Kalau tidak ada halangan, di ujung tahun 2015 ini, negara-negara ASEAN akan memasuki pasar bebas regional yang dikenal dengan sebutan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
Di bawah tatanan baru ini, yang dirancang oleh para pemimpin ASEAN sejak satu dekade lalu, negara-negara ASEAN akan menjadi pasar tunggal sekaligus sebuah kawasan ekonomi yang terintegrasi. Dengan begitu, tidak ada lagi hambatan bagi pergerakan barang, jasa, investasi, dan tenaga kerja yang melintasi batas-batas negara-bangsa.
Pemerintah Indonesia sendiri menyambut MEA ini dengan optimisme besar. Di hadapan peserta Musyawarah Nasional (Munas) ke-XV Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi), di Jakarta, tanggal 12 Januari lalu, Presiden Jokowi menyakinkan bahwa Indonesia akan ‘menyerbu’ pasar negara-negara lain di ASEAN.
Namun, optimisme Presiden Jokowi tersebut tidak bisa menutupi kegalauan mayoritas rakyat Indonesia, terutama lapisan sosial-ekonomi paling bawah (buruh, petani, kaum miskin perkotaan, dan lain-lain), yang sangat rentan menjadi korban dari perdagangan bebas. Termasuk kaum perempuan.
Kerentanan Perempuan
Ada faktor sosial-budaya dan ekonomi yang membuat kaum perempuan Indonesia sangat rentan terhadap kebijakan ekonomi. Termasuk terhadap efek perdagangan bebas.
Pertama, konstruksi sosial-budaya yang menghambat kaum perempuan dalam mengambil peran lebih luas ranah kehidupan sosial, pendidikan, politik, dan lain-lain. Konstruksi sosial itu adalah angggapan bahwa wilayah perempuan itu adalah di dalam rumah-tangga (domestik). Ini tidak terlepas dari masih kuatnya ideologi patriarki mencengkeram kaum perempuan hingga saat ini.
Kedua, kebijakan ekonomi neoliberal yang makin menyingkirkan kaum perempuan dari faktor dan alat-alat produksi. Terutama di sektor pertanian subsisten dan usaha produksi berskala kecil. Menurut Vandana Shiva, seorang feminis India, sistim ekonomi neoliberal yang bertumpu pada kalkulasi pertumbuhan, tidak menghitung kontribusi ekonomi perempuan pada produksi skala kecil (Vandana Shiva, 2013).
Perempuan yang tersingkir dari arena produksi ini kehilangan penopang hidupnya. Lalu, karena tekanan kebutuhan hidup, banyak diantara mereka yang terpaksa menjadi pekerja sektor informal, buruh migran, tenaga kerja yang siap dibayar murah, dan lain-lain.
Dampak Langsung
Dengan menghitung kerentanan di atas, MEA 2015 yang mengusur liberalisasi ekonomi di segala aspek pasti akan sangat berdampak pada perempuan Indonesia.
Pertama, MEA 2015 mengusung agenda perdagangan bebas yang berpotensi menghancurkan sektor produksi di dalam negeri, baik sektor pertanian maupun industri. Dalam konteks itu, produsen skala kecil dan menengah akan dipaksa bersaing dengan produsen skala besar (korporasi besar) yang ditopang oleh teknik produksi yang lebih tinggi dan permodalan yang kuat. Imbasnya sudah jelas: produsen kecil dan menengah itu akan hancur-lebur.
Untuk diketahui, struktur usaha produksi di Indonesia didominasi oleh usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Berdasarkan data data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah per Juni 2013, jumlah UMKM di Indonesia mencapai 55,2 juta unit atau 99,98 % dari total unit usaha di Indonesia.
Dan untuk diketahui pula, perempuan menjadi tulang-punggung dari UMKM tersebut. Dan catatan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyebutkan, sebanyak 60% pelaku usaha UKM di Indonesia adalah kaum perempuan.
Dengan demikian, jika agenda perdagangan bebas ala MEA menghancurkan produsen skala kecil dan menengah, maka potensi korban terbesarnya adalah kaum perempuan. Perempuan yang bekerja di sektor pertanian pun akan terkena imbas dari liberalisasi impor pangan.
Kedua, MEA juga akan mengusung liberalisasi pasar tenaga kerja. Dalam hal ini, negara-negara yang bergabung dalam MEA, termasuk Indonesia, diharuskan menghapus semua aturan atau regulasi yang menghambat perekrutan tenaga kerja asing.
Di sini orang bicara daya saing tenaga kerja. Ukurannya adalah tingkat pendidikan, daya pengetahuan dan keterampilan. Pertanyaannya kemudian, seberapa siapkah tenaga kerja Indonesia, termasuk kaum perempuan di dalamnya, dipersaingkan dengan tenaga kerja asing?
Dalam konteks ini, perempuanlah korbannya. Kita tentu sadar betapa anggapan sosial, bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena toh nanti tugasnya di dapur, masih sangat kuat di benak masyarakat kita. Hal ini berpengaruh pada tingkat pendidikan dan keterampilan perempuan Indonesia.
Sekarang kita lihat statistik pendidikan perempuan. Hingga saat ini, masih ada sekitar 5,1 juta perempuan Indonesia yang buta huruf. Angka partisipasi sekolah untuk jenis kelamin perempuan, terutama untuk pendidikan menengah atas dan perguruan tinggi, juga lebih rendah: SMA (18,59 %), Diploma (2,74 %), dan Universitas (3,02 %).
Dengan kondisi di atas, kalaupun akan dipaksa bersaing, kaum perempuan indonesia akan terjerembab dalam pekerjaan yang tidak jauh dari urusan domestik, seperti pekerja rumah tangga, penjaga bayi, dan pengurus orang lanjut usia. Dan terbukti, mayoritas tenaga kerja wanita Indonesia yang bekerja di luar negeri adalah pekerja rumah tangga.
Di tahun 1959, Mohammad Hatta, Wakil Presiden RI yang pertama, sudah mewanti-wanti dengan mengatakan, “persaingan merdeka (bebas) mungkin bisa baik hasilnya apabila subjek2 ekonomi itu kira-kira sama kuat kedudukannya, sama-sama cerdiknya, dan sama-sama punya kepandaian.”
Pada kenyataannya, subjek ekonomi yang bertarung-bebas di MEA ini tidak punya kemampuan dan kedudukan yang sama. Lantas, siapa yang diuntungkan? Jawabnya: pengusaha swasta besar yang tidak berkepentingan dengan sekat nasionalisme itu. Maka terjadilah apa yang dikhawatirkan oleh Bung Hatta: ‘membiarkan yang lemah menjadi mangsa dari yang kuat.”
Rini S.Pd, Koordinator Hubungan Internasional Aksi Perempuan Indonesia (API) Kartini
- Fascinated
- Happy
- Sad
- Angry
- Bored
- Afraid