00 pagi tanggal 10 November 1945. Pemuda dan rakyat Indonesia tidak mau mematuhi ultimatum itu. Mereka memilih “merdeka atau mati”.

Saat Inggris mulai menggempur rakyat Indonesia di Surabaya melalui darat, laut, dan udara, Soekarno tidak tinggal diam. Ia berpidato dengan menggunakan bahasa Inggris, direkam di tape recorder, lalu disiarkan ke seluruh dunia. Ia melancarkan protes ke PBB. Tak hanya itu, ia mendesak Presiden AS Harry S Truman untuk turun tangan menghentikan aksi militer Inggris.

Sayang, seruan Sukarno itu tidak mendapat sambutan. “Tak seorang pun menolong,” kata Sukarno. Di surabaya, rakyat dan pemuda melawan dengan gagah berani. Bagi Sukarno, pengorbanan besar rakyat Indonesia di Surabaya membuktikan: bangsa Indonesia tidak mau menyerah dan tidak mau diinjak-injak kolonialisme.

Rudi Hartono

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid