Hari ini, 23 Juli 2011, presiden Palestina Mahmoud Abbas akan mengajukan hak menjadi anggota pada Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ini akan menjadi titik krusial dari ratusan tahun perjuangan rakyat Palestina mengusir kolonialisme; dari sejak kolonialisme Inggris hingga Israel saat ini.
Tetapi perjuangan itu tentu tidak mudah. Sekalipun Palestina sudah mendapat pengakuan dari lebih 130-an negara, tetapi perjuangan itu masih akan berhadapan dengan negara pemegang hak veto. Amerika Serikat, salah satu negara pemegang hak veto itu dan sekaligus sekutu utama Israel, sudah menyatakan sikapnya akan menolak rencana Palestina tersebut.
Ini sangat memalukan dan sekaligus memalukan. Ketika baru saja dilantik sebagai Presiden, Obama telah menjanjikan tata-hubungan baru dengan Timur Tengah, termasuk dalam persoalan Palestina. Tetapi Obama telah mengingkari janji tersebut dan semakin mempertegas dukungannya kepada zionisme.
Amerika menerapkan standar ganda dalam politik luar negerinya: mereka begitu cepat memberi pengakuan kepada “pemerintahan bandit—Dewan Transisi Nasional (TNC)” di Libya. Padahal TNC sendiri tidak pernah dipilih oleh rakyat Libya dan tak satupun eksekutif TNC yang melalui proses pemilihan.
Sementara Palestina, yang sudah lama muncul sebagai sebuah bangsa, telah memenuhi ketentuan hukum formal sebagai negara berdaulat, tetap tidak mendapat pengakuan dari negeri-negeri imperialis dan pendukungnya.
Tetapi, sebagai bagian dari rakyat Indonesia, kami mendukung sikap pemerintah Indonesia yang mendukung kemerdekaan rakyat Palestina. Bahkan dukungan terhadap kemerdekaan dan keanggotaan di PBB sudah dilakukan pemerintah Indonesia sejak era pemerintahan Bung Karno.
Kita harus yakin bahwa dukungan bangsa Indonesia terhadap Palestina tidak semata-mata karena persoalan agama, melainkan karena bangsa Indonesia sejak awal gandrung akan kemerdekaan dan menentang terhadap segala penjajahan. Karena, seperti dikatakan Chavez, persoalan Palestina bukanlah soal agama. Soal Palestina adalah soal politik, yakni kolonialisme dan imperialisme.
Pembukaan UUD 1945 dengan tegas dan jelas mengatakan, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”
Dan, karena semangat gandrung akan kemerdekaan itulah, Indonesia telah menjadi penggagas Konferensi Asia Afrika pada 1955. Kami kira, semangat “Bandung 1955” itulah yang menerangi semangat bangsa Indonesia, juga bangsa-bangsa Asia Afrika dan dunia ketiga lainnya, untuk memerangi kolonialisme dan imperialisme tanpa ampun sedikit pun.
Oleh karena itu, kita juga berharap, bahwa politik luar negeri yang seperti ini—sikap terhadap Palestina—harus juga dilakukan dalam hubungan dengan persoalan luar negeri yang lain. Kita sudah harus berani mengatakan, “kita siap bekerja sama dengan bangsa manapun di dunia, tanpa peduli dengan warna ideologi yang dianutnya. Tetapi kita tidak mau didikte oleh bangsa manapun, sekalipun itu adalah negeri-negeri superpower.”
- Fascinated
- Happy
- Sad
- Angry
- Bored
- Afraid