Oligarki sebagai “Common Enemy”

Tahun 1961, saat berpidato memperingati Hari Pahlawan, Sukarno menitip pesan untuk generasi pelanjut angkatan: “perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri.”

Hari-hari ini, setelah 76 tahun merdeka, Indonesia memang tak lagi berhadapan dengan penjajahan secara fisik. Namun, kita sekarang berhadapan dengan korupsi, kemiskinan, ketimpangan ekonomi, pelanggaran HAM, perusakan lingkungan, dan lain-lain.

Sebagian besar persoalan itu bukan andil orang asing, atau penjajah, melainkan perilaku bangsa sendiri. Koruptornya bangsa sendiri. Pelanggar HAM adalah bangsa sendiri. Aktivitas bisnis yang merusak lingkungan juga sebagian berbendera merah-putih.

Dalam konteks ini, kita perlu menyimak penjelasan Firman Noor, Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dalam diskusi bertajuk “76 Tahun Indonesia Merdeka: Poros Politik Baru Indonesia”, Jumat, 27 Agustus 2021.

Dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Dewan Pimpinan Pusat Partai Rakyat Adil Makmur (DPP PRIMA) itu, Firman Noor mengajukan kesimpulan yang menarik: oligarki sebagai musuh bersama (common enemy) bagi bangsa ini.

Siapa dan mengapa oligarki patut diperlakukan sebagai musuh bersama?

Firman mengartikan oligarki sebagai segelintir orang yang memiliki kekuasaan dan pengaruh untuk menentukan kebijakan dan jalannya pemerintahan.

“Oligarki muncul ketika ada ketergantungan yang tinggi para aktor politik kepada pengusaha,” katanya dalam diskusi tersebut.

Di Indonesia, jejak oligarki bisa ditelusuri sejak rezim Orde Baru. Saat itu, segelintir pengusaha menempel di kekuasaan untuk mendapat fasilitas berbisnis sekaligus perlindungan dari penguasa orba. Jeffrey Winters menyebut mereka oligarki sultanistik.

Para pengusaha ini, yang kerap disebut “kroni Soeharto”, yang menguasai perizinan, penyaluran kredit, pembebasan pajak, hingga kemudahan ekspor. Mereka juga kerap dibantu pembebasan lahan hingga jaminan keamanan dari aparat keamanan resmi.

Sayang sekali, setelah reformasi yang sedikit mengubah wajah politik Indonesia, keberadaan oligarki ini tak banyak terusik. 

Penyebabnya, menurut Firman, para oligark itu punya kemampuan untuk beradaptasi dan memanfaatkan demokrasi Indonesia yang tidak matang. Perkawinan politik dan bisnis terus terjadi hingga hari ini.

Yang berbeda, kalau dulu oligark mengumpul di sekeliling Soeharto, maka sekarang ini mereka lebih tersebar dan terdesentralisasi. Tak sedikit dari mereka yang menjelma sebagai “raja-raja kecil” di daerah.

Bagaimana praktek oligarki berlangsung?

Firman menjelaskan, para oligark berkepentingan untuk memastikan keberlanjutan bisnis, aset, dan kekayaannya. Untuk itu, mereka perlu mengamankan jalur-jalur kepentingan ekonominya dan mencegah kemungkinan redistribusi kekayaan.

“Oligark berkepentingan untuk mengakses kekuasaan, baik secara langsung maupun tidak langsung (menggunakan perantara)” jelasnya. 

Lebih lanjut, Firman memaparkan, para oligark berusaha untuk mempengaruhi tokoh-tokoh, mengintervensi institusi (parpol, media, NGO, dll), mempengaruhi proses-proses politik (pemilu dan Pilkada), hingga mempengaruhi keseluruhan sistim politik.

Dalam konteks politik, menurut dia, praktik oligarki itu terjadi di hampir semua proses politik, mulai dari rekrutmen politik, memastikan mesin politik, mengintervensi pemilihan, membantu konsolidasi kekuasaan, hingga fase penentuan dan implementasi kebijakan politik.

“Intinya, mereka mau menjaga kekuasaan agar ramah pada kepentingan mereka,” tegasnya.

Hal-hal itulah yang memungkinkan oligarki sangat mendominasi politik Indonesia hari-hari ini, dari hulu hingga ke hilir. Dari proses rekrutmen politik hingga penentuan kebijakan politik.

Merujuk pada penelitian Marepus Corner pada 2020, dari 575 anggota DPR periode 2019-2024, sebanyak 318 diantaranya berasal dari latar belakang pengusaha atau pelaku bisnis.

“Jumlah anggota DPR yang pebisnis, dengan naluri saudagarnya, jauh lebih dominan dibanding dengan yang non-pebisnis,” terangnya.

Dari penelitian Marepus Corner juga, hampir semua parpol didominasi oleh legislator berlatar belakang pengusaha. Uniknya, parpol dengan proporsi jumlah legislator pengusaha terbanyak justru dimiliki oleh partai yang kerap mengklaim diri sebagai “partainya wong cilik”, yaitu PDIP. Dari 128 anggota DPR dari PDIP, sebanyak 73 orang berlatar belakang pengusaha.

Penyebab dan Dampak Oligarki

Firman juga menyinggung empat kondisi sosial dan politik yang memungkinkan tumbuh-kembangnya oligarki.

Pertama, disparitas ekonomi yang ditandai oleh kesenjangan ekonomi yang sangat lebar antar segelintir warga negara dan mayoritas yang lainnya.

Mengutip data Jeffrey Winters, hanya 0,0000002 persen dari total penduduk yang menguasai 10 persen produk domestik bruto (PDB) Indonesia.

Kedua, lemahnya pelembagaan institusi demokrasi. Sistem demokrasi yang masih diwarnai oleh patron-klein dan politik uang sangat rentan untuk dimanfaatkan oleh oligarki.

Ketiga, politik berbiaya tinggi (high cost politics) akibat sistem pemilu yang sangat mahal. Politik yang berbiaya tinggi membuat kontestasi politik hanya bisa diikuti oleh mereka yang punya uang atau sumber daya. 

Keempat, lemahnya pemberdayaan masyarakat. Kemiskinan, daya beli yang rendah, pendidikan politik yang rendah, dan tingkat pendidikan yang rendah, juga rentan dimanfaatkan oleh oligarki.

“Masyarakat sebagai watchdog terhadap pemerintahan itu lemah, sehingga jadi lahan subur bagi oligarki,” jelasnya.

Terakhir, penulis buku “Quo Vadis Demokrasi Kita” ini membeberkan dampak oligarki pada sistem demokrasi. Mulai dari demokrasi yang berjalan parsial (sekedar rutinitas-prosedural), tidak mensejahterakan rakyat, dan kecenderungan menguatnya benih-benih anti-demokrasi.

Pada dasarnya, Firman setuju dengan gagasan PRIMA tentang perlunya poros politik anti-oligarki di Indonesia. 

“Poros baru jelas dibutuhkan sebagai sebuah alternatif menuju cita-cita bersama kita sebagai sebuah bangsa, sebagaimana yang termaktub dalam pembukaan Konstitusi kita,” tegasnya.

Menurutnya, dalam memperjuangkan Indonesia tanpa dominasi oligarki, poros baru ini perlu memperjuangkan kesejajaran dan mengikis ketimpangan.

MAHESA DANU

Kredit foto ilustrasi: Adam Maida / Getty / The Atlantic

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid