Membangkitkan Nasionalisme: Hari dulu, hari sekarang, hari kemudian
Dan caranya menyuburkan nasionalisme itu? Jalannya menghidupkannya? Jalannya adalah tiga:
-
Pertama: kami menunjukkan kepada rakyat, bahwa ia punya hari dulu, adalah hari dulu yang indah;
Kedua: kami menambah keinsafan rakyat, bahwa ia punya hari sekarang, adalah hari sekarang yang gelap;
Ketiga: Kami memperlihatkan kepada rakyat sinarnya hari kemudian yang berseri-seri dan terang cuaca, beserta cara-caranya mendatangkan hari kemudian yang penuh dengan janji-janji itu.
Dengan lain perkataan, PNI membangkitkan dan menghidupkan keinsafan rakyat akan ia punya “masa silam yang indah”, “masa yang gelap gulita” dan; “janji-janji suatu masa depan yang melambai-lambai, berseri-seri”. PNI mengetahui, bahwa hanya trimurti inilah yang akan bisa menjadikan kembang Jayakusuma yang menghidupkan kembali nasionalisme rakyat yang layu.
Kami punya hari dulu yang indah, kami punya masa silam yang gemilang! Ah, Tuan-tuan Hakim, siapakah orang Indonesia yang tidak mengeluh hatinya, kalau mendengarkan cerita tentang keindahan itu, siapakah yang tidak menyesalkan hilangnya kebesaran-kebesarannya! Siapakah orang Indonesia yang tidak hidup semangat nasionalnya, kalau mendengarkan riwayat tentang kebesaran kerajaan Melayu dan Sriwijaya, tentang kebesaran Mataram yang pertama, kebesaran zaman Sindok dan Erlangga dan Kediri dan Singasari dan Majapahit dan Pajajaran, – kebesaran pula dari Bintara, Banten dan Mataram kedua di bawah Sultan Agung! Siapakah orang Indonesia yang tak mengeluh hatinya kalau ia ingat akan benderanya yang dulu ditemukan dan dihormati orang sampai di Madagaskar, di Persia dan di Tiongkok! Tetapi sebaliknya, siapakah tidak hidup harapannya dan kepercayaannya, bahwa rakyat yang demikian kebesarannya hari dulu itu, pasti cukup kekuatan untuk mendatangkan hari kemudian yang indah pula, pasti masih juga mempunyai kebiasaan-kebiasaan menaik lagi di atas tingkat kebesaran di kelak kemudian hari? Siapakah yang tidak seolah-olah mendapat nyawa baru dan tenaga baru, kalau ia membaca riwayat zaman dulu itu! Begitulah pula rakyat, dengan mengetahui kebesaran hari dulu itu, lantas hiduplah rasa nasionalnya, lantas menyala lagilah api harapan di dalam hatinya, dan lantas mendapat lagilah rakyat itu nyawa baru dan tenaga baru oleh karenanya.
O, memang, zaman dulu zaman feodal, zaman sekarang zaman modern. Kami bukan mau menghidupkan lagi zaman feodal itu; kami bukan pula mufakat dan cinta kepada aturan-aturan feodal itu. Kami mengetahui kejelekan-kejelekannya bagi rakyat. Kami hanyalah menunjukkan kepada rakyat, bahwa feodalisme kami hari dulu itu adalah feodalisme yang hidup, feodalisme yang tidak sakit-sakitan, feodalisme yang sehat dan bukan feodalisme yang penyakitann, – feodalisme yang penuh dengan kemungkinan-kemungkinan berkembang dan yang, umpamanya tidak diganggu hidupnya oleh imperialisme asing, niscaya bisa “meneruskan perjalanannya”, bisa “menyelesaikan evolusinya”, yakni niscaya bisa hamil dan akhirnya melahirkan suatu pergaulan hidup modern yang sehat pula![1]
Tetapi bagaimana pergaulan hidup kami hari sekarang ini? Bukan sehat, bukan penuh dengan kemungkinan-kemungkinan berkembang, tetapi sakit-sakitan, “kosong”. Pada permulaan, tatkala kami menggambarkan nasib rakyat Indonesia pada masa ini, tatkala kami menceritakan caranya imperialisme mengobrak-abrik pergaulan hidup kami itu, maka Tuan-tuan sudah mendapat sedikit pemandangan tentang keadaan hari sekarang itu, maka tuan-tuan sudah mendapat sedikit pemandangan tentang keadaan hari sekarang itu. Berhubung dengan sempitnya waktu, cukuplah sekian saja, tak perlulah kami tambah-tambahi. Tetapi perlu sekalilah kami terangkan di sini, bahwa keinsafan akan jeleknya nasib hari sekarang inilah yang paling menghidupkan rasa nasional rakyat.
