Menyikapi Pesan Abraham Samad

Sabtu, 7 September lalu, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad kembali membeberkan banyaknya potensi pemasukan negara yang hilang akibat kebijakan pemerintah yang salah.

Ada banyak hal yang dibongkar Abraham Samad. Pertama, ia menyebut kebijakan impor pemerintah saat ini sebagai pembodohan. “Kita ini dibodoh-bodohi terus, impor-impor itu bohong karena KPK sudah mempelajarinya,” kata Samad. Dia mengungkapkan, banyak kebijakan impor yang tak perlu dilakukan karena Indonesia memiliki sumber daya alam yang jauh dari sekadar cukup.

Kedua, soal tata kelola sumber daya alam, khususnya Migas, yang menyebabkan hilangnya potensi pemasukan negara. Ia pun mengeritik dominasi asing dalam pengelolaan migas. Samad mengungkapkan, dari 45 blok minyak dan gas yang saat ini beroperasi di Indonesia, sekitar 70 persen di antaranya dikuasai oleh kepemilikan asing.

Namun, seperti diungkapkan Samad, banyak perusahaan tambang asing yang tidak membayar pajak dan royalti. Akibatnya, negara kehilangan Rp 7.200 triliun karena penyelewengan itu. Bahkan, Samad mengungkapkan, bila semua pajak dan royalti yang seharusnya dibayarkan oleh blok migas, batubara, dan nikel ditotalkan, maka kas negara seharusnya menerima pemasukan sebesar Rp 20.000 triliun tiap tahunnya. “Bila dibagi ke seluruh rakyat, maka pendapatan rakyat Indonesia per bulan bisa mencapai Rp 20 juta,” ujarnya.

Pesan Abraham Samad itu sangat menarik. Pertama, pernyataan Ketua KPK itu memperkuat data faktual mengenai bobroknya tata kelola Sumber Daya Alam (SDA) yang sangat liberal dan pro-asing saat ini. Kedua, pernyataan Ketua KPK itu harus ditindak lanjuti, baik oleh KPK sendiri maupun oleh DPR dan gerakan sosial. Ketiga, pernyataan Ketua KPK itu membongkar problem pokok bangsa ini, yakni keterjajahan ekonomi.

Di sini, ada dua bentuk penyikapan yang mendesak dilakukan. Pertama, penyikapan aspek korupsi di balik kebijakan liberalisasi impor dan pengelolaan SDA. Kedua, penyikapan terhadap aspek politik dari kesalahan kebijakan pemerintah dalam pengelolaan SDA .

Untuk penyikapan yang pertama, KPK harus digarda depan. Tetapi rakyat juga harus terlibat aktif. Dalam kebijakan impor, ada celah bagi ekonomi rente. Inilah ladang suburnya praktek korupsi. Di sini, tidak sedikit politisi yang juga turut bermain dengan memanfaakan posisinya guna mempengaruhi kebijakan impor.

Begitu pula dengan soal tata kelola SDA yang salah. KPK harus mengusut praktek penyelewengan yang dilakukan perusahaan tambang, termasuk perusahaan asing. Selain itu, pejabat negara yang ketahuan terlibat atau membiarkan penyelewengan itu patut diusut. Termasuk Kementerian dan badan (SKK Migas) yang menaunginya. Pendek kata, kekayaan negara yang puluhan ribu triliun itu harus diselamatkan.

Sedangkan untuk penyikapan yang kedua, kita semua harus turun tangan. Sebab, hal ini menyangkut perombakan kebijakan. Carut-marut tata kelola SDA kita saat ini harus diakhiri. Apa yang sudah dibeberkan oleh Abraham Samad di atas sebetulnya menunjukkan bahwa pengelolaan SDA yang sangat pro-asing itu sangat merugikan kepentingan bangsa.

Pertama, kebijakan liberalisasi impor harus dihentikan. Kebijakan ini sudah terlampau merugikan kita: menggerus devisa negara, menciptakan celah bagi ekonomi rente, menghancurkan produsen lokal, dan membuat bangsa ini tidak sanggup berdikari. Selain itu, bagi kami, alasan pemerintah untuk impor saat ini juga manipulatif. Banyak barang kebutuhan yang sebetulnya bisa kita produksi sendiri tetapi dipaksakan harus impor. Salah satunya adalah pangan.

Bagi kami, impor yang dilakukan pemerintah tidak melulu terkait kurangnya pasokan nasional, melainkan karena adanya desakan dari pihak luar, yakni WTO, yang memaksakan liberalisasi perdagangan. Hal itu terjadi lantaran Indonesia rela menjadi budak WTO.

Kedua, pengelolan kekayaan alam yang bergantung kepada kapital asing harus diakhiri. Ketergantungan terhadap kapital asing itu menyebabkan negara kita kehilangan kontrol terhadap kekayaan alam bangsa kita sendiri. Kita patut menyambut usulan Ketua KPK agar pemerintah menasionalisasi perusahaan asing. Bagi kami, nasionalisasi memang merupakan jalan terbaik untuk mengembalikan kontrol bangsa kita terhadap kekayaan alamnya.

Kita harus mengembalikan tata-kelola SDA itu sesuai dengan amanat konstitusi, yakni pasal 33 UUD 1945. Sudah lama pengelolaan SDA kita melenceng dari konstitusi. Mendorong pemulihan kembali kontrol/penguasaan negara terhadap pengelolaan kekayaan energi, baik melalui jalan nasionalisasi maupun renegosiasi. Jalan nasionalisasi tidak berarti pengambil-alihan paksa, tetapi bisa meniru cara Chavez di Venezuela, yakni negara membeli kembali saham-sahamnya dengan “harga adil”. Perusahaan negara di sektor minyak dan gas, dalam hal ini Pertamina, harus direvitalisasi dan dikembangkan agar bisa mengelola kekayaan alam sesuai dengan amanat konstitusi.

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid