Peristiwa 1965: Tak Hanya PKI, Soekarnois Pun Turut Dibantai

Huru hara politik berujung pada tragedi Hak Azazi Manusia pada tahun 1965 lalu memang menyisakan getir yang cukup mendalam. Pasalnya, tak kurang dari 3 juta darah rakyat Indonesia menjadi korban pembunuhan massal pada kurun waktu tersebut. Tak hanya mereka yang anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), para pengikut Presiden Soekarno pun juga ikut harus kehilangan nyawa.

Fakta tersebut terungkap dari buku Nasib Para Soekarnois: Kisah Penculikan Gubernur Bali, Sutedja, 1966 yang ditulis oleh Aju. Kata dia, setidaknya ada 3 gubernur yang menjadi korban dari TNI AD pada saat itu. Diantarnya Gubernur Bali, Kalbar, dan Sumbar. “Gubernur Bali hilang dijemput empat pria berseragam TNI-AD dari kediamanannya di Kompleks Senayan pada tanggal 29 Juli 1966,” ujarnya, dalam diskusi yang diadakan di kantor YLBHI, Jakarta, Kamis (1/10).

Sebelum dijemput, kata Aju, pembantaian terhadap mereka yang dianggap komunis sudah dilakukan di Bali. Hal inilah yang melatarbelakangi Soekarno memanggil Sutedja untuk datang ke Jakarta, pada 1 Desember 1965. Selain itu, kondisi internal Partai Nasionalis Indonesia (PNI) Bali memang sedang tidak sehat. Aju mengatakan Sutedja sudah lama mendapatkan tentangan dari kubu I Nyoman Mantik dan Wedastera.

Untuk diketahui, pertentangan itu muncul karena Sutedja ditunjuk oleh Presiden Soekarno untuk memimpin Provinsi Bali. Hal ini lantaran keturunan darah biru itu terkenal cerdas dan dekat dengan pemerintah pusat. Beberapa programnya pun seiring dengan pemerintah pusat saat menjadi Kepala Daerah Provinsi Sunda Kecil (Nusa Tenggara).

Jabatan Gubernur Bali sendiri sebenarnya dimenangkan oleh I Nyoman Mantik. Dimana, pada tahun 1958, ia berhasil mengalahkan Sutedja dalam sidang paripurna DPR-GR (Dati) I Bali. Karena yang dipilih akhirnya Sutedja, ia bersama dengan Wedastera yang juga anggota DPR-GR melakukan perlawanan secara terang-terangan.

Bahkan, pada saat pembantaian, adik Wedastera yang bernama Widagda bertindak sebagai algojo yang paling menakutkan dan aktor penting di balik pengrusakan dan pembunuhan keluarga keraton Puri Agung Negara Djembrana. Selama kerusuhan berlangsung, Widagda yang akhirnya divonis 3 tahun penjara itu, bisa dengan bebas menzinahi secara paksa perempuan-perempuan cantik yang dituding PKI.

Namun yang paling penting dari penumpasan PKI dan Soekarnois kala itu yakni berubahnya haluan negara. Pasalnya, Pemerintahan Soeharto mengekuarkan TAP MPR yang membubarkan PKI sekaligus melarang ajaran Soekarno. Pancasila yang bernafas sosialis, kata Aju berubah total menjadi sangat liberal.

“Saat ini, perlu gerakan motal agar Pancasila Sosialis kembali,” kata Aju. Sosialis di Indonesia sendiri menurut Aju berbeda dengan apa yang ada di negara lain. Misalnya penyesuaian pada sila pertama.

Dari sini, Aju menyimpulkan, tragedi itu tak hanya di-desaign oleh TNI-AD saja. Tapi imperialisme Amerika dan Inggris adalah dalang utama dari kejadian tersebut. Hal ini diketahui dari terbongkarnya data rahasia operasi intelejen Central Intelligence Agency (CIA). Dimana, kekuatan impereialis terus berupaya mensabotase pemerintahan revolusioner Bung Karno.

“Rakyat Indonesia korban adu domba imperialisme,” tegasnya.

Senada, I Gusti Anom Astika dari Majalah Prisma mengakui kerusuhan pada saat itu memang tidak hanya mengakibatkan tewasnya anggota PKI saja. Sebab, acara yang dilaksanakan oleh partai berlambang palu arit itu memang selalu meriah dan ramai. Bisa saja, kata Anom, para penari itu akhirnya juga ikut dibantai.

“Uniknya, selain pembantaian sadis, adapula pembantaian dengan upacara adat,” ujarnya.

Tak hanya itu, orang yang paling banyak dibunuhi di Bali adalah guru. Padahal, kata dia, Indonesia saat itu kekurangan 60 ribu guru. Selain itu, pegawai negeri, pengusaha, petani, dan seniman desa juga ikut jadi korban. “Dari pembunuhan tersebut banyak desa di Bali yang hilang,” tukasnya.

Sementara itu, Komisioner Komnas HAM Imdadun Rahmat menilai buku karya Aju ini bisa menjadi satu temuan baru dari sumber sejarah yang lebih luas. Pasalnya, sejarah yang berkembang selama ini seragam atau diseragamkan oleh pemerintahan Orde Baru. Bahkan, orang dibungkam untuk menyampaikan sejarah yang benar.

“Selama ini yang kita tahu PKI itu pemberontak, penghianat bangsa, oleh karena itu negara dalam hal ini tentara sah untuk menumpas mereka. Dan semua korban adalah PKI,” ujarnya. Melalui fakta yang lebih luas, penyeragaman ini salah.

