Banyak yang menuntut agar subsidi BBM segera dicabut. Bagi mereka, subsidi BBM sudah terlalu membebani APBN. Yang lainnya lagi bilang, subsidi BBM tidak pernah tepat sasaran. Mereka merujuk pada beberapa penelitian, entah benar atau tidak, yang menyebutkan bahwa 60% subsidi BBM hanya dinikmati oleh pengusaha.
Pengamat ekonomi yang sempat jadi kandidat Gubernur DKI Jakarta, Faisal Basri, menyebut subsidi BBM sebagai kejahatan ekonomi-politik. Dalam artikelnya di harian Kompas, Subsidi BBM: Kejahatan Ekonomi-Politik, ia mendakwa subsidi BBM sebagai penyebab kemiskinan, terbengkalainya pembangunan infrastruktur, dan tergerogotinya daya tahan makro-ekonomi.
Banyak yang berkoar-koar, terutama dari pendukung neoliberal, bahwa subsidi BBM tidak tepat sasaran. Versi pemerintah menyebutkan, hanya 30% subsidi BBM yang tepat sasaran. Ekonom Standard Chartered, Fauzi Ichsan, mengklaim subsidi BBM hanya dinikmati oleh 10% orang miskin.
Benarkah demikian? ekonom dari ECONIT, Hendri Saparini, menganggap subsidi BBM sudah tepat sasaran. Menurutnya, 65% BBM bersubsidi dinikmati oleh keluarga berpendapatan 4 dollar AS ke bawah. Data lain menyebutkan, 77,95% pengguna BBM bersubsidi adalah kendaraan bermotor. Kita pun tahu, motor bukan lagi kendaraan mewah bagi rakyat miskin. Bahkan, banyak orang miskin menggantungkan hidupnya sebagai “tukang ojek”.
Di samping itu, harus disadari, konsumen BBM bersubsidi bukan hanya sektor transportasi. Dalam Peraturan Presiden No. 15 Tahun 2012 Tentang Harga Jual Eceran dan Konsumen Pengguna Jenis Bahan Bakar Tertentu, antara lain, disebutkan: pengguna BBM bersubsidi juga meliputi nelayan dan pembudi daya ikan skala kecil, usaha pertanian kecil dengan luas maksimal 2 hektar, usaha mikro (UMKM), dan pelayanan umum seperti krematorium.
Artinya, penghapusan subsidi BBM akan berdampak pada sektor luas massa-rakyat. Sudah bisa dipastikan, penghapusan subsidi BBM akan memukul telak pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Menurut hitungan, kenaikan harga BBM akan menaikkan biaya produksi sebesar 20%. Padahal, UMKM sekarang ini berperan sebagai “tulang-punggung” perekonomian nasional.
Jumlah UMKM di Indonesia mencapai 99,9% dari total pelaku usaha. Sektor ini juga menyerap 97% tenaga kerja. Mereka juga merupakan penyumbang 50% PDB. Itulah mengapa SBY sendiri menyebut UMKM sebagai “pahlawan ekonomi nasional” saat ini. Kalau subsidi BBM dihapus, maka tentu mereka tergencet. Sudahkan Faisal Basri, kandidat independen cagub DKI yang kalah itu, memikirkan konsekuensi ini?
Penghapusan subsidi BBM akan memicu kenaikan biaya transportasi. Pendapatan pekerja akan tergerus oleh ongkos transportasi. Selain itu, berbagai produk yang memerlukan jasa transportasi juga akan naik. Dengan demikian, terjadilah kenaikan harga-harga barang. Pendek kata, biaya hidup rakyat akan makin meroket.
Lagi pula, penjelasan Faisal Basri juga absurd. Yang digugat selalu subsidi BBM. Kenapa ia tak mengoreksi politik APBN secara umum. Lihat saja, porsi anggaran untuk belanja rutin di RAPBN 2013 masih berkisar 79%, sedangkan belanja modal hanya berjumlah 11,6%. Faisal Basri mestinya pandai melihat, anggaran untuk pegawai mencapai Rp 241,12 triliun (21 persen), sementara anggaran subdidi BBM hanya Rp Rp193,8 triliun.
Disamping itu, Faisal Basri juga mestinya mengingat, tidak sehatnya APBN kita juga disebabkan oleh adanya prioritas membayar hutang. Pada APBN 2012, porsi pembayaran utang mencapai Rp113,2 triliun. Padahal, banyak yang bilang, hutang luar negeri itu sangat sedikit manfaatnya bagi rakyat.
Artinya, tidak sehatnya APBN kita bukan sekedar karena soal subsidi, melainkan juga karena politik penganggaran yang tidak pro-rakyat. Sebagian besar anggaran dipakai untuk “mengeyangkan” birokrasi dan pembayaran utang luar negeri. Belum lagi belanja pertahanan yang terus naik, terutama untuk belanja alutsista, namun kedaulatan ekonomi, politik, dan budaya kita tetap saja terkoyak.
Dalam artiknya Faisal Basri bilang, “Dengan dana Rp 1.000 triliun, banyak yang bisa dilakukan untuk memerangi kemiskinan dan ketimpangan.” Oh, belum tentu, sebab masalah kemiskinan adalah masalah ekonomi-politik. Justru kebijakan pemerintah yang berbau neoliberal, yang mendorong liberalisasi perdagangan, penghapusan subsidi, privatisasi, komoditifikasi layanan dasar rakyat, prioritas pada pembayaran utang luar negeri, adalah penyebab utama kemiskinan rakyat Indonesia.
Ironisnya, kaum neoliberal selalu mengutuki kucuran subsidi kepada rakyat, namun membiarkan penguasaan korporasi asing terhadap asset-aset strategis dan Sumber Daya Alam (SDA) kita. Padahal, pengusaaan korporasi asing itu menghilangkan ribuan triliun, bahkan mungkin puluhan ribu triliun, potensi pendapatan negara. Penguasaan asing itu juga meluluhlantakkan kedaulatan energi kita.
Memberi rakyat apa yang menjadi haknya bukanlah kejahatan. Subsidi BBM adalah hak rakyat yang diatur oleh konstitusi. Sebaliknya, merampas hak-hak rakyat, termasuk menghapus subsidi, privatisasi layanan publik, mengkomoditifikasi barang-barang publik, liberalisasi perdagangan, dan lain-lain, adalah kejahatan kemanusiaan.