Negara-Negara ALBA Dukung Solusi Damai Libya

Negara-negara yang tergabung dalam Aliansi Bolivarian untuk Rakyat Amerika Latin (ALBA) mendukung proposal damai Presiden Venezuela, Hugo Chavez, sebagai solusi atas konflik berdarah yang melanda Libya. Pertemuan dilangsungkan di Caracas Jumat (4/3), dihadiri oleh masing-masing Menteri Luar Negeri Venezuela, Ekuador, Bolivia, Kuba, Nikaragua, Antigua, Barbuda, Dominica, St. Vincent, dan Granada.

Sebelumnya, berbeda dari negara-negara lain yang mengecam pemerintahan Khadaffi, Chavez mengusulkan sebuah solusi damai untuk mencegah intervensi militer asing di Libya. Negara Kuba, Nikaragua, Ekuador, dan Venezuela telah lebih dahulu menyatakan menolak segala bentuk intervensi militer terhadap Libya. Sementara Tiongkok dan Rusia, meski turut mendukung sanksi terbatas terhadap Libya, tetap menolak kebijakan “zona larangan terbang” dikehendaki Amerika Serikat dan sekutunya.

Bertolak belakang dengan keinginan damai, Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), di bawah pimpinan Amerika Serikat, justru mulai memobilisasi kekuatan militernya merapat ke Libya. Radio Havana Kuba melaporkan bahwa pasukan militer NATO telah berada di Pulau Kereta yang merupakan bagian dari Yunani. Di antaranya terdapat empat kapal perang dari Amerika Serikat, empat kapal perang Prancis, empat kapal perang Italia, dan dua kapal perang Jerman. Mobilisasi pasukan tersebut mulai tampak jelas setelah presiden Barack Obama memerintahkan pasukan AS bersiap-siap untuk sebuah tindakan militer.

Konflik yang terjadi di Libya tidak lagi tampak berupa kebangkitan rakyat sipil sebagaimana yang terjadi di Mesir dan Tunisia, melainkan konflik bersenjata yang melibatkan berbagai intervensi dari luar. Surat kabar The 4th Media yang berbasis di Tiongkok melaporkan bahwa AS, Inggris, dan Prancis, telah mengirimkan “beberapa ratus penasehat pertahanan” untuk membantu para pemberontak di Libya Timur sejak 23 Februari lalu.

Kekhawatiran terhadap intervensi militer NATO maupun AS sangat beralasan, mengingat bagaimana peran kekuatan tersebut di Irak tahun 2003 lalu. Tindakan mereka di Irak, dengan dalih senjata pemusnah massal yang diproduksi Sadam Hussein, ternyata berbuntut panjang. Tidak saja kekayaan minyak Irak yang dijarah perusahaan-perusahaan dari berbagai negara barat, tapi kekacauan dan tragedi kemanusiaan justru semakin meningkat di negeri tersebut. (m13/dari berbagai sumber)

Leave a Response