Sarekat Islam Dan Gerakan Politik Islam

Kita kerap mendengar seruan untuk menjauhkan Islam dari gerakan politik. “Jangan gunakan Islam sebagai alat politik, begitu kira-kira seruan mereka. Mereka menginginkan Islam diisolasi di ruang “netral”. 

Sebetulnya ruang netral itu tidak ada. Sebab, hampir semua ruang kehidupan manusia itu terkait dengan politik. Mana bisa Islam terpisah dari persoalan kehidupan? Mana bisa Islam tutup mata dengan penderitaan umatnya?

Dan memang, jika kita menengok ke masa silam, Islam tidak berjarak dengan politik. Itu terjadi pada permulaan abad 20, bersamaan dengan kebangkitan perlawan rakyat Indonesia menentang kolonialisme, muncul gerakan politik Islam atau Islam Politik.

Di awal abad ke-20, ada organisasi sosial-politik yang sangat mencolok. Namanya: Sarekat Islam. Ini organisasi massa terbesar di zamannya. Tjokroaminoto, pimpinan SI yang kerap disebut “Raja Jawa” itu, mengklaim jumlah anggotanya mencapai 2 juta orang.

Sumber resmi mengatakan, SI lahir dari perkumpulan kaum pribumi yang mengamankan Laweyan, daerah hunian saudagar batik di Solo. Pendirinya bernama Haji Samanhudi. Awalnya, organisasi itu bermuasal dari organisasi ronda bernama “Rekso Roemekso”. Pendapat ini diperkuat oleh Takashi Shiraishi dalam bukunya, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat Di Jawa (1912-1926).

Namun, versi lain yang lebih akurat menyatakan, SI berasal dari organisasi yang sebelumnya bernama Sarekat Dagang Islamiyah (SDI). Pendirinya adalah seorang bekas murid STOVIA yang terbakar api nasionalisme Tiongkok, Tirto Adhi Soerjo, pada tahun 1909. Pendapat ini diusung oleh Pramoedya Ananata Toer dalam tetralogi bagian ketiganya, Jejak Langkah. Namun, pada tahun 1913, sebagai upaya menjegal perkembangan SDI, penguasa kolonial membuang Tirto ke Ambon. Kepengurusan SI pun berpindah ke Haji Samanhudi dan kegiatannya berpusat di Solo.

Pendapat Pram itu hampir sejalan dengan pendapat Bung Hatta saat menyampaikan ceramah berjudul “Dari Budi Utomo menuju Sarekat Islam” di gedung Kebangkitan Nasional tanggal 22 Mei 1974. Menurut Bung Hatta, pendiri SDI adalah Tirto di Batavia tahun 1909. Tirto kemudian melakukan tur keliling jawa, termasuk Solo. Dengan demikian, SDI Solo yang diketuai Haji Samanhudi adalah cabang SDI-nya Tirto Adhisuryo.

SDI di bawah Haji Samanhudi terus berkembang. Sayang, Haji Samanhudi tidak bisa mengendalikan organisasi yang terus berkembang. Ia juga tak kuasa melawan tekanan penguasa kolonial. Akhirnya, pada tahun 1912, kepemimpinan SI diserahkan kepada Tjokroaminoto, seorang teknisi di pabrik gula Rogojampi. Pusat kegiatan SI pun dipindahkan ke Surabaya. Namanya pun berubah menjadi Sarekat Islam (SI).

Berkembang Dan Meluas

Di bawah kendali Tjokro, SI dirombak menjadi “organisasi gerakan”. Sejak itu, seperti diceritakan Ruth McVey di “Kemunculan Komunisme Indonesia”, SI mulai terlibat dalam memperjuangkan taraf hidup dan perekonomian rakyat. SI juga mulai menciptakan mulutnya untuk berpropaganda, yakni koran. SI punya koran utama bernama “Oetoesan Hindia”, tetapi cabang-cabang juga punya koran sendiri seperti Sinar Djawa (Semarang), Kaoem Moeda (Bandung), dan Pantjaran Warta (Batavia).

SI juga mulai menggerakkan massa melalui rapat akbar (vergadering). Vergadering pertama SI di Surabaya, tahun 1913, dihadiri oleh puluhan ribu orang. Alhasil, dalam kongres I SI di Surakarta, tahun 1913, jumlah cabang (Afdeling) SI meningkat pesat menjadi 48 dan keanggotaan membengkak menjadi 200.000 orang.

Namun, upaya SI mendapat pengakuan penguasa Belanda mendapat rintangan. Penguasa Belanda menolak permintaan SI atas pengakuan status hukum sebagai perkumpulan. Sebaliknya, penguasa hanya mau mengakui SI tingkat lokal. Akhirnya, melalui Dr Rinkes, seorang penasehat Gubernur Jenderal untuk urusan bumiputra, penguasa kolonial membujuk Tjokro mengubah Afdeling SI menjadi SI lokal.

Dalam kongres SI kedua di Jogjakarta, April 1914, Tjokro berhasil mengubah 60 Afdeling SI menjadi SI lokal. Saat kongres kedua itu anggota SI sudah mencapai 440.000 orang. Baru pada tahun 1915, SI mendapat pengakuan hukum dari Gubernur Jenderal Idenburg.

Menurut Ruht McVey, pertumbuhan SI bersamaan dengan meluasnya keresahan rakyat, khususnya di pedesaan. Kehidupan petani di desa-desa makin merosot akibat didesak oleh perkebunan swasta. Selain itu, kaum tani dibebani pajak dan kerjapaksa. Yang menarik, SI berhasil mengolah keresahan itu melalui advokasi dan aksi-aksi. Hasilnya jelas: pembesaran organisasi.

SI pun berkembang dari organisasi kaum pedagang (borjuis kecil) di perkotaan menjadi organisasi kaum miskin, yang menjangkau buruh-buruh pabrik dan petani miskin di pedesaan. Tjokro pun mendapat gelar “Raja Jawa tanpa Mahkota”.

Pertumbuhan pesat SI, terutama pergeserannya ke gerakan rakyat, menciptakan keresahan di kalangan pengusaha dan orang-orang Eropa. Pada tahun 1913, seperti dicatat Ruth Mcvey, seorang pengusaha gula di Jawa memasang iklan di koran lokal: “Dicari, opsir militer hindia Belanda yang berkemampuan, paham akan meningkatnya keresahan yang sedang terjadi di kalangan masyarakat pribumi di Jawa, siap memberi nasehat bagi pengurus perusahaan besar dalam mengatur pengamanan instalasi mereka menghadapi serangan.”

Menggoda Kaum Kiri

Namun, pertumbuhan SI justru menggoda bagi kalangan marxis—saat itu tergabung dalam  Indische Sociaal-Democratische Vereniging (ISDV), yang sedang membutuhkan lahan subur untuk menebar benih-benih marxisme dan sosialisme. Saking tertariknya dengan SI, yang notabene berkarakter islamisme, orang-orang ISDV menganggap SI sebagai versi Indonesia dari gerakan Chartist—gerakan buruh moderat di Inggris.

Namun, bukan cuma komunis di Hindia Belanda yang kepincut pada perkembangan SI, tetapi juga pemimpin komunis sekaliber Lenin, pemimpin Revolusi Rusia. Dalam tulisannya, Kebangkitan Asia, yang ditulis tahun 1913, Lenin menganggap SI sebagai gerakan demokratik di bawah panji islam. “Perserikatan Nasional dari penduduk asli telah dibentuk di Jawa. Ia telah memiliki keanggotaan sebesar 80.000 orang dan menggelar rapat-rapat akbar. Tidak ada yang bisa menghentikan pertumbuhan gerakan demokratik,” tulis Lenin.

Ini pula yang menjadi alasan ISDV untuk menjalankan kerjasama dengan SI. Ruth McVey mengistilahkan strategi ISDV ini sebagai “strategi di dalam blok/block within”. Hal itu dimungkinkan karena sifat organisasi SI yang otonom (SI lokal). Selain itu, jaman itu keanggotaan ganda (rangkap) dalam organisasi-organisasi masih dianggap lumrah.

Cabang yang berhasil “digarap” oleh ISDV adalah Semarang. Hal itu dimungkinkan karena dua orang kader SI semarang, yakni  Semaun dan Darsono, sudah menjadi marxis. Pada tahun 1917, kepengurusan SI semarang jatuh ke tangan Semaun. Sejak itu, SI semarang makin fokus menggarap buruh dan tani. SI Semarang terlibat dalam memperjuangkan hak buruh melalui mogok, membela kaum tani dari perkebunan, agitasi soal wabah pes, kampanye menolak Indie Weerbaar, dan kritik tajam terhadap Volksraad.

Tan Malaka, salah seorang aktivis SI dan sekaligus anggota ISDV, memuji kerjasama antara kaum marxis dengan SI tersebut. Ketika berpidato di forum Kongres Komunis Internasional ke-empat, Tan Malaka membela strategi itu: “Hingga tahun 1921 kita berkolaborasi dengan mereka. Partai kita, terdiri dari 13,000 anggota, masuk ke pergerakan popular ini dan melakukan propaganda di dalamnya. Pada tahun 1921 kita berhasil membuat Sarekat Islam mengadopsi program kita. Sarekat Islam juga melakukan agitasi pedesaan mengenai kontrol pabrik-pabrik dan slogan: Semua kekuasaan untuk kaum tani miskin, Semua kekuasaan untuk kaum proletar! Dengan demikian Sarekat Islam melakukan propaganda yang sama seperti Partai Komunis kita, hanya saja terkadang menggunakan nama yang berbeda.”

Pergeseran Ke Kiri

Radikalisasi SI Semarang membuat posisi Tjokro terusik. Radikalisasi SI di bawah kaum kiri terus memanen dukungan. Tjokro pun berhadapan dengan pilihan: tetap moderat/koperatif dengan Belanda atau mengikuti radikalisme yang disodorkan kaum kiri. Kalau memilih yang pertama, Tjokro akan ditinggalkan oleh massa. Sementara jika memilih yang kedua, Tjokro akan dimusuhi oleh Belanda.

Tjokro memilih yang kedua. Ia pun mengubah nada bicaranya menjadi radikal dan militan. Jika di Kongres SI di Bandung, 1916, Tjokro masih menyatakan “SI bekerja demi kemajuan rakyat Hindia di bawah dan bersama pemerintah Hindia Belanda”, maka dalam kongres SI di Batavia, tahun 1917, Tjokro telah berbicara tentang masyarakat “sama rasa” menuju pemerintahan sendiri dan anti-kapitalisme.

Tjokro tak hanya bermain ucapan, tapi mempraktekkanya. Pertama, ia melancarkan gerakan Djawa Dipa, yang bertujuan menghapus bahasa Jawa tinggi (kromo) dan menjadikan bahasa Jawa rendah (ngoko) sebagai bahasa standar. Gerakan ini juga mengganti gelar priayi dengan gelar Djawa Dipa—sebutan “Wiro” untuk laki-laki dan “Woro” untuk perempuan yang sudah menikah. Sedangkan yang belum menikah dipanggil “Roro”.

Kedua, memassifkan perjuangan ekonomi melalui pembangunan gerakan buruh. Ini dilakukan melalui Soerjopranoto dengan PFB (Personeel Fabriek Bond—Ikatan Buruh Pabrik), yang menghimpun banyak serikat buruh. FPB rajin menggelar pemogokan, sehingga Soerjopranoto digelari ‘Si Raja Mogok”.

Ketiga, Tjokro mulai menyerap ajaran sosialisme dan memadukannya dengan ajaran Islam. Ia menulis buku berjudul “Islam dan Sosialisme”, yang berusaha mengelaborasi adanya kesamaan antara nilai-nilai islam dan sosialisme. “Bagi kita, tak ada sosialisme atau rupa-rupa isme lainnya yang lebih baik, lebih elok dan lebih mulia, melainkan sosialisme yang berdasar Islam itu saja,” katanya.

Datangnya Masa Surut

Memasuki tahun 1919, pamor SI mulai menurun. Kasus Afdeling B, yaitu pemberontakan rakyat Garut, Jawa Barat, yang dipimpin oleh SI, membuat penguasa kolonial bersikap keras terhadap SI. Gara-gara kejadian itu, Tjokro ditangkap.

Tak hanya itu, perjuangan ekonomi juga mengalami titik balik pada tahun 1920. Saat itu, PFB menyerukan pemogokan umum. Namun, sebelum pemogokan meletus, sindikat gula dan pemerintah kolonial mengambil langkah antisipasi: ancaman PHK dan represi. kegagalan pemogokan membawa malapetaka: banyak cabang PFB yang mundur.

Selain itu, peruncingan dengan kaum kiri juga menguat. Isu disiplin partai pun mengemuka. Kelompok konservatif di tubuh SI menguat, terutama Agus Salim dan Soerjopranoto, yang berkeinginan menendang keluar kaum kiri dari SI.

Bersamaan dengan itu, muncul isu tak sedap di kepimpinan SI, yakni Tjokro dan Brotosoehardjo. Isu ini dilancarkan oleh Darsono, seorang propagandis SI sekaligus anggota ISDV. Brotosoehardjo dituduh menggelapkan dan mempertaruhkan uang SI. Sedangkan Tjokro diserang karena pinjaman sebesar 2000 gulden bagi SI dengan jaminan mobil SI yang dibeli oleh Tjokro sebagai bendara untuk kepentingan sendiri sebagai ketua. Tjokro juga diserang karena pengeluaran uang organisasi yang luar biasa, yang dipakai untuk membeli mobil dan perhiasan istri keduanya. Serangan itu membuat pamor Tjokro dan SI memudar.

Membalas serangan itu, SI konservatif menuding ajaran komunisme bertentangan dengan Islam. Mereka mengutip tesis Lenin yang melarang kerjasama dengan Pan Islamisme. Pertentang kedua belah pihak, yakni kanan (SI Putih) dan kiri (SI Merah), makin tak terhindarkan.

Akhirnya, pada kongres SI di Surabaya, tahun 1921, sayap kanan dan kiri dalam SI resmi berpisah. SI putih kemudian bertransformasi menjadi Partai Sarekat Indonesia (PSI), sedangkan SI merah menjadi “Sarekat Rakyat” dan terafilisasi dengan PKI.

Pelajaran Dari Masa Lalu

Ada beberapa pelajaran menarik dari gerakan politik Islam di masa SI itu.

Pertama, SI dibangun dibangun di atas basis ideologi yang kuat, yakni islam, tetapi tidak kaku dan menolak pemikiran dari luar. Kalau kita lihat, periode pertumbuhan SI justru terjadi ketika ideologi islam dibuat terbuka untuk berdialog dengan ideologi lain, termasuk marxisme. Justru, masa surut SI terjadi ketika ideologi islam makin diketatkan.

Kedua, SI berkembang karena berhasilkan menyelaraskan programnya dengan persoalan-persoalan rakyat. SI terlibat mengadvokasi petani, memimpin perjuangan ekonomi kaum buruh, melindungi kepentingan pedagang kecil, dan membuka lembaga pendidikan gratis.

Ketiga, pertumbuhan gerakan SI berjalan simultan dengan lahirnya intelektual-intelektual islam yang hebat di jamannya, seperti HOS Tjokroaminoto, Haji Misbach, Haji Agus Salim, dan lain-lain.

Keempat, keruntuhan gerakan politik islam, termasuk gerakan politik lain, terjadi ketika pemimpinnya tak tahan dengan godaan uang atau bergaya-hidup melebihi anggotanya. Skandal korupsi di tubuh pimpinan SI jaman itu, apalagi melibatkan Tjokro, benar-benar memerosotkan kiprah politik SI di kalangan rakyat.

Rudi Hartono

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid