Politik Harga Sembako

Pemerintahan SBY-Boediono tidak becus mengurus sembako rakyat. Tahun lalu, harga kedelai tiba-tiba meroket. Akibatnya, para pengrajin tempe dan tahu tercekik biaya produksi. Mereka pun menggelar aksi mogok berproduksi. Alhasil, tempe dan tahu sulit ditemukan di pasar.

Lalu, masih di tahun yang sama, harga daging juga tiba-tiba naik selangit. Pedagang daging dan usaha kecil pun terkena dampaknya. Rakyat banyak, khususnya kaum miskin, makin tidak bisa mengakses harga daging. Beberapa hari terakhir harga bawang, baik bawang putih maupun merah, juga merangkat naik. Di Jakarta, kenaikan harga bawang mencapai 100%. Di berbagai daerah, kenaikannya bahkan lebih menggila lagi.

Sayangnya, setiap terjadi kenaikan harga, Presiden SBY hanya bisa mengeluarkan himbauan. “Saya berharap para menteri mengajak para gubernur untuk mewaspadai, mengendalikan stabilitas sejumlah harga-harga sembako yang mengalami kenaikan yang kurang wajar,” kata Presiden SBY di Istana Negara.

Himbauan tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Sebagai kepala negara, SBY punya wewenang untuk mengeluarkan kebijakan. Itulah yang sebetulnya ditunggu-tunggu rakyat. Namun, sampai sekarang SBY tidak mengambil kebijakan apapun untuk mengontrol harga. Ironisnya, pemerintahan SBY menjadikan momentum kenaikan harga ini untuk memperlebar ruang untuk impor.

Kenaikan harga sembako ini bukanlah insiden tiba-tiba. Kalau kita cermati, sebagian besar pemicu kenaikan harga itu justru bermuasal dari kesalahan kebijakan atau politik pemerintah. Ironisnya lagi, kesalahan kebijakan ini sifatnya disengaja oleh pemerintah. Dan itu terjadi karena pemerintah rela menjadi kaki-tangan kapitalisme global.

Pertama, pemerintah tidak punya politik pangan yang jelas. Maksudnya, sejak SBY berkuasa hingga sekarang, tidak pernah ada program atau pekerjaan konkret untuk memacu produksi pangan agar bisa memenuhi kebutuhan nasional.

Produksi pangan terkait dengan ketersediaan lahan. Yang terjadi, pemerintahan SBY justru memprioritaskan pemanfaatan tanah untuk  kepentingan bisnis, seperti perkebunan sawit, pemanfaatan hasil hutan kayu, pertambangan, dan lain-lain. Akibatnya, penguasaan tanah sangat dominan di tangan korporasi/perseorangan.

Selain itu, lantaran tunduk pada WTO, pemerintah juga menghapus subsidi pertanian. Kebijakan ini menyebabkan biaya produksi pertanian melambung tinggi. Padahal, di negara-negara maju, termasuk Amerika Serikat, sektor pertanian masih terus menerima subsidi.

Kedua, akibat kehancuran produksi pangan lokal, pemerintah pun beralih ke impor pangan. Lebih dari 65% kebutuhan pangan di dalam negeri didapatkan melalui impor. Lebih dari Rp 125 Triliun anggaran negara disedot untuk membiayai impor daging sapi, gandum, beras, kedelai, ikan, garam, kentang, dan komoditas pangan lainnya.

Namun, kelihatannya impor pangan ini memang justru dikehendaki oleh pemerintah. Maklum, bisnis impor pangan dan sembako ini sangat menggiurkan. Laporan Tempo Juni 2011 menyebutkan, importir membeli daging impor rata-rata Rp 40 ribu per kilogram. Lalu mereka melemparnya ke pasar dalam negeri dengan harga rata-rata Rp 60-70 ribu perkilogram. Artinya, keuntungan importir bisa mencapai Rp 30 ribu perkilogramnya. Artinya, kalau si importir mengimpor ribuan ton, maka mereka bisa menghasilkan keuntungan trilyunan rupiah tanpa mengeluarkan keringat.

Tak hanya itu, negara-negara maju, termasuk AS, berkepentingan menjadikan Indonesia sebagai pasar bagi produk pertanian mereka. Produk holtikultra impor dari China, Amerika Serikat, Thailand, India dan negara lain merembes masuk. Tak hanya membanjiri supermarket besar dan kecil, tetapi juga menyerbu pasar-pasar kecil di berbagai pelosok tanah air. Harganya pun miring dan tampilannya menarik. Alhasil, produk holtikultura dalam negeri kehilangan pangsa pasar.

Kebijakan impor ini memukul petani. Mereka kehilangan pasar untuk produk mereka. Dalam banyak kasus, karena biaya produksi lebih tinggi dari harga jual, banyak petani yang merugi. Akhirnya, pertanian tidak lagi dianggap menguntungkan. Ini yang mendorong banyak petani beralih ke sektor lain demi menyambung hidup.

Ketiga, pemerintah melepas harga sembako pada mekanisme pasar. Ini yang membuat harga sembako berlari seperti kuda liar. Paling-paling, kalau terjadi kenaikan, pemerintah melakukan operasi pasar. Langkah ini jelas tidak efektif. Operasi pasar paling banyak dilakukan di 50 titik.

Sudah begitu, karena sebagian besar sembako berasal dari impor, maka importir pun bisa dengan seenaknya memainkan harga. Mereka yang punya gudang penampungan besar bisa menahan barang dan akan melepasnya ketika harga sudah meroket.

Untuk urusan mengontrol harga sembako, pemerintah Indonesia bisa meniru pengalaman Hugo Chavez di Venezuela. Pemerintahan Chavez membangun toko kelontongan seantero negerinya, yang menyediakan sembako murah bagi rakyat dan harganya disubsidi pemerintah. Disamping itu, pemerintah membuat UU pengaturan harga yang adil, yang mematok harga tertinggi setiap barang sesuai biaya produksinya.

Dulu, Bung Hatta punya gagasan menarik soal ini. Menurutnya, tugas pertama pemerintah adalah menjamin makanan untuk rakyat. Untuk tugas itu, Bung Hatta mengusulkan agar pemerintah menggenjot sektor pertanian untuk mendorong produksi pangan. Selain itu, pemerintah juga harus melakukan industrialisasi yang selaras dengan tujuan itu. Kebijakan impor hanya dibolehkan terhadap barang-barang yang tidak bisa kita hasilkan di dalam negeri.

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid