Masalah Transportasi di Perkotaan

Kemacetan dan kesemrawutan semakin mengancam kota Jakarta. Rencana-rencana untuk mengatasi masalah transportasi tidak disertai dengan langkah menekan laju konsumsi kendaraan bermotor dan pembenahan sistem transportasi umum yang murah, massal, dan layak. Kiranya tak kurang keluhan, umpatan, sampai pembahasan tentang masalah kemacetan disertai dengan wacana solusinya. Kota ini, setiap hari, menampung 12 juta orang (pada waktu siang) dengan 7,1 juta unit kendaraan bermotor di jalan-jalan. Setiap hari orang-orang harus terjebak macet dan harus menyesuaikan diri terhadap keadaan darurat ini. Selain kerugian-kerugian materil, keselamatan pemakai jalan juga menjadi taruhan. Pada rapat kerja Presiden SBY menyampaikan kritik, bahwa pembangunan infrastruktur transportasi di Jakarta hanya “pepesan kosong”. Tapi dapat dimengerti, bahwa kebijakan-kebijakan Presiden punya andil yang tidak sedikit dalam menciptakan “pepesan kosong” tersebut.

Masalah transportasi berhubungan dengan masalah ekonomi yang lebih kompleks. Sejak cengkraman neoliberalisme menguat, sebelas tahun terakhir, semakin banyak rakyat di pedesaan yang tidak lagi mempunyai sumber penghidupan memadai, sehingga memilih berpindah ke kota. Urbanisasi menjadi fenomena yang berlangsung relatif lebih cepat dibandingkan beberapa masa sebelumnya. Tidak hanya di Jakarta, tapi juga di sejumlah kota lain. Padahal perpindahan tersebut seringkali tidak membuat tingkat kesejahteraan rakyat meningkat. Perlu disebutkan bahwa dalam kehidupan perkotaan ini terkandung kegiatan “ekonomi industri” bercorak kapitalisme, yang menuntut ratusan ribu sampai jutaan orang bergerak dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.

Menjawab masalah bertambahnya jumlah penduduk dengan mobilitas yang tinggi tersebut, ternyata, pembangunan sistem transportasi massal yang murah dan ramah lingkungan jauh tertinggal, dibandingkan laju penjualan kendaraan bermotor. Apalagi pembangunan fasilitas bagi pejalan kaki dan pengayuh sepeda. Sistem pemasaran kendaraan bermotor pribadi melalui kredit murah seakan menjadi solusi yang “lebih menguntungkan” bagi para pemakai jalan, di tengah terbatasnya pilihan sarana transportasi massal. Sementara yang terpaksa tetap menggunakan transportasi massal harus menghadapi kondisi-kondisi yang tidak nyaman, mulai dari masalah ketepatan waktu, antrean penumpang, terbatasnya armada, dan sebagainya. Selain itu, jasa penyedia sarana transportasi sebagai sektor bisnis sendiri, turut tumbuh subur. Mulai dari penyewaan sepeda motor, ojek, penyewaan mobil, dan taxi. Dalam rangka mengatasi keadaan darurat, mungkin keadaan ini dapat dilihat sebagai sektor ekonomi yang menyediakan “lapangan pekerjaan” baru. Tapi dalam sudut pandang yang lebih luas jelas keadaan tersebut merugikan. Semua ini, baik laju penjualan kendaraan bermotor, dan meningkatnya penjualan BBM, kembali hanya menguntungkan dua jenis industri tersebut (otomotif dan BBM), yang saat ini mayoritas dikuasai oleh korporasi-korporasi asing.

Dalam mengantisipasi masalah keruwetan transportasi massal di perkotaan, sedikit kota yang mulai berbenah. Kota Solo adalah salah satu di antara yang sedikit itu. Pengenalan sistem transportasi baru oleh pemerintah kota Solo, yang dipimpin Walikota Joko Widodo (akrab disapa: Jokowid), memang layak diapresiasi, sekaligus dikritisi, sebelum ditiru oleh kota-kota lain. “Move people not car” menjadi slogannya. Batik Solo Trans (BST), railbus, dan bus tingkat wisata, kemudian lampu lalulintas yang menggunakan teknologi area traffic control system (ATCS), dalam batasan tertentu menguntungkan rakyat kota Solo. Setidaknya potensi kemacetan seperti kota Jakarta dapat diantisipasi. Namun yang perlu diingat adalah perkara investasi oleh perusahaan-perusahaan swasta pada sektor transportasi. Dengan logika komersialisasi sektor transportasi maka ongkos yang dituntut pun menjadi lebih tinggi, sehingga rakyat miskin sulit menjangkaunya. Sistem transportasi, di mana pun, harus memudahkan mobilitas sosial masyarakat, dengan biaya yang semurah-murahnya. Sejajar dengan itu, mobilitas sosial masyarakat harus berbuah akumulasi yang tidak dihisap oleh kapitalisme, atau harus kembali disosialisasikan menjadi kekayaan milik masyarakat. Kebijakan-kebijakan neoliberalisme, yang sarat komersialisasi, yang merupakan bentuk terkini penghisapan kapitalisme, tentu tidak dapat menyediakan keadaan tersebut.

Leave a Response