Pro-Kontra Hukuman Mati Bagi Pemerkosa Di India

Rabu malam, 16 Januari lalu, ribuan rakyat India berkumpul di Ibukota India, New Delhi, sembari menyalakan lilin. Mereka mengenang gadis pemberani korban pemerkosaan di atas bus tanggal 16 Desember 2012 lalu.

Sebelumnya gadis itu dipanggil dengan nama julukan Nirbhaya, yang berarti “Tak Kenal Takut”. Namun, belakangan ayah gadis itu,  Badri Singh Pandey, mengungkapkan nama asli anaknya ke media massa. Gadis itu bernama Jyoti Singh Pandey.

“Saya bangga kepadanya. Mengungkap namanya akan memberikan keberanian untuk perempuan lain yang mengalami hal serupa. Mereka akan menemukan kekuatan dari putri saya,” kata Badri menjelaskan alasan publikasi nama putrinya.

Begitu kabar pemerkosaan itu tersebar luas, India dilanda kemarahan nasional. Aksi mengutuk pemerkosaan berlangsung di seantero India. Sebagian demonstran adalah kaum muda dan perempuan.

Tetapi, di tengah kemarahan nasional itu, kasus pemerkosaan masih saja terus terjadi. Di negara bagian Punjab, seorang wanita diperkosa di atas bus oleh sekelompok orang pada awal Januari lalu.

Sementara di Rajasthan, seorang gadis muda bunuh diri setelah polisi menggertak dia saat mengadukan kasus perkosaan. Di Goa, gadis 7 tahun diperkosa di dalam toilet sekolah.

Pemerkosaan memang menjadi masalah besar di India. Kelompok perempuan India menyebutkan, kasus perkosaan terjadi hampir setiap 20 menit di negerinya. Di Ibukota India, New Delhi, ada 635 kasus pemerkosaan dalam setahun.

Catatan Biro Arsip Kejahatan India menyebutkan, kasus pemerkosaan di India melonjak tajam 873,3% sejak tahun 1971 hingga 2011. Pada tahun 1971, jumlah kasus pemerkosaan tercatat 2.487 kasus. Namun, pada tahun 2011, jumlahnya sudah mencapai 24.206 kasus.

Karena itu, persoalan pemerkosaan di India tidak hanya dianggap isu perempuan, tetapi menjadi masalah bangsa. Dan, seiring dengan meluasnya aksi anti-pemerkosaan, perdebatan soal pencegahan pemerkosaan pun meluas di berbagai kalangan.

Dalam aksi-aksi, isian tuntutan spanduk dan poster sudah berubah dari “Kami Ingin Keadilan” menjadi “Gantung Pemerkosa”, “Hukum Mati Pemerkosa”, atau “Kebiri Pemerkosa”.

Menteri Pembangunan Anak dan Perempuan India, Krishna Tirath, menuntut agar Undang-Undang diamandemen dan memasukkan hukuman mati bagi pelaku pemerkosaan. Gayung bersambut, salah seorang pemimpin oposisi di Parlemen India, Sushma Swaraj, yang berasal dari nasionalis Hindu Bharatiya Janata Party (BJP), juga menyuarakan tuntutan hukuman mati.

Ada juga yang mengusulkan agar pelaku pemerkosaan dikebiri dengan menggunakan bahan kimia. Namun, ide ini ditolak karena dianggap bentuk penyiksaan oleh hukum internasional.

Bagi pendukung hukuman mati, sanksi berat akan memberikan efek jera dan rasa takut bagi siapa saja yang berniat memperkosa. Dengan begitu, mereka yakin, hukuman mati akan mencegah atau setidaknya mengurangi kasus pemerkosaan.

Tetapi kebanyakan aktivis perempuan, terutama dari kalangan progressif-kiri, menolak hukuman mati itu. Bagi mereka, hukuman mati belum tentu menciptakan efek mengurangi tindakan pemerkosaan.

Argumentasi ini bukan tanpa bukti empirik. Pada tahun 1978 terjadi kasus penculikan dua orang anak di New Delhi, yakni Geeta dan Sanjay Chopra. Para penculik berniat meminta uang tebusan. Karena tak berhasil, mereka membunuh Sanjay dan memperkosa Geeta dan kemudian membunuhnya. Kasus ini menggegerkan India. Dua orang pelaku, Ranga dan Billa, ditangkap dan kemudian dihukum gantung.

Ternyata, hukuman gantung itu tidak menciptakan efek. Catatan Biro Kejahatan India menyebutkan, angka pemerkosaan tetap meningkat dua kali lipat pasca hukuman gantung itu, yaitu dari 5409 kasus pada tahun 1981 menjadi 10.410 kasus pada tahun 1991.

Lagi pula, seperti diungkapkan Kavita Krishnan, Sekretaris Asosiasi Perempuan Progressif India, sebagian besar pelaku pemerkosaan justru terjadi di dalam rumah (keluarga), orang-orang dekat, atau setidaknya orang yang dikenal. Artinya, kalau hukuman mati diterapkan, maka korban akan berhadapan dengan kondisi psikologis yang berat untuk melaporkan keluarga sendiri atau teman dekat sebagai pelaku pemerkosaan.

Bagi aktivis perempuan India, yang harus diutamakan adalah mendorong hukum/Undang-Undang India agar lebih ketat dan memihak kepentingan korban pemerkosaan. Maklum, hukum India sangat lembek dalam menghukum pemerkosa.

KUHP India mengganjar pelaku pemerkosaan dengan hukuman minimal 7 tahun penjara. Pada kenyataannya, seperti dicatat Asosiasi Perempuan Progressif India, hampir tidak ada pelaku pemerkosa yang dipenjara di atas tiga atau empat tahun.

Selain itu, dalam KUHP India, yang dimaksud pemerkosaan hanyalah pemaksaan hubungan seksual dengan penetrasi penis ke vagina. Sementara pemaksaan oral seks, sodomi, dan memaksakan penetrasi berupa benda asing tidak masuk kategori pemerkosaan.

Selain itu, sekarang ini ada  95.000 kasus pemerkosaan yang mengendap di pengadilan India. Artinya, jika hukuman mati diterapkan, maka setidaknya ada ratusan ribu orang yang harus dieksekusi dalam waktu dekat ini.

Lagi pula, sebelum proses hukuman mati dijalankan, si narapidana pelaku pemerkosaan bisa mengajukan grasi ke Presiden. Kalau grasinya diterima, maka hukumannya bisa dihilangkan.

Sementara menurut Sekjend Partai Komunis India, Prakash Karat, sebagian besar kasus pemerkosaan di India bersumber pada cara pandang patriarkhal, yang mensubordinatkan perempuan dan hanya memandang mereka sebagai objek pelampiasan seksual.

Karena itu, bagi Partai Komunis India, penyelesaian soal pemerkosaan tidak terlepas dari penghancuran pandangan patriarchal dan seksis yang masih hidup di tengah-tengah rakyat India.  Karena itu, yang dilakukan partai komunis adalah menyerukan seluruh cabang partai mengorganisir aksi protes untuk mengutuk pemerkosaan dan membangkitkan perempuan agar melawan patriarki dan seksisme. Tak hanya itu, Partai Komunis juga menyelenggarakan kursus politik bagi seluruh kadernya, khususnya laki-laki, agar lebih menghargai perempuan.

Namun, terlepas dari pro-kontra itu, sebuah survei menunjukkan bahwa 100 persen perempuan India menginginkan agar ada solusi atau penyelesaian atas ketidakamanan dan menguatnya serangan seksual terhadap perempuan di India.

Raymond Samuel

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid