Peringatan Hari Buruh Sedunia, seperti biasa, diwarnai dengan aksi massa kaum buruh dengan berbagai macam tuntutannya. Sebagian besar mengusung isu kesejahteraan buruh.
Sehingga momentum Hari Buruh bukan hanya peringatan, tetapi juga ruang untuk menuntut perbaikan nasib: kondisi kerja yang layak, upah layak, dan jaminan hidup yang layak.
Tanpa bermaksud mengabaikan nasib kaum buruh Indonesia secara keseluruhan, saya ingin mengulas khusus mengenai buruh perempuan. Sebab, sampai saat ini buruh perempuan sangat rentan berhadapan dengan diskriminasi dan eksploitasi.
Kondisi Buruh Perempuan
Berdasarkan catatan Biro Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2012, dari jumlah buruh Indonesia yang mencapai 112 juta orang, sebanyak 43 juta diantaranya adalah buruh perempuan.
Tekanan kapitalisme telah mendorong perempuan keluar dari rumah. Meski begitu, anggapan sosial bahwa laki-laki adalah pencari nafkah, sedangkan perempuan mengurusi rumah tangga, masih sangat kuat melekat di masyarakat kita.
Akibatnya, ketika perempuan terdesak keluar rumah untuk mencari pekerjaan, posisi mereka hanyalah sebagai ‘pencari nafkah lapis kedua alias tambahan’. Hal ini membawa ketidakadilan dalam sistem pengupahan. Jadinya, upah buruh laki-laki lebih banyak dari upah buruh perempuan karena adanya komponen tunjangan keluarga (istri dan anak). Sementara buruh perempuan, sekalipun sudah menikah alias sudah berkeluarga, tetap dianggap buruh lajang.
Catatan International Labour Organization (ILO) pada tahun 2012 menyebutkan bahwa kesenjangan upah antar gender di Indonesia masih berkisar 19%. Kesenjangan upah antar gender adalah kesenjangan gaji/pendapatan yang diterima oleh buruh perempuan dengan buruh laki-laki.
Di Indonesia, menurut ILO, perempuan mewakili sekitar 38% layanan/pekerjaan urusan sipil, tetapi lebih dari sepertiganya melakukan pekerjaan “domestik”, seperti mengurus rumah tangga dan mengasuh, yang cenderung memperoleh upah kurang dibanding pekerjaan yang didominasi oleh laki-laki.
Selain diskriminasi soal upah dan tunjangan, perempuan juga mengalami diskriminasi dalam kesempatan mengikuti pelatihan dan kesempatan meningkatkan karir. Lebih parah lagi, perempuan di tempat kerja kerap mendapat pelecehan seksual bahkan perkosaan.
Situasi lebih parah dirasakan oleh perempuan yang bekerja sebagai buruh migran, Pekerja Rumah Tangga (PRT), dan buruh tani di pedesaan. Hingga tahun 2013, jumlah buruh migran Indonesia di luar negeri mencapai 6,5 juta orang di 142 negara. Sekitar 70-80 persen adalahnya adalah perempuan.
Sebagian besar buruh migran perempuan Indonesia bekerja sebagai PRT. Mereka nyaris tanpa perlindungan hak, seperti upah dibawah standar, pelanggaran jam kerja, PHK sepihak, gaji tidak dibayar, bekerja tidak sesuai kontrak, tidak mendapat waktu istirahat, dan klain-lain.
Selain itu, buruh migran perempuan Indonesia kerap mengalami pelanggaran HAM, seperti penyitaan dokumen, larangan berkomunikasi, penganiayaan, kekerasan seksual, pemerkosaan, perdagangan manusia dan perlakuan tidak manusiawi lainnya.
Nasib PRT di dalam negeri tidak jauh berbeda. Hingga sekarang, DPR belum mengesahkan UU PRT. Padahal, hal ini sangat dibutuhkan oleh PRT dalam meraih hak-haiknya.
Tekanan Neoliberalisme
Kehadiran neoliberalisme, yang menginginkan maksimalisasi keuntungan tanpa batas, mendorong praktek pasar tenaga kerja yang fleksibel dan politik upah murah di mana-mana.
Berhadapan dengan pasar tenaga kerja yang fleksibel dan politik upah murah itu, perempuanlah yang paling rentan. Ada dua penyebab utamanya: pertama, anggapan patriarkal bahwa laki-laki sebagai ‘pencari nafkah utama’ dan perempuan hanya ‘pencari nafkah tambahan’; dan kedua, perempuan kurang didukung oleh keterampilan dan pengetahuan yang memadai.
Anggapan perempuan hanya sebagai ‘pencari nafkah tambahan’ sangat berkesesuaian dengan pasar tenaga kerja yang fleksibel. Dengan posisi sebagai ‘pencari nafkah tambahan’, perempuan paling banyak mengisi pekerjaan tidak tetap. Sebuah data mengungkapkan, hampir 80 persen buruh kontrak, harian lepas, dan borongan adalah buruh perempuan. (Suara Merdeka, 2007)
Sebagai pekerjan tidak tetap, perempuan sangat rentan menjadi objek eksploitasi. Mereka dipekerjakan secara fleksibel rata-rata antara 6 hingga 12 bulan. Meski secara aturan mereka berhak atas cuti haid, tetapi jika mereka tidak masuk karena haid, maka upah mereka bisa dipotong. Bahkan, jika mereka hamil atau melahirkan, kontrak mereka bisa diputus. Contoh kasus tebaru: PHK terhadap tiga pengamanan dalam (Pamdal) DPR karena sedang hamil.
Di sisi lain, karena kerasnya tekanan ekonomi dan keharus memberi tambahan pemasukan keluarga, buruh perempuan kerap menerima kondisi kerja yang buruk dan standar upah yang rendah asalkan tetap bisa bekerja.
Kemudian, tingkat keterampilan dan pendidikan yang kurang juga berpengaruh pada daya saing buruh perempuan di pasar tenaga kerja yang fleksibel. Mereka umumnya diserap pada pekerjaan tidak tetap dan tanpa jaminan hak normatif yang memadai.
Data BPS tahun 2009 menunjukkan bahwa sebanyak 75,69 persen perempuan usia 15 tahun ke atas hanya berpendidikan tamat SMP ke bawah, di mana perempuan yang hanya mengenyam pendidikan hingga tingkat SD mencapai 30,70 persen. Lalu semakin tinggi tingkat pendidikan, persentase partisipasi pendidikan perempuan semakin rendah, yaitu SMA (18,59 persen), Diploma (2,74 persen), dan Universitas (3,02 persen).
Padahal, rendahnya keterampilan dan tingkat pendidikan itu banyak disumbang oleh anggapan sosial yang masih melekat di sebagian masyarakat bahwa tugas perempuan adalah di rumah dan melayani suami. Karena itu, perempuan tidak butuh pendidikan yang tinggi-tinggi. Juga karena layanan pendidikan yang makin terkomersialisasi sehingga menutup akses bagi rakyat, termasuk perempuan.
Dengan demikian, jelas terlihat bahwa neoliberalisme turut memelihara patriarki dalam rangka mengeksploitasi perempuan sebagai tenaga kerja yang siap bekerja tanpa jaminan pekerjaan tetap, dengan upah murah, dan tanpa jaminan pemenuhan hak normatif.
Rini S.pd, Koordinator Hubungan Internasional Aksi Perempuan Indonesia (API) Kartini
- Fascinated
- Happy
- Sad
- Angry
- Bored
- Afraid