Memang bukan saja bagi rakyat kami, tetapi bagi tiap-tiap rakyat lain dan tiap-tiap manusia, tiap-tiap makhluk yang bernyawa, pengetahuan akan suatu nasib yang jelek adalah sumber keinginan akan nasib yang lebih nyaman baginya. Tidak ada keinginan, tidak ada harapan, tidak ada nafsu, kalau tidak ada rasa tak puas dengan keadaan yang ada.
Itulah sebabnya, maka tiap-tiap perkumpulan atau tiap-tiap surat kabar di tiap-tiap negeri dan di tiap-tiap zaman, suka sekali “membongkar keadaan”, yakni suka sekali membeber-beberkan keadaan-keadaan yang ia tidak sukai. Jikalau AID de Preangerbode mengamuk perkara politik pemerintah sekarang atau perperkara pergerakan rakyat yang ia takuti, jikalau PEB geger membicarakan bahaya yang mengancam kepentingan imperialisme, jikalau Vaderlandsche Club memaki-maki ke kanan dan ke kiri, maka semua itu adalah oleh karena mereka tak senang akan keadaan sekarang dan oleh karena mereka dengan menyiarkan mereka punya ketidakpuasan atau ketidaksenangan itu, bermaksud membangunkan atau mengeraskan lagi keinginan, harapan, nafsu kaumnya akan keadaan yang lebih nyaman baginya. Begitu pula PSI, Budi Utomo, Pasundan dan perkumpulan atau surat kabar Indonesia mana pun juga, dengan mereka punya propaganda atau protes-protes tak lain daripada bermaksud menyebarkan mereka punya ketidaksenangan dan membesarkan lagi keinginan dan nafsu mereka punya kaum.
Nah, kalau PNI lebih menginsafkan lagi rakyat Indonesia akan kepahitan nasibnya hari sekarang itu, maka ia tak lain-pula dari bermaksud memperkeraskan lagi keinginan dan harapan rakyat itu akan keadaan-keadaan yang lebih layak. PNI mengetahui, bahwa keinginan dan harapan inilah yang menjadi pendorong nafsu berusaha, pendorong “nafsu mendirikan”, pendorong “nafsu mengadakan”. PNI mengerti, bahwa makin mendalam keinsafan rakyat akan getirnya nasib hari sekarang itu, membikin pula makin rajin dan makin maunya rakyat berusaha membanting tulang dan memeras tenaga untuk terkabulnya kesanggupan-kesanggupan hari kemudian yang indah itu, – mengerti, bahwa makin merasuk keinsafan akan perihnya hari sekarang itu di dalam daging dan sumsum rakyat, membikin lebih hidupnya rasa nasional, lebih berkobar-kobarnya nasionalisme positif yang memang sudah menyala!
Orang boleh menamakan ini menyebarkan “ketidaksenangan”, orang boleh menamakan ini “membikin pahit hati dan dendam hati pada rakyat”, orang boleh mengatakan kami penghasut, pembakar nafsu, ophitser, opruier – kami menjawab: apa bedanya perbuatan kami itu sebagai tadi kami terangkan, dengan perbuatan AID dna VC dan PEB dalam hakikatnya, apa bedanya dengan perbuatan PSI, BU, Pasundan dan lain-lain? Lagi pula: kami tidak pernah meninggalkan obyektifitas, kami tidak menyebarkan yang dinamakan “ketidaksenangan” itu untuk “ketidaksenangan”, kami tidak “membikin pahit hati dan dendam” untuk membangkitkan rasa kebencian dan rasa kedengkian atau nafsu-nafsu lain yang rendah, – kami menyebarkan yang dinamakan “ketidaksenangan” itu hanyalah untuk lebih menghidupkan dan lebih mengeraskan lagi keinginan rakyat akan keadaan yang lebih nyaman, lebih membesarkan kemuannya berusaha, lebih menyuburkan nasionalisme positif adanya. , ‘
-
Kami di sini ingat akan pidato Dr. Sun Yat Sen yang berkata: “Jikalau keadaan yang tadi saya gambarkan itu….benar, maka haruslah kita menanam di dalam ingatan kita, bagaimana berbahayanya kedudukan kita sekarang ini dan betapa gentingnya waktu yang sekarang kita jalani, barulah kita bisa mengetahui, bagaimana caranya menghidupkan kembali nasionalisme kita yang telah padam itu.” “jikalau kita mencoba menghidupkan kembali dengan tidak mengerti betul keadaan, maka akan hilangla segala harapan buat selama-lamanya dan bangsa Tionghoa akan binasa.” “kita sendiri harus mengetahui dulu keadaan-keadaan, kita harus mengerti bahwa bencana-bencana ini sangat mengancam, kita harus mendengungkannya ke mana-mana sehingga tiap orang menjadi insaf betapa besar kesedihan kita, jikalau bangsa kita sampai jatuh”.
-
“Apabila kita hendak mengobarkan nasionalisme, maka haruslah lebih dulu kita insafkan bangsa kita yang 400 juta itu, bahwa saat matinya sudah dekat!”[2]
Artinya: membikin rakyat insaf akan keadaannya yang sengsara itu, agar supaya nasionalismenya bangun dan ia mau bergerak, – itulah pengajaran pemimpin besar ini. Itulah yang kami kerjakan pula.
Ketidaksenangan yang memang ketidaksenangan, bukanlah bikinan kami; ketidaksenangan yang tulen dan asli itu, adalah bikinan imperialisme sendiri!
Tuan-tuan Hakim yang terhormat, begitulah bagian yang pertama dan bagian yang kedua dari usaha PNI menyuburkan semangat nasional itu: membangunkan keinsafan akan hari dulu dan hari sekarang. Tentang bagian yang ketiga, yakni bagian menunjukkan keindahan sinar hari kemudian beserta cara-cara mencapainya, tentang bagian yang ketiga itu, kami, juga oleh sempitnya tempo, tak usahlah panjang kata: sebab, segenap usaha PNI akan pembentukan kekuasaan, segenap aksi PNI keluar dan ke dalam, segenap gerak-bangkitnya, ya, segenap jiwa raganya PNI, adalah cara-cara mendatangakan dan melaksanakan kesanggupan-kesanggupan hari kemudian itu. Dan akan bisanya rakyat Indonesia mencapainya, buat kami kaum PNI bukanlah teka-teki lagi: rakyat Indonesia yang dahulu begitu bersinar-sinar dan tinggi kebesarannya, meskipun sekarang sudah hampir sebagai bangkai, rakyat Indonesia itu pasti cukup kekuatan dan cukup kebisaan mendirikan gedung kebesaran pula di kelak kemudian hari, pasti bisa menaiki lagi ketinggian tingkat derajatnya yang sediakala, ya, melebihi lagi ketinggian tingakat itu!
-
Tetapi wujudnya hari kemudian?
Bagaimana wujudnya hari demikian itu?
Tidak ada satu manusia yang bisa menggambarkan hari kemudian dengan seksama. Tidak ada satu manusia yang bisa menetukan lebih dulu wujud hari kemudian menurut kemauannya. Tidak ada satu manusia yang bisa mendahului riwayat. Kita hanya bisa menetapkan ancer-ancerannya saja, kita hanya bisa mempelajari tendensinya. Misalnya kaum Marxis pun tak bisa menunjukkan wujudnya pergaulan hidup sosialistis dengan saksama, melainkan juga hanyalah bisa mengetahui garis-garisnya yang besar dan tendensnya belaka. Hari kemudian Indonesia kini hanyalah tampak sinarnya saja yang indah sebagai sinar fajar yang akan menyingsing, hanyalah kedengaran janji-janjinya saja sebagai merdunya gamelan pada malam terang bulan yang kedengaran dari jauhan. Sebagai di dalam cerita wayang sebelum ksatria Dananjaya datang, kita lebih dulu sudah melihat sinar tejanya dan sudah mendengar nyanyian burung-burung yang mengantarkan dan mengikutinya, – begitulah pula datangnya hari kemudian yang indah itu kini sudah dialamatkan lebih dulu kepada kita, yang menunggu-nunggunya dengan hati yang mengharap-harap. Kita sudah mendengar janji-janjinya akan rezeki berjuta-juta yang tidak diangkuti ke negeri lain, akan peri kehidupan rakyat yang karena itu, senang dan selamat, akan keadaan sosial yang sesuai dan memenuhi kebutuhannya, akan susunan hidup politik yang secara kerakyatan longgar, akan kemajuan seni, ilmu kebudayaan yang tak teralang-alang. Kita dengar janjinya akan datang suatu Republik Indonesia Serikat, yang hidup di dalam persobatan dan kehormatan dengan bangsa-bangsa lain, akan suatu bendera Indonesia yang menghiasi angkasa Timur. Kita mendengar janjinya akan suatu bangsa yang teguh dan sehat, ke luar dan ke dalam….
[1] Untuk mengerti kalimat-kalimat ini, orang harus ingat, pergaulan hidup itu “tidak diam”. Tetapi senantiasa hidup, senantiasa maju, senantiasa ber-evolusi.
[2] Dalam buku “San Min Chu I”.