Politik Kebangsaan Yang Antikorupsi

Demo pelajar

Di awal abad ke-20, ketika benih-benih kebangsaan sedang disemai, ada novel yang sangat berpengaruh. Judulnya: Max Havelaar.

Banyak tokoh emansipasi bangsa di masa awal, seperti Kartini dan Tirto Adhisuryo, tergerakkan setelah membaca novel karangan Multatuli itu. Bahkan Sukarno kerap menyitir Max Havelaar untuk menggambarkan borok kolonialisme di Hindia-Belanda.

“Semua nasionalis barisan terdepan pernah mempelajari, bukan sekadar membaca, Multatuli,” tulis sastrawan Pramoedya Ananta Toer.

Max Havelaar menyadarkan bumiputera, terutama kaum terpelajarnya, bukan saja tentang kejahatan kolonialisme, tetapi juga perihal kebusukan pembesar-pembesar pribumi (feodalisme).

Salah satu aspek yang disorot oleh novel ini adalah penyalahgunaan kekuasaan oleh penguasa kolonial beserta penguasa pribumi. Kalau dalam istilah sekarang, kita bisa menyebutnya: korupsi politik.

Saat itu, Bupati Lebak Raden Adipati Karta Natanegara menyalahgunakan kekuasaan, mulai dari pemungutan pajak lewat perampasan paksa hingga penggunaan tenaga kerja tak dibayar, demi memperkaya diri sendiri. 

Berkat Max Havelaar, para pendiri bangsa menyusun konsep kebangsaan yang tak sekedar mengumbar sikap anti terhadap penjajahan. Tak sekedar sibuk mendefenisikan musuh dari luar dan dari dalam.

Melebihi itu semua, kebangsaan Indonesia mengusung proyek emansipasi atau pembebasan dari berbagai penyakit yang menghambat kemajuan, seperti pemiskinan, diskriminasi, feodalisme, dan korupsi.

Kenapa politik kebangsaan merasa penting untuk memerangi korupsi?

Pertama, korupsi membuat alokasi dan distribusi sumber daya menjauh dari kepentingan publik atau kepentingan rakyat banyak. Kekayaan dan sumber daya lalu menumpuk di tangan segelitir pejabat korup.

Kedua, korupsi merusak institusi politik dan meracuni orang-orangnya. Selain memakan APBN, institusi politik dan aparatusnya juga tidak bisa menyelenggarakan pelayanan publik yang baik.

Ketiga, korupsi menggerogoti kehidupan ekonomi karena inefisiensi sektor publik dan swasta, ekonomi berbiaya tinggi (pungli dan sejenisnya), dan mengembangbiakkan ekonomi rente. 

Kehilangan Spirit

Di masa Orde Baru, konsep kebangsaan Indonesia mengalami pendefenisian ulang sesuai dengan kepentingan penguasa kala itu. 

Sejak itu, kebangsaan Indonesia yang kerap digaungkan dengan slogan “NKRI harga mati” sibuk mendefenisikan ancaman dan musuh. Muncul beragam musuh: dari komunisme, separatisme, hingga gerakan pengacau keamanan. 

Dan demi proyek itu, nasionalisme Orba sibuk mereproduksi labal terhadap musuh-musuhnya: organisasi tanpa bentuk, bahaya laten komunis, gerakan pengacau keamanan, dan lain sebagainya.

Ironisnya, saat sedang sibuk mereproduksi musuh sembari mengibarkan panji-panji NKRI harga mati, demi merayu investor asing, Orba menerapkan politik upah murah, pembebasan lahan lewat perampasan, dan membungkam hak berserikat.

Saat Orba teriak NKRI harga mati, Presiden hingga birokrat paling rendah sibuk dengan korupsi, suap-menyuap, dan memastikan sanak-saudara ke dalam jajaran aparatus negara.

Yang terjadi, nasionalisme di bawah Orde Baru telah kehilangan salah satu jiwanya: emansipasi atau pembebasan dari segala penghambat kemajuan. Nasionalisme di bawah Orba justru mentolerir korupsi.

Wawasan Kebangsaan

Hari-hari ini, ketika bangsa ini belum merdeka dari korupsi, isu kebangsaan justru diletakkan berhadap-hadapan dengan gerakan pemberantasan korupsi.

Itulah yang pada kasus KPK. Setelah pengalami pelemahan institusional lewat revisi UU pada 2019 lalu, sekarang orang-orang berintegritas di KPK menjadi target operasi pembersihan. Pahitnya, isu kebangsaan dipakai sebagai alat penapisnya.

Modusnya merepetisi cara-cara Orba. Dimulai dengan mendefenisikan musuh. Dari situ, muncul isu radikalisme dan Taliban di tubuh KPK. Narasi ini sejalan-sebangun dengan politik pemerintah yang kerap melabeli musuh-musuhnya dengan cap “radikal” dan “taliban”.

Selanjutnya, untuk menapis pegawai-pegawai yang dianggap terpapar oleh radikalisme dan talibanisme itu, diciptakanlah tes wawasan kebangsaan (TWK). 

Seperti banyak beredar dan diulas media massa, TWK itu tak berkait langsung dengan kebutuhan menyeleksi pegawai KPK yang punya integritas dan profesionalisme. 

Yang terjadi, TWK tak ubahnya Litsus di masa Orba untuk menguji sejauh mana loyalitas seseorang pada pemerintah dan narasi-narasi politiknya. Hanya sebuah cara untuk menapis: mana pendukung pemerintah dan mana pembangkang.

Hasilnya gampang ditebak. Seperti ditunjukkan oleh trailer film dokumenter “End Game” yang digarap oleh Watchdoc Documentary, sebagian besar pegawai KPK yang tidak lulus TWK justru tak ada hubungan sebenang tipis pun dengan Talibalinisme. Mereka justru orang-orang yang sangat berjarak jauh dengan ideologi Talibanisme dan sejenisnya. Sebaliknya, dalam hal pemberantasan korupsi, pegawai-pegawai ini punya reputasi yang baik. 

TWK sebetulnya hanya merepitisi cara pandang kebangsaan Orba yang usang. Pertama, sibuk menciptakan musuh-musuh abstrak untuk menutupi musuh-musuh yang konkret: kemiskinan, korupsi, ketimpangan ekonomi, kualitas SDM yang rendah, pelanggaran HAM, dan ancaman krisis ekologi.

Kedua, narasi kebangsaan dijadikan alat untuk memberangus mereka-mereka yang dianggap mengancam kepentingan pemerintah berkuasa. 

Ketiga, politik kebangsaan memunggungi nilai-nilai yang turut membangun nasionalisme Indonesia warisan para pendiri bangsa, seperti kemanusiaan, demokrasi, dan keadilan sosial.

RUDI HARTONO, pimred berdikarionline.com

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid