Baru-baru ini SETARA Institute mengeluarkan sebuah Laporan Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan Minoritas Keagamaan di Indonesia Tahun 2016 berjudul Supremasi Intoleransi. Laporan tersebut merupakan salah satu mandat organisasi dalam mempromosikan, merawat dan memperkuat kemajemukan Indonesia.
Menurut peneliti Setara Institute, Halili, sejak tahun 2007 organisasi ini konsisten menyusun laporan kondisi kebebasan beragama/berkeyakinan (KKB) di Indonesia.
Sebagaimana data statistik riset dan pemantauan pada tahun tahun sebelumnya, angka pelanggaran tertinggi terjadi di provinsi Jawa Barat. Jawa Barat menjadi “jawara” peristiwa pelanggaran KBB dengan 41 peristiwa, sedangkan tempat kedua ditempati DKI Jakarta dengan 31 peristiwa.
Di peringkat ketiga ada Jawa Timur dengan 22 jumlah peristiwa pelanggaran. Jawa Tengah menempati peringkat keempat dengan angka peristiwa sebanyak 14 pelanggaran. Disusul Bangka Belitung di peringkat kelima dengan 11 pelanggaran.
Faktor-faktor yang menyebabkan tingginya angka aktual dan peristiwa pelanggaran KBB di Jawa Barat belum mengalami pergeseran apalagi transformasi signifikan. Beberapa faktor yang menyebabkan tingginya peristiwa KBB di provinsi terbesar di Indonesia dari aspek demografis tersebut, antara lain:
Pertama, faktor regulasi diskriminatif. Sebagaimana banyak dipersoalkan oleh organisasi masyarakat sipil, Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor 12 tahun 2011 tentang Larangan Kegiatan Ahmadiyah. Sebelum regeling tersebut dikeluarkan, diskriminasi dan pelanggaran hak-hak untuk bebas beragama terhadap komunitas Ahmadiyah sudah terjadi.
Pasca terbitnya Pergub tersebut dengan sendirinya intensitas persekusi terhadap Jemaat Ahmadiyah di Jawa Barat semakin berlipat ganda. Pergub telah secara sistemik memancing kelompok-kelompok intoleran yang memang memusuhi dan anti Ahmadiyah untuk bertindak secara lebih agresif terhadap eksistensi Ahmadiyah. Secara sosiologis, Pergub tersebut nyata-nyata menjadi alat justifikasi bagi kelompok-kelompok intoleran di tengah-tengah masyarakat untuk membenarkan tindakan-tindakan pelanggaran dan intoleransi yang mereka lakukan terhadap Jemaat Ahmadiyah di Jawa Barat.
Kedua, daya dukung kebijakan intoleran di tingkat kabupaten/ kota di Jawa Barat. Beberapa daerah kabupaten atau kota di Jawa Barat seringkali suportif terhadap eskalasi intoleransi, misalnya kebijakan pelarangan peringatan Asyura’ bagi komunitas Syi’ah seperti yang pernah dikeluarkan oleh Walikota Bogor.
Dalam riset indexing yang dilakukan oleh SETARA Institute, ada 10 kabupaten/kota yang tingkat intoleransinya paling tinggi dan sebagian besar di antaranya berasal dari provinsi Jawa Barat. Tujuh dari 10 peringkat teratas adalah Kota Bogor, Bekasi, Depok, Bandung, Sukabumi, Banjar, dan Kota Tasikmalaya.
Ketiga, menjamurnya kelompok-kelompok intoleran. Di Jawa Barat terdapat kelompok-kelompok yang kerap melakukan tindakan-tindakan pelanggaran dan intoleransi, terutama di daerah-daerah kabupaten/kota seperti Bandung, Tasikmalaya, Cianjur, dan lainnya.
Keempat, lemahnya kapasitas institusi pemerintah dan institusi sosial dalam pengelolaan dinamika masyarakat dengan jumlah sangat besar dan kompleksitas tinggi. Sebagaimana diketahui, Jawa Barat secara demografis merupakan daerah yang paling besar di Indonesia. Dengan demikian, keberagaman di Jawa Barat lebih kompleks dibandingkan dengan provinsi-provinsi lainnya di Indonesia. Dengan demikian, faktor yang mempengaruhi tingginya intoleransi sesungguhnya bukan jumlah penduduk yang besar itu, melainkan kegagalan pemerintah daerah dalam mengelola besarnya jumlah penduduk dan tingginya keberagaman di sana.
Faktor kelima, rendahnya kesadaran keberagaman (pluralitas dan multikulturalitas) politisi-politisi Partai Islam di sana. Kuatnya sentimen keagamaan mayoritas di Jawa Barat bertemu dengan besarnya agenda office-seeking politisi di ranah Pasundan, sehingga mereka memilih untuk tunduk pada atau paling tidak mengkapitalisasi kehendak mayoritas. Isu-isu agama pun dimanfaatkan untuk menghimpun suara pemilih (vote getting) dari kalangan mayoritas dalam pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah.
Hal tersebut dengan sendirinya berpotensi mendiskreditkan kelompok-kelompok minoritas lebih dalam, tidak saja secara sosial, namun pada akhirnya juga secara politis sebagai implikasi dari janji-janji mereka kepada pemilih mayoritas Islam.
Siti Rubaidah
- Fascinated
- Happy
- Sad
- Angry
- Bored
- Afraid