Masyarakat kampung naga merupakan masyarakat adat yang berlandaskan sinkretisme ajaran Islam dengan adat istiadat Sunda Buhun. Mereka berdomisili di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Konon masyarakat Kampung Naga adalah keturunan Sembah Dalem Singaparana, putra dari raja Galunggung yang ke tujuh, Prabu Rajadipuntang. Prabu Rajadipuntang sendiri menjadi raja Galunggung yang terakhir sebelum akhirnya ditaklukan oleh Kerajaan Pajajaran yang kala itu diperintah oleh Prabu Surawisesa (1535-1543). Pasca dikalahkan Pajajaran, Prabu Rajadipuntang memerintahkan Sembah Dalem Singaparana untuk mengungsi serta membawa harta pusaka kerajaan. Sembah Dalem Singaparana beserta beberapa kerabat dan rakyat Galunggung pun mengungsi ke wilayah Desa Neglasari. Merekalah yang diyakini sebagai leluhur masyarakat adat kampung Naga kini.
Pengelolaan Lingkungan
Secara geografis, Kampung Naga terletak didaerah perbukitan yang dilalui aliran sungai Ciwulan. Di sebelah timur pemukiman masyarakat, terdapat sebuah hutan yang diyakini oleh penduduk Kampung Naga sebagai tempat para dedemit (roh jahat) dan sangat terlarang bagi manusia untuk memasuki hutan tersebut. Karena itu hutan yang dipenuhi oleh pohon-pohon tua tersebut dinamakan Leuweung Larangan.
Sementara dibagian barat kampung Naga, ada areal hutan yang menjadi tempat pemakaman para leluhur masyarakat Kampung Naga. Hutan itu dinamakan Leuweung Keramat. Pada momen-momen tertentu, seperti menjelang bulan suci Ramadhan, Leuweung Keramat kerap diziarahi penduduk kampung Naga.
Diantara Leweung Larangan dan Leuweung Keramat itulah masyarakat Kampung Naga membangun permukiman dan berbagai aktivitas kehidupan lainnya. Guna menyokong kelancaran kehidupan sehari-hari, masyarakat Kampung Naga mendirikan bale pertemuan sebagai tempat musyawarah dan berdiskusi untuk mencari solusi dari berbagai problem kehidupan yang muncul di kampung Naga. Tradisi musyawarah yang menjadi inti dari demokrasi Indonesia (sosio-demokrasi) pada dasarnya telah dipraktikkan masyarakat Kampung Naga selama ratusan tahun. Selain itu, masyarakat kampung Naga juga memiliki sistem logistik yang baik demi menunjang ketahanan pangan dengan mendirikan leuit dan saung lisung sebagai tempat penyimpanan dan pengolahan padi secara kolektif.
Secara kosmologis, pusat dari seluruh kegiatan kehidupan fana di kampung Naga ialah Bumi Ageung yang merupakan tempat penyimpanan harta pusaka kerajaan Galunggung. Sebagai tambahan, pada tahun 1956 bangunan Bumi Ageung pernah dibakar oleh gerombolan DI/TII pimpinan Kartosuwiryo sehingga banyak pusaka berharga masyarakat Kampung Naga lenyap tak berbekas. Gerombolan DI/TII memang menganggap masyarakat adat kampung Naga sebagai bagian dari umat Islam yang menyimpang atau bid’ah dari ajaran Islam yang sebenarnya.
Disamping pusat kehidupan dunia fana, masyarakat kampung Naga juga memiliki tempat sakral yang merefleksikan dunia adikodrati, yakni Leuweung Keramat. Hutan tempat pemakaman jasad para leluhur itu dipandang sebagai sentral kekuatan baik yang ada di kampung Naga. Berlawanan dengan Leuweung Larangan, yang dipandang sebagai pusat persemayaman kekuatan jahat dan mesti dijauhi oleh manusia.
Bila ditinjau dari perspektif ekologis, sistem kosmologi yang ada pada masyarakat Kampung Naga mencerminkan keterkaitan erat antara strategi pelestarian lingkungan serta kearifan lokal masyarakat kampung Naga. Adanya Leweung Larangan yang tidak boleh dijamah manusia dan dipercaya sebagai tempat para dedemit sejatinya adalah upaya menjaga areal hutan yang berfungsi sebagai daerah resapan air guna menunjang kegiatan pertanian masyarakat Kampung Naga yang berada di sebelah barat Leuweung Larangan.
Pola produksi subsisten penduduk kampung Naga yang membutuhkan pasokan air secara berkelanjutan berdampak pada pelarangan kegiatan manusia di Leuweung Larangan melalui pranata adat yang bernuansa magis-mistik. Kisah mengenai dedemit yang menguasai Leuweung Larangan dapat dilihat sebagai doktrin yang menjadi bagian dari suprastruktur kebudayaan kampung Naga demi menjaga kebersinambungan kehidupan masyarakatnya. Hal lain yang dapat memungkinkan pandangan penduduk kampung Naga mengenai Leuweung Larangan dapat terus direproduksi adalah pola produksi subsisten yang bersahaja dan tidak membutuhkan akumulasi laba yang berlebih. Kondisi ini tercermin dari falsafah hidup mereka yang khas, hirup kudu tungkul ka jukut tanggah ka sadapan.
Perubahan Paradigma
Pengelolaan lingkungan semacam ini terlihat efektif bila dibandingkan dengan institusionalisasi pelestarian lingkungan ala masyarakat industrial-kompleks yang berbasiskan aturan hukum. Namun penulis sama sekali tidak menganjurkan dimunculkan kembali nuansa magis dalam masyarakat kompleks atau modern secara serampangan dalam pengelolaan lingkungan. Situasi masyarakat adat semacam itu cukup dijadikan referensi dan bahan refleksi bagi masyarakat modern yang juga (dalam konteks Indonesia) kental dengan religiusitas agama-agama Semit, namun seakan tunduk pada logika akumulasi kapital di masa neo-liberal saat ini.
Perusakan lingkungan oleh korporasi tambang dan perkebunan asing semakin membabi buta serta seakan memperlihatkan ketidak berdayaan aparatur negara yang (katanya) berlandaskan nilai-nilai luhur ketuhanan dan Pancasila. Sudah saatnya kita merubah haluan dan paradigma dominan kini, yang menganggap alam sebagai ladang profit semata tanpa memikirkan kebersinambungan kehidupan bangsa dalam menapaki dinamika peradaban.
*)Penulis adalah kader GMNI Cabang Sumedang dan alumni Antropologi Unpad
- Fascinated
- Happy
- Sad
- Angry
- Bored
- Afraid