Ia mengakui selama ini terjadi maju mundur dalam penyelidikan beberapa kasus pelanggaran HAM, termasuk tragedi 1965. Memang, sudah ada beberapa upaya dari Komnas HAM agar Jaksa Agung terbuka dengan masalah ini. Kesepakatan Tim Gabungan yang dibuat oleh Komnas HAM dan Kejagung juga hingga hari ini tidak jelas.

Namun, Presiden Jokowi memberikan angin segar. Dimana, mantan Gubernur Jakarta itu berjanji akan menjadikan pelanggaran HAM sebagai program penting untuk dijalankan. Karena janji ini, Komnas HAM akan mengupayakan konsensus bersama dengan menemui beberapa lembaga agar Presiden percaya diri dalam mengambil keputusan tersebut.

“Kita sowan juga ke PBNU, Muhammadiyah, dan lainnya agar mendapatkan support politik dari publik Indonesia. Supaya Presiden confident melawan angin dari seberang,” ujarnya.

Dalam kesempatan itu, ia pun membantah jika para korban terlalu muluk-muluk menuntut. Sebab, kata Imdadun, saat ini disebarkan isu jika para korban meminta kompensasi yang akan membuat negara Indonesia bangkrut. Padahal, korban hanya membutuhkan rehabilitasi nama baik dan dikembalikannya hak politik.

“Jikapun ada kompensasi maka para korban tidak mau itu dianggap sedekah. Tapi kalau sebagai penebusan dosa negara baru diterima,” ujar dia.

Imdadun sendiri mengaku optimis masalah ini akan selasai sekira tahun 2017-2018. Memang, tuntutan saat ini tidak ideal. Dimana, negara hanya harus menyatakan menyesal terhadap kejadian tersebut. Selain itu akan ada  komisi di bawah presiden yang berfungsi sebagai pengungkapan kebenaran.

“Kami mendapatkan cercaan dari cara lunak seperti ini. Mereka mendorong agar Komnas HAM mendorong ini ke pengadilan HAM,” katanya.

Pembicara lain, Nursjahbani Katjasungkana dari International People’s Tribunal (IPT) 1965 mengatakan memang sudah terungkap fakta bahwa sejarah yang dituliskan selama ini tidak benar. Hal ini bisa dilihat dari film Jagal yang dibuat oleh Joshua Oppenheimer. Namun sayang, menurutnya, negara masih belum tampak serius untuk menyelesaikan kasus ini.

Karena itu, IPT meminta agar negara bertanggung jawab terhadap pembuhunan massal, kekerasan seksual, perbudakan, penyiksaan, dan pembinasaan rakyat yang tidak bersalah pada saat itu. Selain juga, pada sekitar 12 ribu orang yang ditahan terkait peristiwa 30 September 1965 di Pulau Buru tanpa kejelasan.

“Bahkan, mereka ditahan di sana selama 14 tahun tanpa menjalani pemeriksaan dan proses persidangan,” imbuhnya.

Ia melanjutkan, ada dua rekomendasi yang juga diajukan untuk penuntasan kasus ini. Melalui jalan yudisial (melalui proses persidangan dan dakwaan pidana) dan non-yudisial. Kalau data soal peristiwa-peristiwa yang terjadi pada 1965 cukup, rekonsiliasi bisa dilakukan secara simultan melalui yudisial.

“Tetapi, kalau tidak ada kemampuan untuk melakukan investigasi soal peristiwa 1965, rekonsiliasi bisa melalui proses non-yudisial,” tambahnya.

Sebelumnya, Putra Sutedja, AAGAB Sutedja, mengakui saat pemerintahan beralih ke masa Orde Baru (orba), simpatisan Soekarno di Bali hilang diculik dan dibunuh, termasuk ayahnya sendiri yang saat itu menjabat Gubernur Bali. Padahal, menurutnya, kepemimpinan ayahnya saat tida tidak bersalah apapun terhadap rakyat Bali. Hanya karena ia seorang Soekarnois.

“Jika bersalah selama kepemimpinannya, maka seluruh rakyat Bali akan mendiskriminasikannya dan seluruh keluarganya. Justru sebaliknya, saat Gubernur Bali AAB Sutedja dinyatakan hilang, warga Bali berbondong-bondong mendatangi rumah kediaman untuk turut larut berduka,” pungkasnya.

Sedangkan Anggota DPR Ribka Tjiptaning yang ikut hadir dalam diskusi tersebut mengungkapkan diskriminasi terhadap PKI dan keluarganya hingga saat ini masih terjadi. Misalnya, saat ia mengusulkan rumah sakit tanpa kelas. Usulan tersebut ditolak lantaran dianggap menggunakan bahasa khas partai pimpinan DN Aidit.

“Di keseharian juga masih ada. Tapi mereka (yang mendiskriminasi) itu memang tidak tidak terang-terangan. Dibelakang,” katanya.

Ia pun mengakui jika partainya, PDIP, meskipun sudah menjadi partai penguasa belum punya upaya untuk menghapuskan diskriminasi tersebut. Karena itu, ia enggan dianggap sebagai politisi partai berlambang banteng pada forum itu. “Saya hadir sebagai korban saja. Karena saya bangga jadi anak PKI,” tegasnya.

Menurutnya, Presiden Joko Widodo tidak perlu meminta maaf kepada korban pembantaian pada tahun 1965. Sebab, keluarga korban pembantaian di akhir masa orde lama hingga awal orde baru itu, hanya ingin sejarah yang terkait mereka diluruskan. “Tidak perlu Jokowi minta maaf, kami hanya ingin sejarah tentang peristiwa 65 diluruskan supaya terungkap kebenarannya,” kata dia.

Tedi CHO

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid