Memaknai Serangan Mongol 724 Tahun yang lalu

Tahun ini adalah tahun yang tepat untuk memaknai serangan Mongol ke Nusantara 724 tahun yang lalu. Di tengah krisis dunia dan menguatnya semangat memajukan kepentingan nasional masing-masing negara, kita bisa mengambil semangat dari Kertanagara yang tidak inferior di hadapan kekaisaran Tiongkok-Mongol.

Sebagaimana kita tahu, politik menyatukan Nusantara oleh Kertanagara tumbuh dengan bersemangat karena dihadapkan pada politik penaklukan Kekaisaran Mongol yang berjubah Tiongkok di bawah komando tertinggi:  Khubilai Khan, pendiri Dinasti Yuan. Permintaan untuk tunduk kepada Kekaisaran Mongol dibalas Kertanagara dengan mempermalukan Khubilai Khan sehingga Khubilai Khan yang marah mengirimkan armada penghukum.  Armada penghukum itu berjumlah 1000 kapal; mengangkut sekitar 20 ribu prajurit  dengan perbekalan 1 tahun.

Kertanagara tentu saja tahu akibat-akibat menentang Khubilai Khan. Jauh hari sebelum Dinasti Song Selatan dihancurkan Khubilai Khan pada tahun 1279 masehi, Kertanagara pun sudah mulai bersiap menghadapi penyerangan Mongol dengan mengirimkan bala tentara melalui ekspedisi Pamalayu pada tahun 1275 agar bisa mencegah bala tentara Mongol memasuki perairan Jawa dan menjalin persekutuan dengan negara-negara asia tenggara, seperti Champa yang menolak tunduk pada Kekaisaran Mongol, kekuatan super power pada waktu itu.

Pada awal Januari, Pasukan Mongol sudah sampai di Belitung: menyusun strategi penyerangan, membikin perahu dan berbagai hal untuk penyerangan. Pada bulan Maret, pasukan Mongol tiba di Tuban tapi disambut Dyah  Wijaya untuk bersama menyerang Kadiri yang telah menggantikan Singhasari. Cerita selanjutnya, kita ketahui Kadiri jatuh dan Wijaya bersama pasukannya berhasil mengakali pasukan Mongol dan mengusir pergi dari tanah Jawa.  Dari keruntuhan Kadiri dan keberhasilan mengusir para penyerbu itu, tumbuhlah kerajaan yang besar dan jaya: Majapahit.

Abad ke-13 memang abad yang penuh guncangan bagi dunia. Guncangan ini jelas disebabkan perang penaklukan yang dilancarkan Bangsa Mongol. Tetapi setelah puluhan tahun peperangan dan penaklukan dengan berbagai cara, dunia memasuki tata dunia baru: perdamaian dan perdagangan (merkantilisme) berjalan lancar antara Eropa dan Asia; kelancarannya dibuktikan dengan perjalanan bolak-balik keluarga Polo dari Eropa ke Asia. Tiongkok sendiri di bawah Dinasti Yuan yang didirikan  Khubilai Khan menjadi negara yang tersatukan dan menjadi landasan negara modern di kemudian hari. Hingga sekarang mata uang Tiongkok masih sering disebut Yuan (perak)  yang menunjukkan warisan Dinasti Yuan walau resminya adalah renmimbi (uang rakyat).

Nusantara juga jelas memasuki masa guncangan dan kemakmuran dengan caranya sendiri; bahkan dunia mengenang Nusantara di bawah Singhasari: Kertanagara dan Dyah Wijaya sebagai negeri yang berhasil menghalau dan mengalahkan serangan bala tentara Mongol yang dikenal tangguh di seluruh Dunia.  Serangan Mongol ke Singhasari adalah serangan terakhir Mongol dalam usaha memperluas wilayah kekaisaran yang berakhir dengan kegagalan.

Walau begitu serangan Kekaisaran Mongol atau Dinasti Yuan ini bagi sejarah Jawa juga berarti luar biasa yaitu mengakhiri tuntas dinasti penguasa Jawa yang telah berkuasa hampir seribu tahun  dengan dihukum matinya Sri Jayakatwang, raja Kediri terakhir beserta putra Mahkota Ardharaja sekaligus memberi jalan untuk kelanjutan berkuasanya dinasti  Rajasa, yang dikenal memiliki garis keturunan rakyat biasa. Dinasti inilah yang membawa Nusantara melewati guncangan dunia menuju kemakmuran di bawah Majapahit.

Majapahit selain Sriwijaya kemudian dikenang sebagai pijakan nasionalisme dan menjadi spirit perjuangan untuk Indonesia merdeka. Begitulah Bung Karno pun tak bisa mengelak pada Pidato 1 Juni 1945 yang sedang mencari dasar negara yang hendak didirikan itu dengan mengingat Majapahit.

Serangan Mongol 724 tahun yang lalu itu membuktikan bahwa bangsa Indonesia tidak bisa didikte oleh kekuasaan asing. Sayangnya, kisah baik ini seringkali tenggelam dengan mengingat keburukan Kertanagara sebagaimana ditulis  Pararaton: sebagai raja yang suka mabuk dan pesta pora, bukan pada visi Kertanagara menyatukan Nusantara dan dengan berani bersiap menghadapi invasi asing.

AJ Susmana, Wakil Ketua Umum Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik (KPP-PRD)

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid