SBY Dan Thomas Malthus

Pada tahun 1789, Thomas Malthus menerbitkan tulisan berjudul “An Essay on the Principle of Population”. Tulisan itu mengambil sebuah kesimpulan berani, saat itu, bahwa peningkatan populasi akan mengurangi kemampuan dunia untuk memberi makan kepada penduduknya. Kesimpulannya itu diambil dari sebuah tesis, bahwa perkembangan jumlah penduduk melampaui perkembangan lahan untuk bercocok tanam.

Teori itu sudah berumur 200-an tahun lamanya, dan mempengaruhi banyak pemikiran ekonomi-politik sampai sekarang. Dan, pada saat peringatan Hari Kebangkitan Teknologi Nasional kemarin (10/8), SBY kembali mengulang argumentasi Malthus itu.

SBY, seperti cara Malthus meramalkan, memperkirakan bahwa dunia akan mengalami kekurangan pangan ketika ledakan penduduk dunia sudah mencapai 60%. Sebagai jalan keluar atas persoalan itu, SBY menyerukan kepada para ilmuwan untuk menciptakan kreativitas dalam produktifitas komoditas. Ia menyatakan produksi pangan harus ditingkatkan dengan menggunakan inovasi dan teknologi.

Tetapi SBY, mungkin juga Malthus, lupa bahwa perkembangan penduduk bukan penyebab pokok kelaparan, melainkan cara produksi kapitalis. Saat ini, di beberapa negara di tanduk Afrika, seperti Somalia, Kenya, dan Ethiopia, kelaparan terus-menerus terjadi. Padahal, dari segi perkembagan populasi, kepadatan penduduk di Somalia masih lebih rendah dibanding negara-negara Eropa. Somalia memiliki kepadatan penduduk 11/km2, sedangkan Perancis memiliki kepadatan 111/km2.

Penyebab kelaparan di Somalia adalah warisan kolonialisme selama beratus-ratus tahun dan campur tangan barat yang terus-menerus mendestabilisasi kehidupan politik di negeri penghasil minyak tersebut. Somalia punya potensi kekayaan alam yang besar, seperti minyak bumi, bijih besi, gips, mangan, dan uranium. Tetapi, hampir semua kekayaan alam itu diperebutkan oleh perusahaan-perusahaan dari barat, sedangkan rakyat Somalia dipecah-belah dalam perang saudara berkepanjangan.

Cara produksi kapitalis, yang tujuan pokok produksinya adalah mendatangkan keuntungan, telah menyebabkan ketimpangan dalam distribusi kekayaan dan pendapatan. Negeri-negeri imperialis telah menikmati kemakmuran sebagai hasil penjarahan terhadap kekayaan negeri-negeri jajahan. Sebagian besar sumber-sumber kemakmuran negeri dunia ketiga telah disedot oleh segelintir korporasi yang bermarkas di negeri-negeri imperialis.

Atau, kita bisa juga melihat gejala krisis pangan global saat ini. Penyebab krisis pangan saat ini bukan sekedar soal kenaikan konsumsi dan gagal panen akibat perubahan iklim. Tetapi, jika diteliti lebih dalam dan kritis, maka penyebab utamanya terletak pada cara produksi kapitalis bekerja. Misalnya, lihatlah kebijakan rejim di AS, eropa, dan Brazil untuk mempromosikan penggunaan bio-fuel sebagai pengganti energi fosil, atau penghancuran sektor pertanian dunia ketiga melalui kebijakan neoliberal.

Dalam konteks Indonesia, ancaman kelaparan bukan terutama karena keterlambatan inovasi teknologi, melainkan kehancuran sektor pertanian kita akibat kebijakan neoliberalisme yang dianut oleh SBY. Sejak SBY berkuasa tahun 2004 lalu, ia secara agressif telah mempromosikan liberalisasi impor produk pertanian, menghapus subsidi pertanian, membiarkan lahan-lahan pertanian dirampas oleh pihak swasta dan asing untuk tujuan komersil, dan lain sebagainya.

SBY tampil dengan teori inovasi teknologinya, seolah-olah sebuah solusi cerdas, tetapi mengabaikan akar pokok persoalan. Secanggih apapun teknologi, tetapi jika tetap dikuasai segelintir tangan dan kaum tani dan rakyat dipisahkan dari alat-alat produksi, maka kelaparan akan selalu menjadi ancaman permanen.

Menutup editorial ini, kami teringat perkataan bijak Gandhi, pahlawan pembebasan nasional India yang terkenal itu, yang mengatakan: “Bumi ini sebenarnya cukup bahkan berlebih untuk memberi makan semua penduduk bumi. Namun menjadi tak cukup memberi makan satu orang yang rakus.”

Leave a Response