Perjuangan Perempuan: Dari Dapur Hingga Negara

Ditengah situasi ekonomi saat ini yang sedang terpuruk, dimana harga kebutuhan dasar rakyat terus merangkak naik, rakyat miskin yang paling merasakan dampaknya, terutama perempuan yang di kesadaran masyarakat kita (anggapan social) berperan untuk mengelola serta mengatur keuangan dan ekonomi rumah tangga.

Perempuan yang memastikan bahwa penghasilan keluarga cukup untuk kebutuhan pangan keluarga, pendidikan anak, kesehatan keluarga dan lain sebagainya. Kaum perempuanlah yang kemudian paling memutar otak untuk ketercukupan kebutuhan keluarganya. Hal inilah yang membuat kaum perempuan sangat rentan dengan berbagai kebijakan ekonomi Pemerintah, terutama yang berkaitan dengan kenaikan harga kebutuhan dasar/pokok.

Hal ini akan sangat terasa pada perempuan dari keluarga miskin. Dengan pendapat keluarga yang pas-pasan, kaum perempuan ini diharuskan bisa memastikan ketersediaan pangan, pendidikan, kesehatan bagi keluarganya. Ketika kebutuhan dasar tersebut kemudian tidak terpenuhi karena pendapatan keluarga yang pas-pasan, maka menimbulkan persoalan karena perempuan yang diposisikan berperan mengatur dan mengelolanya merasa tertekan dan frustasi sehingga seringkali persoalan ekonomi menjadi pemicu bunuh diri, pertengkaran, dan kekerasan dalam rumah tangga.

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat, hampir 60 persen kekerasan yang terjadi terhadap perempuan terjadi di dalam rumah tangga. Sebagaian besar kasus kekerasan dalam rumah tangga dipicu oleh persoalan ekonomi.

Ketika harga kebutuhan dasar rakyat terus merangkak naik, yang merupakan hasil kebijakan Pemerintah, suara dan jeritan perempuan masih belum didengar. Perempuan belum diberi ruang dan peran utama dalam merumuskan kebijakan, perempuan masih ditempatkan pada posisi kelas kedua dalam masyarakat, hanya sebagai penunjang bukan yang utama. Kemudian masih kuatnya anggapan patriarkal yang memenjarakan perempuan atas nama domestifikasi, bahwa tugas perempuan adalah mengurus rumah tangga, termasuk urusan dapur. Padahal kenaikan harga kebutuhan dasar paling memukul kaum perempuan.

Melihat dampak dari kebijakan pemerintah yang merupakan kebijakan politik, maka penting partisipasi dan keterlibatan perempuan dalam Politik. Selama ini rakyat selalu jadi objek politik dengan sekedar memanfaatkan suara mereka di pentas pemilu. Rakyat tidak pernah diberi kesempatan besar untuk ikut dalam merumuskan nasib dan kehidupannya ketika hajatan pemilu digelar.

Dalam beberapa periode pemilihan legislatif dan kepala daerah, belum pernah ada keterlibatan perempuan dalam merumuskan program dan melibatkan perempuan secara aktif dalam aktifitas politik menjelang Pemilu.

Perempuan hanya dijadikan obyek oleh Partai-partai politik untuk memenuhi persyaratan perundang-undangan terkait kuota 30 persen keterwakilan perempuan dalam daftar calon anggota legislatif. Tidak ada upaya Partai politik untuk memberikan ruang yang luas berpolitik dan memajukan kesadaran kadernya serta mendukung penuh khususnya kaum perempuan untuk bisa bersaing dengan calon anggota legislatif laki-laki terutama dalam hal gagasan dan ide. Padahal, yang paling merasakan dampak kebijakan politik yang diambil oleh pemerintah adalah kaum perempuan. Kondisi inilah yang turut mendepolitisasi kesadaran rakyat, khususnya perempuan, sehingga semakin sulit untuk diajak berkorban dalam perjuangan politik yang sangat menentukan nasibnya sendiri.

Pemilu bagi rakyat diartikulasikan hanya sebagai hajatan elit politik dan bukan hajatan rakyat. Situasi inilah yang mengharuskan bagi kita untuk melahirkan tradisi baru di dalam pemilu dengan menjadikan rakyat sebagai subjek (protagonis) politik sehingga tujuan pemilu sebagai momentum perubahan terasa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tradisi baru ini harus bisa menjadi magnet politik yang sanggup menggalang dukungan luas dan mengerakkan harapan dan memperoleh mandat rakyat. Sehingga kesadaran kaum perempuan untuk terlibat aktif dalam aktifitas politik penting dan harus tumbuh menjadi kekuatan dalam merubah nasibnya, karena kaum perempuan mampu memikirkan urusan dari dapur hingga Negara.

Fransiska Wung Lawing, SH, M.Si, Ketua Umum Pengurus Pusat Naluri Perempuan Setara (NAPAS)

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid