Partai Politik Dewasa Ini

Dinamika politik Indonesia saat ini sangat mirip dengan judul lagu “Bertemu Untuk Berpisah”. Pada tanggal 14 Maret 2012, seluruh anggota partai koalisi berkumpul di Cikeas, tempat kediaman Presiden SBY. Pertemuan itu hendak “membriefing” anggota koalisi agar satu suara dalam mendukung kenaikan harga BBM.

Beberapa hari menjelang Sidang Paripurna DPR, sejumlah partai koalisi—khususnya Golkar dan PKS—mulai bermanuver. Dan, pada saat Sidang Paripurna berlangsung, PKS telah meloncat keluar pagar. Partai dakwah itu mengambil posisi menolak kenaikan harga BBM. Koalisi partai pendukung pemerintah pun “goyah”.

Banyak yang menyebut manuver politik PKS itu sebagai politik “kutu loncat”. Sebagian lagi menganggap fenomena itu sebagai bukti mogoknya sistem presidensil. Bayangkan, proposal Presiden kandas di tangan parlemen. Akibatnya, pemerintahan tidak bisa berjalan secara efektif dan stabil.

Menurut kami, masalahnya ada di sistem kepartaian kita. Partai politik di Indonesia tidak digerakkan oleh ideologi, tidak mengakar ke massa, dan sistim pengelolaannya tidak berbasis organisasi modern. Jadinya, sistem apapun yang mau diterapkan, baik parlementer maupun presidensil, tetap akan mengalami kemacetan dan tidak efisien. Sebab, penopang utama sistim politik kita, yaitu parpol, memang tidak bisa berfungsi sebagai parpol sebagaimana mestinya.

Coba lihat ideologi parpol di Indonesia saat ini. Ideologi sekedar hanya jadi embel-embel untuk melengkapi AD/ART. Lalu, ketika partai beroperasi di arena politik, maka panglimanya adalah uang dan kekuasaan. Sedangkan pijakan ideologi mereka adalah pragmatisme.

Lihat saja partai Demokrat yang berazaskan Nasionalis-Religius. Jika Demokrat konsisten pada azas ini, maka seharusnya partai binaan SBY ini berposisi menentang imperialisme, anti-korupsi dan mendukung egalitarianisme. Akan tetapi, pada kenyataannya, partai ini sangat ultra-neoliberal dan korup.

Lebih aneh lagi dengan PKS, sebuah partai yang berusaha merangkum islam dan populisme. Akan tetapi, anehnya, partai ini memaksakan diri masuk dalam koalisi neoliberal. Yang terjadi adalah pragmatisme. Di satu sisi, PKS ingin mengambil keuntungan dengan masuk dalam kekuasaan. Tetapi pada sisi yang lain, ketika ada kebijakan pemerintah yang kurang populis, PKS mengambil peran sebagai kekuatan oposisi.

Pada umumnya, partai politik tidak menjalankan kaderisasi dan perekrutan sebagai jalan memperluas basis konstituen. Akibatnya, guna memenangkan suara atau dukungan rakyat, mereka mengandalkan kekuasaan dan uang. Ini yang membuat hampir tidak ada partai yang mau melakoni “oposisi” secara konsisten.

Selain itu, pemahaman orang tentang parpol sudah bergeser: orang tidak lagi menganggap parpol sebagai sarana memperjuangkan cita-cita politik, melainkan sebagai sarana mencari jabatan dan uang. Ini pula yang membuat orang bisa keluar-masuk partai sesukanya.

Fenomena parpol semacam ini tidak sehat. Rakyat selamanya tidak akan dibuat berdaya secara politik. Sebab, partai hanya menempatkan rakyat sebagai objek politik atau sarana mencapai kepentingan partai. Sedangkan suara rakyat, yang seharusnya diperjuangkan oleh partai, tidak pernah terartikulasikan.

Hancurnya sistem kepartaian makin terasa di alam demokrasi liberal. Politik tidak lagi dipandang sebagai sarana atau seni mengelola kekuasaan demi kepentingan rakyat, tetapi sudah tersubordinasi di bawah disiplin pasar dan logika profit. Parpol pun bisa diperjual-belikan tak ubahnya komoditas.

Sekarang ini, logika profit sudah menjadi panglima dan ideologi—seperti balon warna-warni yang dijual bebas itu—tak lebih sebagai daya-penarik dagangan saja. Akhirnya, ideologi nasionalis-religius, misalnya, tak ubahnya zat pewarna makanan: sekedar pewarna panganan agar menarik pembeli. Menyedihkan!

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid