Konflik Agraria di Sulawesi Utara meningkat sejak Pemerintah menetapkan Percepatan Program Pembangunan Nasional di sektor Infrastruktur jalan Tol. Contoh kasus konflik Mata Air Ujang Bitung yang masuk dalam areal pembangunan Tol Manado-Bitung. Percepatan Proyek Pembangunan Nasional juga berimbas terhadap masyarakat Kalasey Dua Kabupaten Minahasa. Pemerintah secara sepihak menentukan wilayah tersebut sebagai lahan pemerintah tanpa memikirkan nasib masyarakat yang telah puluhan tahun menggarap tanah tersebut.
Hak Guna Usaha (HGU) juga menjadi salah satu polemik Agraria di Sulut pasalnya para pemegang HGU dalam kelolanya tidak dijalankan selama puluhan tahun lebih, tepatnya tak sesuai dengan UUPA no 5 tahun 1960, sehingga tanah yang tak terkelola tersebut digarap oleh masyarakat guna bercocok-tanam. Namun keberpihakan Pemerintah selalu secara formalitas bahwa tanah tersebut adalah kawasan HGU sehingga hak kelolanya masih di tangan pemegang HGU. Contoh kasus HGU PT.Malisha di Desa Poigar Bolmong, HGU wilayah Tongkaina Kota Manado.
Konflik lain tercipta akibat massifnya kawasan pertambangan di Sulawesi Utara yang tersinyalir akan terus berkembang akibat potensi Sulawesi-Utara sebagai kawasan pertambangan. Konflik kawasan pertambangan memang bukan sesuatu yang baru namun ketidakstabilan ekonomi akan menjadi pemicu yang serius. Asumsi ini didasari karena banyak penduduk Sulawesi Utara yang bertaruh nasib di rantau guna menjadi pekerja tambang.
Sisi yang lain adalah massifnya pendudukan lahan oleh para penguasa. Tersinyalir ada yang memiliki lahan dengan total 62 bidang tanah dengan luas lahan hampir 100 Hektar.
Hikmah kata dari Bung Karno: “Tanah adalah milik mereka yang benar-benar menggarap tanah itu. Tanah bukan milik mereka yang duduk ongkang kaki saja lalu mengambil untung dari keringat mereka yang mengelola tanah itu”.
Keresahan Bung Karno berdasar pada kolonisasi Belanda di sektor pertanian pada saat itu. Para petani dipaksa bercocok tanam semau Belanda lalu hasil-hasil tersebut diangkut guna keperluan Belanda sendiri. Seperti tertulis dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi jilid 1, setelah Belanda mengalami perang dengan Belgia saat itu Belanda membutuhkan pasokan logistik yang besar, sehingga Belanda makin mencekik leher petani Indonesia guna memenuhi kebutuhan Belanda tersebut.
Sedang Tan Malaka berpendapat selain di bawah cekik Belanda kaum Tani juga di bawah cekik kaum tuan tanah. Dari sinilah, perlu dicipta sebuah revolusi di sektor pertanian agar tanah benar-benar menjadi milik kaum tani. Namun Sukarno berpandangan bahwa Indonesia sejatinya adalah marhaen dengan Ilustrasi Sukarno bertemu dengan seorang bapak yang sedang mencangkul tanahnya yang penghasilannya hanya bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Bukanlah seperti petani yang ada di wilayah Uni Soviet saat itu.
Kehidupan petani ingin diubah Bung Karno dengan kata “Kita haruslah beralih dari cangkir ke mesin,” yang artinya saat itu Bung Karno menginginkan tumbuhannya Industri Pertanian di wilayah Indonesia. Pertanian kian terkikis setelah jalur ekspansi berubah. Hal tersebut jelas berimbas hingga tingkatan daerah, salah satunya adalah kawasan Sulawesi Utara Sendiri.
Ekspansi Kapital berubah total setelah Indonesia di era pemerintahan Jokowi menginginkan pertumbuhan ekonomi yang signifikan namun pada koridor BUMN selalu mengalami minus bukan melahirkan profit (Pertamina, dll).
Salah satu hal yang paling signifikan dalam meningkatkan ekonomi adalah Industri Pertambangan. Di era Jokowi regulasi penunjang guna tumbuh suburnya investasi adalah melahirkan UU Cipta Kerja.
Keseriusan mendorong Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)
Pembangunan jalur transportasi laut di Sulawesi Utara melalui wilayah Bitung dengan dasar sebagai kawasan Ekonomi Khusus menjadi sebuah pertanyaan besar. Pasalnya dengan tajamnya Konflik Agraria jelas berimbas pada menurunnya hasil pertanian terlebih di sektor laut sendiri belum ada upaya yang jelas dalam meningkatkan produksi. Sederhananya jika pemerintah serius, harusnya pembangunan lumbung produksi di Kabupaten/Kota terus ditingkatkan.
Nyatanya hingga saat ini lumbung produksi berbasis perikanan bersifat stagnan bahkan menurun. Hanya beranda saja yang diperintah dalam hal ini kawasan pelelangan di wilayah Bitung sendiri. Wilayah pendukung lainnya tak kunjung ada perbaikan serius semisal Pelelangan Jati Tumumpa, Penampungan Dagho Kabupaten Kepulauan Sangihe serta beberapa wilayah lainnya.
Ketidakseriusan dalam mencipta lumbung produksi sehingga melahirkan spekulasi bahwa pembangunan jalur tersebut sengaja dibuat guna jalur kapitalisasi di sektor pertambangan. Artinya dengan adanya jalur tersebut jelas mempermudah produksi pertambangan di Sulawesi Utara khususnya mengangkut hasil tambang tersebut.
Dasar fikir atas spekulasi tersebut adalah hampir semua tambang di wilayah Sulawesi Utara di kelola oleh China. Pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus tersebut jelas investasinya juga berasal dari China . Investor tidak pernah mau buntung. Segala hal yang dibuat niatnya adalah meraup untung sebesar mungkin.
Konflik Agraria di Sulawesi Utara akan terus meningkat seiring massifnya perampasan lahan dengan dasar Percepatan Pembangunan dan Pemulihan Ekonomi yang sendi produksinya berbasis pertambangan.
Alpianus Tempongbuka
Ketua Eksekutif Wilayah Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (EW-LMND) Sulawesi Utara
- Fascinated
- Happy
- Sad
- Angry
- Bored
- Afraid