Mengenang “Tragedi Trisakti”

Tiga belas tahun yang lalu, ketika mahasiswa, dosen, karyawan Universitas Trisakti ingin menyampaikan aspirasi di gedung DPR/MPR, Polisi dan TNI telah melepaskan tembakan dan membunuh empat orang mahasiswa, yaitu Elang Mulia Lemana, Hafidin Royan, Hendriawan Sie, dan Heri Hartanto.

Peristiwa tiga belas tahun yang lalu itu dikenang sebagai “Tragedi Trisakti”, yang bukan saja menambah jumlah martir untuk menggulingkan rejim Soeharto, tetapi juga menandai babak baru perjuangan anti-orde baru yang semakin meluas di kalangan massa rakyat. Tragedi Trisakti juga akan menjadi “pengingat sejarah” kepada generasi mendatang tentang kekejaman sebuah rejim militer yang disokong oleh negeri-negeri imperialis.

Peristiwa itu sampai kini memang masih dikenang. Peringatan atas peristiwa ini, baik dalam bentuk aksi massa maupun pemutaran film, masih ramai dilakukan. Akan tetapi, selain persoalan penegakan HAM-nya yang sangat penting, hal yang sangat penting lainnya adalah mewujudkan cita-cita mulia para martir tersebut.

Kita tidak mengabaikan keharusan menyeret para pelaku kunci dalam tragedi berdarah tersebut, termasuk para petinggi militer dan Polisi yang sampai saat ini belum tersentuh proses hukum. Tetapi, apa yang lebih penting, adalah bagaimana meletakkan tuntutan ini dalam kerangka perjuangan yang lebih luas dan mendasar.

Tiga belas tahun sejak kejatuhan rejim orde baru, memang terjadi perubahan-perubahan yang sangat penting terutama dalam kebebasan berorganisasi dan menyampaikan pendapat, tapi kehidupan rakyat secara umum telah terpuruk begitu parahnya. Segera setelah rejim orde baru ditumbangkan, orde neoliberal pun datang menggantikannya.

Sekarang ini, kontestan pemilu bukan tiga partai politik lagi, tapi sudah ada begitu banyak partai politik. Tetapi partai politik itu bukanlah kendaraan politik bagi rakyat untuk meraih kesejahteraan, melainkan menjadi kendaraan politik bagi segelintir orang untuk memperkaya diri sendiri. Korupsi tumbuh begitu suburnya, bukan lagi dilakukan oleh satu kroni seperti di jaman orde baru, tapi dilakukan beramai-ramai oleh hampir seluruh partai politik di parlemen dan setiap jenjang aparatus negara.

Sekarang ini, ada kebebasan untuk mendirikan serikat buruh dan hak untuk melakukan pemogokan, tapi gerakan buruh telah dilemahkan sedemikian rupa dengan cara yang lain: pasar tenaga kerja yang fleksibel. Rejim neoliberal ini juga masih mempertahankan politik upah murah. Gejala de-industrialisasi juga sangat “menghantui” kaum buruh di seluruh Indonesia.

Penindasan keji terhadap rakyat juga tidak kurang-kurangnya. Tidak terhitung jumlah nyawa rakyat yang tewas di tangan militer dan aparatus kekerasan negara lainnya, hanya karena mereka mempertahankan hak-hak sosial dan ekonominya. Perampasan tanah juga semakin massif, meskipun sudah jarang dilakukan oleh keluarga Soeharto, tetapi paling banyak dilakukan oleh perusahaan-perusahaan asing.

Perjuangan mahasiswa dan rakyat di tahun 1998 tidaklah sia-sia, tetapi sangatlah penting dalam menapak kembali kehidupan demokrasi dan keadilan sosial di negeri ini. Para pembajak dan negeri-negeri imperialis-lah yang telah mengalihkan jalur perubahan itu, yang semestinya menuju kehidupan demokratis dan berkeadian sosial tetapi malah di bawah ke jalan kehancuran melalui neoliberalisme.

Oleh karena itu, mengenang tragedi 12 Mei 1998 dan momen-momen kejatuhan Soeharto bukan sekedar perjuangan membuka ruang demokrasi an sich, tetapi mengenang perjuangan untuk sebuah proyek bangsa yang lebih besar: masyarakat adil dan makmur.

Sekarang ini, di tengah penindasan neoliberal yang sedang hebat-hebatnya, marilah kita mengambil semangat atau api dari tragedi 12 Mei 1998 ini dan menggunakannya untuk memperhebat perjuangan anti-imperialisme di Indonesia.

Leave a Response