Republik Setelah 66 Tahun

Melihat bendera-bendera Republik Indonesia: Merah Putih, masih berkibar di jalan-jalan menjelang perayaannya yang ke-66 dan bagaimana rakyat berbenah menyambutnya, bisa disimpulkan bahwa semangat menjadi warga negara Republik ini masih ada dan cinta  terhadap Negara Republik yang diproklamasikan 66 tahun yang lalu itu dalam arti lain berjiwa patriot itu memang masih nyata ada. Apa yang menyebabkan jiwa patriot itu masih bersemayam di sanubari rakyat sampai detik ini sementara banyak disampaikan bahwa kehidupan rakyat masih dipinggirkan dan tak menjadi perhatian serius pemerintahan demi pemerintahan yang berganti? Apakah dengan begitu bisa juga disimpulkan: meski kesengsaraan rakyat itu masih nyata menghantui, rakyat tak punya pilihan untuk menempuh hidup alternatif dan tak punya keberanian untuk mengubah rel kehidupan untuk masa depan yang lebih baik?

Melihat perjalanan berbangsa dan bernegara kita, kesimpulan bahwa rakyat tak punya alternatif dan tak punya keberanian untuk menempuh jalan alternatif  adalah salah besar. Pergolakan dan perubahan yang terjadi di tahun 1998 adalah bukti bagaimana rakyat terlibat dan melihat ada alternatif selain jalan yang ditawarkan Orde Baru. Pertama dan yang jelas, pelajaran dari berlangsungnya kekuasaan Orde Baru adalah bahwa demokrasi dikedepankan dan kekerasan negara terhadap rakyat ditolak. Dibalik tuntutan demokrasi dan penolakan terhadap kekerasan negara adalah keinginan untuk hidup sejahtera karena terbukti kekuasaan Orde Baru yang lama pun tak sanggup meningkatkan kesejahteraan rakyat lahir-batin.

Melihat hingar-bingar politik pasca Orde Baru: pemerintahan yang begitu cepat berganti; seakan tak ada fokus program perubahan untuk kemajuan rakyat tapi melulu perebutan  kekuasaan berikut perilaku buruk yang mengikutinya seperti korupsi, kolusi dan nepotisme yang malah menjadi-jadi, apakah rakyat tak punya alternatif? Tentu masih. Sebagaimana sudah banyak disampaikan, demokrasi yang diperjuangkan sebagai hasil dari penolakan gaya pemerintahan Orde Baru itupun kembali dipertanyakan: demokrasi sekarang untuk apa? Tentu tak sekadar demokrasi formal atau demokrasi prosedural tapi demokrasi substansial yaitu mengadilkanmakmurkan rakyat.

Akhirnya sampailah pada pertanyaan alternatif: demokrasi (substansial) macam apa yang sanggup mengadilmakmurkan rakyat? Beberapa diskusi saat ini sudah menyimpulkan bahwa demokrasi pasca Orde Baru yang lebih tepat ditandai sebagai gaya demokrasi liberal mulai menuai kritik dan dinyatakan gagal membawa rakyat adil-makmur. Rakyat justru semakin terperosok ke lembah kesengsaraan karena demokrasi yang dijalankan justru tidak melindungi kepentingan rakyat sendiri. Politik ekonomi yang dijalankan justru semakin mematikan daya kreatif ekonomi rakyat dan tidak menumbuh-kembang-kuatkan ekonomi rakyat. Di pihak lain, produk-produk asing yang seharusnya bisa diproduksi sendiri asal negara dan pemerintah Republik mau bekerja keras untuk itu justru semakin menguasai pasar nasional seperti garam, beras, singkong…

Di tengah kegalauan ini, kembalilah kita pada cita-cita dan tujuan Republik ini didirikan. Secara singkat, kegalauan ini dihibur dengan Empat Pilar Kebangsaan yang kini banyak didengungkan: Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI. Dengan cara ini seakan Pemerintahan SBY-Budiono yang begitu terbuka dengan politik ekonomi liberal, dibatasi, dikontrol dan diingatkan untuk kembali atau tetap ingat pada jalan Republik 66 tahun yang lalu.

Jalan Republik itu jelas dan tak bisa ditawar-tawar lagi adalah menolak dan mengikis habis ekonomi kolonial yang terbukti tidak mengadil-makmurkan rakyat selama ratusan tahun berkuasa. Proklamasi kemerdekaan dan terbentuknya Negara Republik Indonesia 66 tahun yang lalu adalah bukti tak ada kompromi antara penjajah dan yang dijajah. Tak terjadinya kompromi antara penjajah dan yang dijajah sebagaimana penjajah Inggris dengan negeri-negeri jajahannya memperlihatkan bagaimana benturan itu terlalu kuat dan tak pernah menemukan jalan bersama sehingga tekad untuk mendirikan Negara (Republik) sendiri yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur begitu kuat. Tekad itu tentu dilandasi para pejuang yang patriotik dan ratusan tahun penderitaan rakyat selama di bawah kolonialisme.

Itulah mengapa di tengah nasib (rakyat) Republik hari ini yang masih tidak menentu, rakyat yang masih menderita itu tetap mengibarkan Bendera Merah Putih:  bendera kemenangan atas kolonialisme yang telah bercokol ratusan tahun dan juga bendera yang di antara kepak-kepak kibarannya, dikepakkan pula cita-cita untuk terwujudnya keadilan dan kemakmuran setelah politik ekonomi kolonial ditumbangkan.

AJ SusmanaDeputi Keuangan Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik (KPP-PRD)

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid