Pandemi Mengubah Wajah Ekonomi Dunia? (Bagian 1)

Hari ini, di tengah pandemi virus korona, umat manusia sedang bertatap muka dengan krisis besar. Bukan saja krisis terbesar sejak berakhirnya perang dunia kedua, bahkan mungkin akan mengubah wajah dunia kita.

Sejarah pernah berpetuah, bukan hanya perjuangan sosial, wabah juga pernah menyumbang andil bagi jalannya perubahan sosial, ekonomi, dan politik. Tak hanya sekali, wabah pernah mengubah wajah dunia.

Pada abad ke-14, wabah hitam atau black death, yang menyebar dari Asia timur hingga Eropa barat, telah merenggut 75 juta nyawa manusia. Tapi, siapa sangka, banyaknya kematian berpengaruh pada corak produksi feodalisme, yang bertumpu pada pertanian dan kerajinan.

Kematian, yang menyasar paling banyak petani dan kaum miskin, memicu pemberontakan petani, seperti pemberontakan petani di Inggris, Perancis (pemberontakan Jacquerie, 1358) dan di Italia (pemberontakan Ciompi, 1378).

Kematian juga menyebabkan berkurangnya jumlah tenaga kerja secara signifikan. Banyak tanah, sumber kekayaan terbesar kala itu, terlantar dan tak bernilai. Sementara tenaga kerja menjadi sesuatu yang mahal.

Di satu sisi, si feodal tetap ngotot dengan gaya pembagian hasil gaya lama. Di sisi lain, kerajinan yang mulai tumbuh di kota menjanjikan upah yang lebih tinggi. Walhasil, banyak petani yang meninggalkan desa menuju ke kota untuk menjemput zaman baru: industri kapitalis.

Lebih jauh, wabah juga merombak cara berpikir. Otoritas dari dunia lama, baik gereja maupun monarki, tak mampu memberi penjelasan terkait penyebab wabah dan cara mengatasinya. Walhasil, orang terpikat pada penjelasan baru: pencerahan alias aufklarung.

Begitulah, secuil kisah dari sejarah, yang mungkin meninggalkan jejak pertanyaan di benak kita: mungkinkah pandemi korona akan mengubah dunia kita? Akankah sejarah akan berulang?

Mungkin tulisan ini tak menyuguhkan jawaban yang komprehensif. Tetapi setidaknya bisa memberi secuil gambaran tentang bayangan wajah ekonomi dunia pasca pandemi.

Kapitalisme Terguncang?

Tahun 1994, ketika menulis puisi Sehari Saja Kawan, Wiji Thukul membayangkan, kalau berjuta-juta buruh mogok kerja, walaupun sehari saja, kapitalisme pasti kelabakan.

Hari ini, kejadiannya melebihi apa yang dibayangkan oleh Thukul. Awal Minggu ini, PBB melaporkan, sebanyak 81 persen pabrik di seluruh dunia, dengan 3,3 milyar pekerja, terganggu oleh pandemi. Bayangkan, 4 dari 5 pekerja di bawah kolong-langit ini tidak lagi ke pabrik. Apa yang terjadi?

Jantung kehidupan kapitalisme adalah: keuntungan alias laba (profit). Jika pelipatgandaan laba ini terhenti, boleh dipastikan sistem ini akan sekarat.

Agar kapital berlipat ganda, kata Michael Lebowitz, ekonom marxis penulis “Beyond Capital” itu, maka kapitalisme tak terpisah antara produksi dan sirkulasi.

Pada ranah produksi itulah tercipta yang disebut “nilai surplus”, yang dihasilkan lewat eksploitasi terhadap tenaga kerja, entah waktu kerjanya atau produktivitasnya. Nilai surplus itu berbentuk komoditi.

Namun, tuan-puan, tujuan akhir kapitalisme bukanlah menghasilkan nilai surplus yang terbungkus dalam komoditi, melainkan laba. Karena itu, ada keharusan untuk mengubah komoditi itu menjadi laba. Itulah yang disebut merealisasikan nilai surplus menjadi profit. Dan untuk itu, kapitalisme butuh sirkulasi: distribusi hingga konsumsi. Singat cerita, komoditi itu harus terjual, agar jadi laba.

Masalahnya, akibat pembatasan sosial untuk mencegah pandemi, kapitalisme terpukul di segala lini, baik di produksi maupun sirkulasi. Ibarat tinju, pukulan straight menghantam kepala, eh pukulan uppercut  menghunjam ulu hati.

Akibat pembatasan sosial, hampir semua aktivitas produksi terganggu. Tidak banyak pekerjaan atau perusahaan yang bisa menerapkan Work from Home (WfH). Terutama pekerjaan yang menuntut kehadiran fisik, seperti manufaktur, konstruksi, retail konvensional, dan transportasi.

Di Amerika Serikat saja, negeri yang ditopang oleh kemajuan teknologi dan internet, baru 24 persen pekerjanya yang bisa melakukan WfH. Di Indonesia, diperkirakan hanya 1,25 persen pekerjaan yang bisa WfH.

Pilihannya, jika tak bisa WfH, hanya mengurangi jam kerja, membatasi jumlah pekerja, atau menghentikan produksi sama sekali. Pada usaha kecil dan menengah, pilihan untuk bertahan lebih sedikit.

Rantai produksi global juga terganggu. Bukan saja karena produksi di masing-masing negara saling terhubung satu sama lain untuk kebutuhan bahan baku, bahan penolong, maupun barang modal, tetapi juga karena kapitalisme sudah memasuki era—meminjam istilah Marta Harnecker—“internasionalisasi proses produksi”, yaitu proses produksi sebuah barang tak lagi terkonsentrasi di satu pabrik/tempat, tetapi bisa tersebar di beberapa pabrik dari berbagai negara.

Proses sirkulasi juga terganggu. Proses sirkulasi sangat terkait dengan konsumsi. Jika orang #dirumahsaja, tidak bepergian, tidak nongkrong, tidak ke mall, tidak berlibur, dan seterusnya, konsumsi pasti berkurang.

Banyak aktivitas dan event-event yang seharusnya mendorong konsumsi, seperti sekolah, beribadah, pertunjukan musik, olahraga, mudik, dan lain-lain, sekarang dibatasi.

Oke, sebagian transaksi bisa berpindah ke daring, tetapi seberapa signifikan? Lagipula, jika situasi ekonomi dianggap gelap, maka orang cenderung menahan konsumsi.   

Jadi, jika produksi dan sirkulasi terhenti, lalu dalam sehari, seminggu, sebulan, atau mungkin berbulan-bulan, tidak ada pelipatgandaan keuntungan, masihkah kapitalisme bisa bernapas dan melanjutkan hidup?

Resesi atau Depresi?

6 April lalu, IMF sudah membunyikan lonceng peringatan: “pandemi covid-19 akan membawa dunia dalam resesi.” Bahkan, katanya, resesi yang mungkin terjadi di tahun 2020 ini akan lebih buruk dari krisis keuangan 2008.

Tapi, tepatkah lonceng peringatan itu? Benarkan dunia hanya akan menghadapi resesi? Jangan-jangan kita sedang di depan pintu gerbang depresi ekonomi. Ya, mirip dengan depresi besar 1929. Orang-orang menyebutnya zaman malaise, sedangkan leluhur Hindia-Belanda kita memplesetkannya menjadi zaman meleset.

Sekali lagi, resesi atau depresi besar?

WTO punya peringatan lebih keras. Menurut lembaga yang bermarkas di Jenewa ini, dunia berpotensi memasuki depresi besar seperti 1929. Indikatornya jelas, perdagangan dunia berpotensi melorot 13-32 persen. Kalau 32 persen, ini sudah mendekati situasi depresi besar 1929.

ILO juga memperingatkan ancaman pengangguran. Lembaga ini menghitung, pandemi akan menghilangkan 6,7 persen jam kerja di seluruh dunia pada kuartal kedua 2020. Hitungannya, angka persen segitu setara dengan 195 juta pekerja.

Di AS saja, negerinya tuan Trump, hanya dalam 3 minggu, pengangguran bertambah 6,6 juta orang. Di Indonesia, menengok data Kemenaker, sudah 1,4 juta orang yang ter-PHK. Bayangkan kalau 2-3 bulan?

Pengandaian resesi dan depresi itu sederhananya begini: kalau tetanggamu kehilangan pekerjaan, itu resesi. Tapi, jika dirimu dan banyak tetanggamu kehilangan pekerja, maka itu depresi.

Dunia kita belum pernah mengalami penguncian ekonomi (lockdown) sebesar ini, dengan cakupan hampir seluruh negara di dunia. Perang dunia I dan II saja tidak menghentikan total aktivitas ekonomi seluruh dunia.

Karena itu, sekarang perdebatannya, seberapa lama ekonomi dunia akan terpukul dan akan pulih kembali?

Beberapa ekonom menghibur diri dengan skenario V-shape . Jadi, jatuh-bangun ekonomi dunia akan seperti gelombang V. Tahun ini turun, tahun depan (2021) akan rebound lagi.

Hari ini, ketika artikel ini akan dituntaskan, IMF merilis proyeksi terbarunya. Tahun 2020 ini, ekonomi dunia diproyeksi akan minus 3 persen. Pertumbuhan ekonomi mayoritas negara di dunia negatif, kecuali Tiongkok (1,2 persen), India (1,9) persen, dan Indonesia (0,5 persen).

Pukulan terberat akan dirasakan oleh negara maju dan Eropa: AS (-5,9), Inggris (-6,5), Jerman (-7,0), Perancis (-7,2), Italia (-9,1), dan Spanyol (-8,0).

Memang proyeksinya agak pahit, tetapi IMF masih mengikuti optimisme skenario V-shape. Asumsi mereka, jika pandemi berhasil diatasi pada paruh kedua 2020, maka pada 2021 ekonomi dunia akan kembali rebound . Ekonomi dunia akan tumbuh 5,8 persen, sedangkan negara-negara maju rata-rata 4 persen.

Namun, persoalannya tidak segampang itu. Pertama, sebelum pandemi, ekonomi dunia memang sudah melambat. Tahun lalu, ekonomi dunia hanya tumbuh 2,3 persen—terendah sejak 2009.

Ekonomi negara maju, seperti AS, Jerman, Jepang, dan Inggris, lebih melambat lagi. AS hanya tumbuh 2,3 persen, Jerman hanya 0,6 persen, Jepang 1,8 persen, sedangkan Inggris 1,4 persen.

Perdagangan dunia juga menurun, dari 2,6 persen (2018) menjadi hanya 1,2 persen (2019). Investasi juga melambat. Banyak negara dililit defisit. Sedangkan utang publik membumbung tinggi.

Kedua, meminjam pendapat Joseph Stiglizt, bahwa krisis sekarang berbeda dengan krisis sebelumnya, baik depresi besar 1929 maupun krisis keuangan 2008. Pada depresi besar 1929, persoalannya adalah jatuhnya permintaan (demand-side), sehingga bisa diatasi dengan stimulus fiskal untuk mendorong permintaan.

Pada krisis sekarang, kata ekonom peraih nobel itu, persoalannya ada di dua sisi sekaligus: sisi pasokan (supply-side) dan sisi permintaan (demand-side). Atau istilah kita, sisi produksi dan sisi sirkulasi kapital.

Karena itu, krisis ini tak bisa diobati hanya dengan mengguyur stimulus fiskal. Apalagi, kalau hanya menyediakan jaring pengaman sosial.

Ketiga, ketika pandemi berakhir, belum tentu ekonomi bekerja seperti semula. Belum tentu semua pabrik beroperasi seperti sedia kala.

Banyak pabrik atau unit usaha, terutama yang berskala kecil dan menengah, tergilas mati oleh pandemi. Begitu pandemi selesai, mereka belum tentu beroperasi lagi.

Kemudian, sebelum pandemi ini, ada sekitar 10-20 persen perusahaan di AS yang beroperasi meskipun pendapatannya tak sanggup menutupi biaya produksi dan utang. Ini yang disebut “perusahaan zombie”.

Kemudian lagi, banyak perusahaan, termasuk di AS dan Eropa, yang terlilit utang. Di AS, hingga November 2019, utang korporasinya mencapai 10 triliun USD atau sekitar 47 persen dari ekonominya.

Ketika banyak usaha menengah dan kecil yang tergilas oleh pandemi, lalu hanya menyisakan perusahaan yang disokong modal besar dan teknologi tinggi, maka ekonomi akan makin terkonsentrasi di segelintir perusahaan/tangan.

Keempat, investasi langsung di berbagai negara tidak akan langsung pulih. Apalagi, seperti dihitung UNCTAD, investasi asing langsung (FDI) global akan amblas sekitar 30-40 persen selama 2020-2021.

Sudah begitu, karena pandemi dan resiko investasi, banyak kapital yang kabur dari negara-negara berkembang. Dalam 2 bulan saja, kata IMF, nilainya mencapai 100 milyar USD.

Jadi, alih-alih membayangkan skenario V-shape, kemungkinan paling realiastis adalah U-shape (ekonomi jatuh, tetapi pemulihannya cukup lama) dan L-shape (ekonomi jatuh, disusul stagnasi ekonomi).

Nouriel Roubini, ekonom yang dijuluki “Dr Doom” (doktor kiamat) lantaran prediksinya yang akurat tentang krisis keuangan 2008, malah mengajukan skenario I-shape , yang berarti ekonomi terjun bebas.

Kalau yang terjadi skenario I-shape, berarti di hadapan kita hanya terbentang pilihan: barbarisme atau tata ekonomi baru.

RUDI HARTONO, Pimred berdikarionline.com


Keterangan: Artikel ini dimuat dalam tiga bagian. Ini adalah bagian pertama dari artikel ini. Terima kasih.

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid